Sejak semalam, kedua mata Matt tak bisa di pejamkan. Sosok wajah Nina selalu membayangi pikirannya. Entah mengapa, gadis itu mampu mmbuatnya tertarik, padahal perawakan Nina sangat jauh wanita-wanita yang selama ini mengisi waktu luang Matt.
Matthew menginap di rumah besar keluarga Osborne bersama David dan keluarganya. Ia bangun, lalu membuka jendela kamar. Matanya berkeliling menikmati matahari yang bersinar dan hamparan bunga serta rumput yang tertata rapih di halaman belakang rumah itu. Halaman belakang yang luas seperti sebuah taman.
Kemudian, mata Matt terdiam lama pada sosok wanita yang dari semalam wajahnya berseliweran dalam pikiran. Gadis itu terlihat sedang menyuapi bayi berusia sembilan bulan. Matt tersenyum sambil bersidekap memegang dagunya. Ia melihat senyum yang tulus dari seorang pengasuh. Melvin yang tengah duduk di stroler itu pun tertawa bersama pengasuhnya sambil menikmati sarapan pagi.
Matt bergegas memakai pakaiannya. Ia turun dan menghampiri gadis itu di taman. Sesampainya di taman, ia kembali tersenyum. Walau ia pun tak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan Nina.
“Hai.” Sapa Matt.
Nina langsung menoleh dan tersenyum. “Hai.”
Kedua nya terdiam. Matt pun bingung ingin berkata apa, karena mereka sama-sama tidak mengerti dengan bahasa masing-masing.
“Kamu sudah makan?” Tanya Matt dengan bahasa Inggrisnya.
“Hmm..”
Nina memasang wajah tak mengerti, hingga akhirnya Matt menggunakan bahasa tubuh.
Matt mengangkat tangan dan menyuapi ke mulut, memeragakan cara makan.
Nina menggeleng, karena memang dia belum sarapan. Lalu, Nina pun balik bertanya dengan menggunakan bahasa tubuh juga.
Matt menggeleng.
“Cofee?”
Nina menawarkan akan membuat kopi untuk Mat dengan mengangkat gelas Melvin.
“Hmm... Kamu mau membuatkanku kopi?” Tanya Matt dengan gerakan tangan dan bibir yang lsow motion.
Keduanya tertawa, karena mereka seperti orang bisu.
“Oke, aku buatkan kopi. Titip Melvin.” Kata Nina dengan bahasanya, meninggalkan Melvin yang telah menghabiskan makanannya bersama sang paman.
Matt hanya mengangguk, walau tak mengerti apa yang di katakan Nina. Ia hanya tau Nina akan membuatkannya kopi. Ia bertekad setelah ini, ia akan belajar bahasa Indonesia.
Tak lama kemudian, Nina membawa secangkir kopi ke taman itu. Matt tersenyum melihat Nina yang terus berjalan mendekat ke arahnya, sambil membawakan secangkir kopi untuknya.
“Ini.” Nina menyerahkan cangkir itu dengan senyum yang manis.
“Thank you.”
Nina mengangguk.
Mereka kembali terdiam. Matt bingung bagaimana memulai pembicaraan, begitu pun Nina. Hingga Akhirnya, Sari datang menghampiri putranya.
“Hai, Sayang sudah mandi?” Tanya Sari pada bayinya dan langsung mengangkat Melvin dari stroler itu.
“Belum, Bu. Den Melvin baru saja selesai sarapan.”
“Sudah makan ya, wah.. habis ya makanannya. Makin embul kamu.” Ucap Sari pada putranya, sambil mengusel ke perut bulat Melvin.
“Ma..ma..” Ucap Melvin tertawa, karena geli.
“Hai, Matt.” Sapa Sari pada adik suaminya.
“Hai.” Jawab Mat tersenyum pada kakak iparnya.
“Baiklah, aku mandikan Melvin. Silahkan kalian berbincang lagi.” Kata Sari dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Aku tidak bisa berbicara dengannya.” Kata Matt pada sari sesaat sebelum Sari pergi. Matt melirik ke arah Nina.
“Dia tidak mengerti bahasaku dan aku tidak mengerti bahasanya.” Matt berkata lagi pada Sari.
Sari hanya tersenyum sambil menggendong Melvin.
“Kalau begitu belajarlah bahasa Indonesia, Matt.” Jawab Sari.
“Ajari aku, Sari!” Rengek Mat.
