"Xú Huì!"
Suara yang menggelegar memecah keheningan hutan bambu. Huànyǐng yang masih berusaha bangkit dari tanah berlumut merasa kepalanya berdenyut mendengar teriakan yang sangat dikenalnya itu."Aiyo! Dia lagi!" keluhnya sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya. Ketika menunduk, dia bisa melihat dengan jelas rantai putih berkilau yang melilit pinggangnya dengan erat."Aiyo, Yǐng Liàn," gumamnya pelan, mengidentifikasi senjata yang mengikatnya.Rantai putih dengan gagang hijau kemala yang berkilau, hanya ada satu orang di dunia kultivasi yang memiliki senjata seperti ini. Yāo Ming, Ketua Sekte Seratus Ramuan yang terkenal pemarah dan keras kepala. Adik Yāo Yu dan sahabat lamanya."Jiujiu!" Xú Huì yang tadi menjadi patung es kini sudah terbebas, berseru girang sambil berlari ke arah sosok yang baru muncul dari balik rumpun bambu lebat."Jiujiu?" Huànyǐng mengerutkan kening di balik topengnya. Jika gadis"Xú Huì!"Suara yang menggelegar memecah keheningan hutan bambu. Huànyǐng yang masih berusaha bangkit dari tanah berlumut merasa kepalanya berdenyut mendengar teriakan yang sangat dikenalnya itu."Aiyo! Dia lagi!" keluhnya sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya. Ketika menunduk, dia bisa melihat dengan jelas rantai putih berkilau yang melilit pinggangnya dengan erat."Aiyo, Yǐng Liàn," gumamnya pelan, mengidentifikasi senjata yang mengikatnya.Rantai putih dengan gagang hijau kemala yang berkilau, hanya ada satu orang di dunia kultivasi yang memiliki senjata seperti ini. Yāo Ming, Ketua Sekte Seratus Ramuan yang terkenal pemarah dan keras kepala. Adik Yāo Yu dan sahabat lamanya."Jiujiu!" Xú Huì yang tadi menjadi patung es kini sudah terbebas, berseru girang sambil berlari ke arah sosok yang baru muncul dari balik rumpun bambu lebat."Jiujiu?" Huànyǐng mengerutkan kening di balik topengnya. Jika gadis
Huànyǐng melangkah kembali menelusuri hutan bambu yang sunyi, kali ini tanpa dua "anak bebek" yang biasa mengikutinya dengan patuh. Keheningan terasa berbeda. Lebih dalam, lebih mencekam, seakan hutan ini menyimpan ribuan cerita yang terkubur bersama waktu.Langkahnya terhenti di tepi sebuah sungai jernih yang mengalir tenang. Air yang berkilau memantulkan sinar matahari sore, menciptakan permainan cahaya yang menenangkan mata. Huànyǐng berlutut di tepi sungai dan melepaskan topengnya, menciduk air dengan kedua tangannya untuk membasuh wajah dan minum, sekaligus mengisi kendi air yang sudah hampir kosong."Dulu tempat ini sangat sepi," gumamnya sambil menatap aliran air yang tak pernah lelah. Dia kemudian bersandar pada sebatang pohon pear yang sedang berbunga lebat, kelopak putih berjatuhan seperti salju di musim semi. "Kini ada desa, bahkan kota di tempat ini. Semua sudah berubah."Angin semilir yang membawa aroma bunga
