MasukWajah Alisha pucat pasi, seputih kertas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membuat tubuhnya gemetar tanpa bisa ia kendalikan. Ia tahu betul, satu langkah saja kakinya masuk ke ruang periksa rumah sakit itu, tamatlah riwayatnya. Semua kebohongannya akan terbongkar.“Ma… Pa…” ujar Alisha panik. Tangannya mencengkeram lengan jas ayahnya dengan kasar. “Kita pulang aja… Ma, ayo pulang…”“Lho? Kenapa pulang?” Bagaskara menatap putrinya heran. “Kita buktikan saja, Nak. Biar mereka diam! Biar Revan masuk penjara!”“Nggak usah, Pa! Alisha capek!” teriak Alisha histeris. Air matanya kembali tumpah, kali ini bukan sekadar karena marah, melainkan ketakutan yang nyata. “Alisha nggak mau diperiksa lagi… Alisha trauma… ayo pulang sekarang!”Tanpa menunggu jawaban, Alisha menarik tangan ibunya, menyeretnya menjauh dari ruang tamu. Langkahnya cepat, hampir berlari, seolah ada sesuatu yang mengejarnya dari belakang.Bagaskara yang ditarik paksa tak punya pilihan selain mengikuti. Namun sesaat
Tangis Alisha mendadak terhenti. Tubuhnya menegang, napasnya tersendat. Ia tahu jika benar-benar dibawa ke rumah sakit, kebohongannya akan terbongkar lagi. Dan kali ini, ayahnya tidak akan semudah itu memaafkannya.Alya, yang pada kejadian pura-pura hamil sebelumnya sedang kabur dari rumah, hanya bisa diam mendengarkan. Rasa takut sempat menyelinap, tapi melihat ketegasan Revan dan Arman, keberanian itu perlahan tumbuh.Alisha buru-buru mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memelas yang sudah sangat terlatih.“Ma… Pa… udah,” isaknya pelan, suaranya dibuat bergetar. “Percuma kita ribut di sini, percuma juga ke rumah sakit…”Lalu ia menoleh ke arah Alya. Tatapannya sarat kebencian yang disembunyikan rapi.“Revan sudah direbut sama cewek ini,” tudingnya. “Makanya dia berubah. Dia sudah diguna-guna perempuan itu sampai tega nyuruh aku bunuh janin ini…”Darah Alya langsung mendidih. Ketakutan yang tadi sempat ada lenyap, digantikan ol
Pria yang berdiri di hadapan mereka adalah Bagaskara, Papa Alisha. Wajahnya keras, rahangnya tegas, memancarkan aura intimidasi yang kuat. Di sofa seberang, duduk Alisha yang menunduk dengan wajah sembab, diapit oleh Alina, ibunya, yang menatap Revan dengan sorot mata berapi-api.Maya masih duduk santai dengan kaki menyilang, senyum miringnya makin lebar, jelas menikmati drama gratis yang tersaji di depan mata.Revan sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya pada Alya. Ia justru menarik gadis itu sedikit ke belakang tubuhnya, melindunginya dari tatapan-tatapan tajam itu.“Ada urusan apa Anda menunggu saya?” tanya Revan dingin. Tidak ada nada hormat dalam suaranya, hanya ketajaman yang menusuk.Mata Bagaskara menyipit. Ia melirik Arman sekilas, lalu kembali menatap Revan dengan pandangan merendahkan.“Arman,” panggil Bagaskara tanpa menoleh, “begini cara kamu mendidik anak? Begini sikap anak kamu ke orang tua?”Arman menghela napas berat, wajahnya tampak lelah dan terteka
Alya yang baru saja menyuap nasi langsung tersedak.“Uhuk!”Ia memukul lengan Revan keras-keras sambil terbatuk. “REVAN! Mulutnya!”Revan hanya tertawa, menuangkan air mineral ke gelas dan menyodorkannya pada Alya. “Bercanda, Sayang. Makan dulu.”Mereka pun makan dalam diam yang nyaman, menikmati sisa waktu berdua di apartemen itu sebelum kembali ke rumah.***Langit malam kota sudah sepenuhnya gelap saat mobil Revan akhirnya keluar dari area apartemen dan membelah jalanan yang mulai lengang.Cahaya lampu jalan yang kekuningan menerpa wajah mereka bergantian, menciptakan bayangan yang bergerak ritmis di dalam kabin mobil.Alya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, menatap kosong ke arah gedung-gedung tinggi yang berlalu cepat. Rasa kenyang ditambah lelah pasca aktivitas mereka tadi membuat matanya terasa berat, tapi hatinya terasa penuh dan hangat.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit.Revan, yang sejak tadi menyetir dengan satu tangan santai di kemudi semen
Alya langsung mendelik. "Udah ya, Van. Nggak usah aneh-aneh," tolaknya cepat sambil beranjak berdiri. "Aku sudah lapar banget, nanti kalau pingsan di kamar mandi gimana?"Revan terkekeh kecil melihat reaksi Alya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar, matanya masih jahil memindai tubuh Alya."Yakin udah?" godanya lagi. "Aku masih kuat, lho."Wajah Alya memerah seketika. Ia buru-buru mengambil langkah mundur. "Van, aku pulang beneran nih kalau kamu mulai lagi!" ancamnya, meski kakinya tidak benar-benar melangkah pergi.Revan menaikkan sebelah alisnya, tampak sama sekali tidak terintimidasi."Coba aja kalau berani," tantangnya santai. Nada suaranya rendah namun penuh peringatan main-main. "Kamu keluar dari pintu itu..."Ia menyeringai. "aku hukum kamu di rumah."Alya yang sudah setengah jalan menuju kamar mandi langsung berbalik badan, menatap Revan dengan wajah tak percaya."Ih! Main ngancem-ngancem segala!" protesnya kesal sambil menghentakkan kaki pelan.“Biarin,” s
Revan mengecup lembut titik denyut nadi di sana, membuat Alya refleks mendongak dan mendesah pelan. Kecupan itu perlahan berubah menjadi hisapan kecil yang posesif, meninggalkan jejak hangat yang seketika mengaburkan akal sehat Alya. Rasa lapar di perutnya lenyap, digantikan oleh rasa lapar lain yang terbangun perlahan karena sentuhan Revan.Tangan Revan yang melingkar di pinggang Alya mengerat, menarik tubuh mungil itu hingga menempel rapat padanya tanpa menyisakan jarak. Ia menghirup aroma tubuh Alya dalam-dalam, seolah itu adalah satu-satunya oksigen yang ia butuhkan untuk bernapas.“Masih mau bilang enggak?” goda Revan, suaranya rendah, di sela ciumannya yang kini merambat naik ke arah rahang.Alya menyerah. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi menggelitik itu mengambil alih dirinya sepenuhnya.“Dasar curang…” gumamnya pasrah, suaranya nyaris tenggelam di antara napas mereka.Revan terkekeh pelan. Ia akhirnya mengangkat wajah, menatap Alya yang tampak berantakan dan sayu, pem