“Minta izin dulu pada kakakmu.” Ucap Sari tersenyum , lalu pergi meninggalkan Matt dan Nina yang masih duduk berdua di taman itu.
Setelah kakak iparnya itu pergi, Matt dan Nina semakin canggung. Biasanya dia tak pernah se canggung ini dengan wanita, atau biasanya wanita itu akan dengan senang hati langsung berdiri dan duduk di pangkuan Matt. Namun, tidak dengan Nina yang menjujung tinggi adat ketimuran.
Nina menoleh ke arah Matt, begitu pun Matt. Nina tersenyum dan Matt lagsung membalasnya.
“Saya permisi.” Nina berdiri dan segera ingin meninggalkan taman itu. terkadang jantungnya berdetak kenang saat melihat Matt tersenyum karena Matt terlihat sangat tampan.
Namun, degupan itu tidak sekencang, ketika bersama Ardi.
“Wait!” Kata Matt.
Nina menoleh ke arah Matt, walau ia pun tak mengerti adik dari majikannya ini ingin berkata apa.
“Hmm..”
Matt Masih ragu ingin mengatakan apa.
Lalu, ia menggeleng, membuat Nina bingung dan berakhir dengan senyum, kemudian melanjutkan kembali berjalan ke dalam rumah itu.
“Huft.. aku harus belajar bahasa Indonesia, harus.” Gumam Matt, yang memang terobsesi untuk mendapatkan istri orang Indonesia.
“Hai, Matt.” Sapa Harry yang langsung duduk di sebelah Matt.“Musim panas nanti, kau akan kemana?” Tanya Harry.Matt menggeleng. “Belum terpikir.”“Bagaimana jika kita berkeliling Asia.” Ucap Mike sembari merangkul kedua sahabatnya yang tengah duduk di meja bar.“Setuju.” Ucap Harry.“Bagaimana denganmu?” Tanya Mike pada Matt.“Ide bagus.”“Aku penasaran dengan wanita Asia.” Kata Mike.“Thailand.” Kata Mike lagi. “Wanita di sana berkulit eksotik dan berbadan sekal.”“Korea.” Sahut Harry. “Aku suka mereka yang berkulit putih bersih.”“Kau Matt?” Tanya Mike dan Harry sembari menggoyangkan tubuh sahabatnya itu.Seketika Matt terbayang wajah Nina, membuatnya terdiam sesaat sambil tetap memutar ujung gelas yang ada di depannya.“Matt.”
Perlahan, wanita itu terbangun. Kepalanya sangat berat. Ia terkejut dan mengecek dirinya.“Ah, pakaianku masih utuh.” Gumamnya.‘Aku bukan pria yang memanfaatkan wanita yang sedang mabuk berat.” Suara itu muncul di hadapannya.“Kau.” Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.“Kau berhutang padaku. Kau kalah dan harus menemaniku tidur selama satu bulan.” Ucap Matt sembari mendaratkan dirinya di samping wanita itu.Wanita itu masih diam.“Mattew, biasa di panggil Matt.” Matt mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu.“Lyra.” Wanita itu membalas uluran tangan Matt.Matt tersenyum. “Well, apa aktifitasmu?”“Aku mahasiswa di Universitas XX.”Matt terus memperhatikan wajah wanita itu. Mat, hidung, dan bibirnya sama persis dengan yang di miliki Nina.“Sorenya, aku bekerja part time di sebuah cafe.&r
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Matt sengaja mampir ke kediaman Osborne. Entah mengapa ia pun merasakan kehangatan keluarga itu.“Hai, ada perayaan tak mengundangku. Kejam sekali kau, Kak.” Ucap Mat yang tiba-tiba datang.“Aku ingin mengundangmu, tapi sepertinya kau sibuk.” Jawab David santai.“Aku tidak sibuk, jika untuk urusan keluarga. Keluarga nomor satu, bukan begitu?”Sejak kepergian ibunya, Matt merasa sangat kesepian. Walau sebelumnya pun, ia sudah merasa kesepian. Ia ingin seperti kakaknya dan memiliki keluarga.Matt menghampiri Nina yang berada di dapur. Ia pun melihat seorang pria yang menemani gadis itu di sini. Dia adalah Ardi, Ardiansyah Nugroho, adik dari Sari yang sedang menempuh pendidikan militer, tapi kali ini ia sedang libur sehingga bisa bersama keluarganya berlibur.“Hai cantik. Ini kamu yang membuat? Hmm.. manis, sama sepertimu.” Matt meneguk minuman dingin berwar
