Huànyǐng berteriak-teriak histeris sambil berusaha mengibas-ngibaskan kakinya yang terbelit ular. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng jelek itu pucat pasi, keringat dingin mengucur deras di pelipis dan tengkuk.
"Lepaskan! Lepaskan!" jeritnya sambil menendang-nendang tanah dengan kaki yang bebas.Orang-orang yang berlalu lalang menatapnya dengan wajah heran, tetapi tidak ada yang berani mendekat untuk menolong. Mereka hanya berdiri di kejauhan sambil berbisik-bisik membicarakan pemuda bertopeng jelek yang berteriak ketakutan karena ular.Sementara itu, Tiānyin yang tengah berjalan dengan tenang diikuti murid-muridnya di bagian lain pasar, samar-samar mendengar teriakan yang sangat familiar di telinganya. Suara itu memanggil namanya dengan nada yang penuh ketakutan dan keputusasaan.Tanpa menunggu lagi, Tiānyin bergerak cepat terbang mencari sumber suara. Jubah putihnya berkibar-kibar di udara seperti sayap burung yang terbang mencari sarangny"Chénxī, turunkan aku ya," pinta Huànyǐng memelas, suaranya berubah menjadi lembut dan penuh harap. "Aku tidak akan berbuat macam-macam, janjinya.""Sebentar lagi kita sampai," sahut Tiānyin mengabaikan permintaan Huànyǐng, langkahnya tidak melambat sedikit pun."Shuǐyùn Tíng, masih jauh," sahut Huànyǐng dengan nada yang mulai putus asa.Tiānyin berhenti di tengah jalan yang diapit oleh pohon-pohon bambu yang bergoyang lembut tertiup angin sore. Lalu dengan perlahan menurunkan Huànyǐng.Huànyǐng tersenyum senang lalu meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah lama berada dalam posisi yang tidak nyaman. Dia menggerakkan leher dan bahunya untuk melemaskan otot-otot yang tegang."Chénxī, aku tinggal di Zǐténg Ju saja ya?" pintanya lagi dengan nada yang penuh harap.Tiānyin menggelengkan kepala dengan tegas, tatapannya dingin dan tidak bisa dibantah.
Héxié Zhìzūn tersenyum menatap sang adik yang tak bergeming meski orang yang dipanggulnya terus memukuli punggungnya dengan gerakan yang tidak beraturan. Tiānyin berjalan dengan langkah yang mantap, tidak terpengaruh sedikit pun oleh protes keras dari pemuda yang dipanggulnnya."Sepertinya Tiānyin sedang merasa sangat bahagia," gumamnya pelan lalu menggelengkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.Sementara itu Tiānyin membawa Huànyǐng masuk ke Kediaman Aroma Wisteria. Bangunan-bangunan bambu yang sederhana namun indah menjulang di antara pepohonan yang rimbun. Konstruksi bambu yang dianyam dengan rapi menampilkan keindahan arsitektur yang asri dan menyatu dengan alam.Mereka menaiki tangga batu yang menanjak, melewati jalan setapak berlapis batu yang dinaungi pohon wisteria. Cabang-cabang wisteria yang berbunga lebat membentuk lorong ungu yang memukau, kelopak-kelopak yang berguguran menari-nari di udara seperti hujan bunga.Aroma wisteria yang lembut berca
Huànyǐng menatap sosok berjubah biru langit itu dan tiba-tiba sebuah kerinduan menyeruak dalam hatinya yang membuatnya hampir tak sanggup menahan tangis. Héxié Zhìzūn, sahabat karib sang kakak, Jiàn Wéi, yang juga merupakan kakak Tiānyin dan sudah dianggap sebagai kakak olehnya."Héxié Zhìzūn," gumamnya pelan, suaranya bergetar menahan haru.Tiānyin mengangguk lalu mengajak Huànyǐng mendekat. Langkah mereka melambat, seolah enggan mengganggu ketenangan sore yang mulai turun."Xiōngzhǎng!" dengan sopan Tiānyin memberi hormat diikuti murid-muridnya yang mengekor di belakang.Héxié Zhìzūn tersenyum lembut, matanya yang bijaksana menatap ramah pemuda bertopeng jelek di sebelah Tiānyin. "Kau membawa tamu rupanya!" ucapnya dengan nada hangat yang khas.Tiba-tiba saja, tanpa bisa dicegah oleh Tiānyin, Huànyǐng menubruk Héxié Zhìzūn dengan gerakan yang tak terkendali. Tubuhnya yang masih lema