Huànyǐng berjalan pelan-pelan mendekati makam, langkahnya terasa berat seakan-akan setiap jejak yang diambilnya membawa kembali kenangan yang telah lama terkubur. Sementara Hòu Jūn dan Shengyuan hanya memperhatikan dari belakang dengan wajah penuh tanda tanya."Hòu Jūn, ada apa dengannya?" Shengyuan berbisik pada saudara seperguruannya dengan nada khawatir.Hòu Jūn menggelengkan kepalanya pelan. Dia pun tidak mengerti mengapa tuan muda dari keluarga Murong itu terlihat sangat terpukul setelah menemukan makam tua ini. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan menemukan pemakaman di hutan bambu."Mungkinkah makam ini ada hubungannya dengan keluarga Murong atau keluarga Baili?" Shengyuan masih bertanya-tanya dengan suara rendah, tidak ingin mengganggu suasana haru yang menyelimuti tempat itu.Sedangkan Huànyǐng kini sudah berdiri tepat di depan makam yang sederhana namun terawat baik itu. Tangannya yang bergetar pelan terangkat, seakan ingi
Huànyǐng berjalan dengan langkah santai di sepanjang jalan desa yang dipaving batu, diikuti oleh dua pemuda yang dia juluki dalam hati sebagai "bebek Yuè" . Maksudnya tentu saja bukan Hòu Jūn, Shengyuan saja. Tetapi juga beberapa murid yunior Sekte Musik Abadi lainnya yang selalu berjalan berbaris rapi seperti anak bebek mengikuti induknya."Hòu Jūn!" panggilnya dengan nada agak malas, tangan kanannya dengan santai memutar-mutar seruling giok hijau miliknya. "Kemana perginya Dàoyì Zhenjun kalian?"Hòu Jūn yang berjalan tepat di belakangnya segera menjawab dengan sopan, "Tuan Ma hanya mengatakan bahwa Dàoyì Zhenjun dan para yunior lainnya pergi ke Qīng Mù Zhúlín."Huànyǐng tiba-tiba berhenti berjalan, memaksa rombongan di belakangnya ikut berhenti. Dia berbalik menatap kedua pemuda itu dengan pandangan yang sulit ditebak. "Hutan bambu makam Qing?""Benar!" sahut Shengyuan dengan yakin."Nama yang aneh," gumam Huànyǐng sambil kembali melan
Sementara itu, Tiānyin sudah menemui Tuan Ma yang sedang menikmati teh di taman belakang rumahnya. Pria paruh baya itu tampak terkejut melihat Tiānyin sudah bangun sepagi ini."Gōngzǐ, ada yang bisa saya bantu?" tanya Tuan Ma dengan hormat."Saya ingin meminjam kuil leluhur untuk menyucikan pedang yang ditinggalkan roh kemarin," jawab Tiānyin langsung pada intinya.Tuan Ma mengangguk cepat. "Tentu saja, Gōngzǐ. Silakan, saya akan mengantarkan Anda ke sana."Kuil leluhur Yè Níng Cūn terletak di ujung desa, bangunan sederhana namun penuh dengan kesakralan. Di dalamnya terdapat altar yang dihiasi berbagai perlengkapan persembahan dan dupa yang masih menyala.Tiānyin berdoa dengan khidmat di depan altar, tangannya memegang pedang yang telah dibersihkan dari darah roh. Setelah berdoa, dia mulai memantrai pedang itu dengan konsentrasi penuh, energi spiritual mengalir dari tangannya menyelim
Cahaya fajar yang merah keemasan mulai menyusup masuk melalui celah jendela kayu, menandai dimulainya hari baru di Yè Níng Cūn. Tiānyin membuka mata dengan perlahan, tubuhnya bergerak dengan presisi yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Seperti dua puluh tahun yang lalu, dia selalu terbangun di pagi buta, saat dunia masih terbungkus keheningan dan udara masih dingin menyentuh kulit.Di sampingnya, Huànyǐng masih tertidur pulas dengan wajah damai. Helai rambut hitamnya tergerai menutupi sebagian pipi, napasnya teratur dan tenang. Pemandangan ini mengingatkan Tiānyin pada masa-masa di Zǐténg Ju dan Zǐténg Lan, ketika mereka masih remaja dan sering tertidur di tempat yang sama setelah berlatih hingga larut malam."Jiàn Yi," panggilnya dengan suara lembut, tangannya bergerak hati-hati menyentuh bahu Huànyǐng.Huànyǐng hanya menggeliat pelan, bibirnya bergumam tidak jelas. "Chénxī... aku masih mengantuk..." keluh