Matt sudah memulai belajar bahasa Indonesia dengan Lyra. Di setiap weekend Matt tidak lagi pergi ke club dan bermain wanita. Ia lebih memilih di apartemen bersama Lyra seharian. Lyra wanita yang cukup menyenangkan, tapi entah mengapa Matt tidak memiliki perasaan apapun padanya, justru perasaan ingin menjaga wanita itu lebih besar. Mungkin insting Matt yang sejak dulu ingin sekali memiliki adik perempuan pun timbul.“Apa Ini? Jawab aku dengan bahasa Indonesia.” Kata Lyra menggunakan bahasa Inggris.“Kursi.” Jawab Matt.“Ini?” Tanya Lyra menunjuk benda yang ada di sekitarnya.“Lemari.”“Bola.”“Gelas.”“Sendok.”“Garpu.”“Pisau.”Lyra terus menunjuk beberapa benda di sana dan Matt dengan cepat menjawab semua benda yang Lyra tunjuk dengan menggunakan bahasa Indonesia.“That’s good.” Lyr
Satu tahun kemudian, Matt dan Mike akan terbang ke Bali, semula ia ingin terbang ke jakarta untuk menemui sang kakak, keponakan dan yang utama adalah Nina, asisten kakak iparnya yang sangat ia rindukan. Entah mengapa Matt sangat terobsesi oleh gadis Indonesia itu.Matt dan Mike berangkat dengan menggunakan jet pribadi milik keluarga Osborne. Sedangkan, Harry hanya mengantarkan kedua sahabatnya dan di temani oleh Lyra.“Harry, jaga Lyra untukku.” Ucap Mike berbisik pada pria berkacamata itu.Mike memang telah menyatakan cintanya pada Lyra, tetapi wanita itu. Namun, hingga saat ini Lyra belum menjawab pernyataan cinta Mike. Bukan karena Lyra tidak menyukai Mike. Namun, Lyra tahu betul bagaimana Mike, ia hanya takut. Mengingat Mike adalah pria yang sering melakukan one night stand. Ia hanya mencoba membentengi hatinya agar tidak sakit untuk kedua kalinya.“Hmm.. oke, Tapi kau tetap harus banyak berdoa, semoga aku tidak tergoda oleh wa
Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.“Eumm..”Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia mencoba mengingat insiden itu.“Matt, lihatlah!"Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.
Din, kita jadi ke Mall?” tanya Tasya.“Iya, jadi.” Dinda merapihkan peralatan medisnya, karena waktu bertugas mereka telah selesai.“Bokap lu udah transfer?” tanya Tasya.Lama berteman dengan Tasya membuat logat Jawa Dinda memudar, karena walau mereka tinggal di Surabaya, tetapi mahasiswa yang berasal dari jakarta sangat banyak.“Udah.”Dinda dan Tasya langsung menuju kota sebelum matahari tenggelam. Mereka menaiki taksi setelah berada di jalan raya.“Stop.” Tasya melambaikan tangannya pada mobil berwarna biru itu.Mereka pun membuka pintu mobil dan masuk.“Ke Mall xxx ya pak,” kata Dinda.“Itu di mana ya, Mba? Maaf saya baru ada di Bali, jadi masih belum tau jalan.”Dinda dan Tasya menghelakan nafasnya.“Ya udah, gue buka google map dulu,” kata Dinda. Lalu, mereka jalan.Di dalam mobil, Dinda dan Tasya merasa k
Keeseokan harinya, Matt sudah siap untuk berangkat ke Bandara. Ia di antar oleh Mike. Kali ini, ia tak di temani oleh sahabatnya, karena Mike menggantikan dirinya untuk menghandle pekerjaan selama ia pergi ke Jakarta.“Kau langsung akan menikahinya?” tanya Mike.“Kalau itu tidak mungkin Mike. Aku saja tidak tahu apa dia menyukaiku atau tidak,” jawab Matt saat mereka berjalan beriringan dan memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai.“Hei tidak biasanya kau pesimis seperti ini. Mana Matthew si penakluk wanita yang aku kenal,” ledek Mike, membuat Matt tertawa.“Mungkin itu berlaku di tempatku.”Mike tertawa. “Jago kandang.”Matt ikut tertawa.“Tapi ku lihat, kau sekarang terlalu pemilih, Bro.” Mike menghentikan kakinya, karena ia hanya bisa mengantar sahabatnya sampai di sini.“Mungkin ini karena aku terlalu terobsesi untuk menggapai cintaku, sehingga aku tida