Perahu kayu kecil bergoyang perlahan saat menyentuh dermaga batu di tepi Sungai Ungu Gelap. Tiānyin segera berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Huànyǐng turun dari perahu. Langit sore mewarnai permukaan air dengan kilau keemasan yang memukau."Aku bisa berjalan sendiri, Chénxī," bisik Huànyǐng lirih, meski tangannya berpegangan erat di pinggang pria itu.Tiānyin tidak berkata apa-apa dan hanya memapahnya dengan hati-hati. Gerakan kakinya stabil, memastikan Huànyǐng tidak terjatuh saat melangkah di atas dermaga batu yang licin.Para yunior mengikuti mereka dengan patuh dan diam, meski ada banyak pertanyaan berkelebat di benak mereka. Hòu Jūn dan Shengyuan saling bertukar pandang, masih penasaran mengapa guru mereka begitu perhatian pada pemuda bertopeng jelek yang tampak aneh itu.Huànyǐng melirik mereka dan tersenyum kecil di balik topengnya. "Mereka sangat patuh, sama seperti dirimu dulu," ucapnya pelan sambil memandang kedua pemuda yang berjalan di belakang mereka.Tiāny
Huànyǐng berteriak-teriak histeris sambil berusaha mengibas-ngibaskan kakinya yang terbelit ular. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng jelek itu pucat pasi, keringat dingin mengucur deras di pelipis dan tengkuk."Lepaskan! Lepaskan!" jeritnya sambil menendang-nendang tanah dengan kaki yang bebas.Orang-orang yang berlalu lalang menatapnya dengan wajah heran, tetapi tidak ada yang berani mendekat untuk menolong. Mereka hanya berdiri di kejauhan sambil berbisik-bisik membicarakan pemuda bertopeng jelek yang berteriak ketakutan karena ular.Sementara itu, Tiānyin yang tengah berjalan dengan tenang diikuti murid-muridnya di bagian lain pasar, samar-samar mendengar teriakan yang sangat familiar di telinganya. Suara itu memanggil namanya dengan nada yang penuh ketakutan dan keputusasaan.Tanpa menunggu lagi, Tiānyin bergerak cepat terbang mencari sumber suara. Jubah putihnya berkibar-kibar di udara seperti sayap burung yang terbang mencari sarangny
Huànyǐng berlari dengan napas yang mulai terengah-engah mengejar Yu Shi yang terus berkelit di antara kerumunan pedagang. Kucing berbulu putih itu seakan sengaja mengajaknya bernostalgia, berlari melewati setiap sudut pasar yang pernah mereka kunjungi bertahun-tahun silam.Yu Shi melompat dari satu lapak ke lapak lainnya dengan gerakan yang sangat lincah. Pertama dia melewati penjual baozi yang mengepulkan uap hangat, kemudian melompat ke lapak tanghulu yang dipenuhi buah-buahan manis berlapis gula. Setelah itu dia berlari ke arah penjual mainan tradisional yang penuh dengan boneka kain dan kelereng warna-warni."Yu Shi! Berhenti!" teriak Huànyǐng sambil terus mengejar.Kucing spiritual itu kemudian berlari ke arah lapak yang menjual aneka topeng hantu dengan warna-warna mencolok. Dia melompat di antara topeng-topeng itu dengan mata keemasan yang berbinar-binar nakal. Setelah itu dia berlari ke arah penjual lampion yang tergantung berjejer seperti bulan-bulan kecil yang bersinar.Tanp