Perlahan, wanita itu terbangun. Kepalanya sangat berat. Ia terkejut dan mengecek dirinya.
“Ah, pakaianku masih utuh.” Gumamnya.
‘Aku bukan pria yang memanfaatkan wanita yang sedang mabuk berat.” Suara itu muncul di hadapannya.
“Kau.” Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
“Kau berhutang padaku. Kau kalah dan harus menemaniku tidur selama satu bulan.” Ucap Matt sembari mendaratkan dirinya di samping wanita itu.
Wanita itu masih diam.
“Mattew, biasa di panggil Matt.” Matt mengulurkan tangannya di hadapan wanita itu.
“Lyra.” Wanita itu membalas uluran tangan Matt.
Matt tersenyum. “Well, apa aktifitasmu?”
“Aku mahasiswa di Universitas XX.”
Matt terus memperhatikan wajah wanita itu. Mat, hidung, dan bibirnya sama persis dengan yang di miliki Nina.
“Sorenya, aku bekerja part time di sebuah cafe.”
“Oya? Kalau begitu mulai malam ini, kau bekerja padaku.”
“Matt, aku mohon, sudahi kesepaktan semalam. Waktu itu aku benar-benar sedang tidak bisa berpikir jernih.” Ucap Lyra.
“Oh, tidak bisa Lyra. Kau sudah menyetujuinya.”
“Please, Matt. Malam itu aku sedang kalut. Tolonglah. Bagaimana jika aku membersihkan apartemen ini selama satu bulan? Dan kau menggajiku.”
Matt tertawa. “Itu tidak ada untungnya bagiku.”
“Benar-benar, wanita Asia memang lucu.” Matt menggelengkan kepalanya.
“Oke, karena kau mirip sekali dengan wanita yang aku sukai. Maka kau aku bebaskan.”
“Benarkah? Kau serius?” Lyra mendekap lengan Matt hingga menempel pada dadanya.
“Tapi, jika kau seperti ini terus. Mungkin aku akan berubah pikiran.”
Sontak, Lyra melepas lengan Matt.
“Dengan satu syarat.” Kata Matt lagi.
“Apa? Asal itu bukan urusan ranjang, akan aku lakukan.” Jawab Lyra.
Matt tersenyum.
“Ajari aku bahasa Indonesia.” Ucap Matt.
Lyra tersenyum senang. “Itu sangat mudah.”
“Kapan kita mulai belajar? Hari ini?” Tanya Lyra.
Matt berdiri dan mengambil jam tangannya. “Aku akan berangkat kerja sekarang.”
Matt melempar pembersih wajah wanita yang baru saja ia beli online. “ini.”
Dengan cepat Lyra menangkapnya.
“Bersihkan wajahmu dan makanan lah. Akan ku beritahu kapan kita mulai belajar.” Matt mendekati Lyra dan mengacak-acak rambutnya.
“Kau terlihat berantakan dan kotor.” Ucap Matt lagi sesaat sebelum keluar dari kamarnya.
Kakinya melangkah keluar dari apartemen itu, sembari mengambil satu sandwich yang ia buat tadi. Ia tersenyum, seakan memiliki seorang adik perempuan.
Di dalam kamar, Lyra masih duduk termenung. Ia merasa Matt adalah pria yang baik. Beruntung di club itu ia bertemu dengan Matt, entah jadinya jika ia justru bertemu dengan pria yang benar-benar brengsek. Perlahan, Lyra berjalan menuju kamar mandi dn melihat dirinya di cermin.
“Apa aku berantakan dan kotor? Huwaa..” Lyra menangis.
Ia memang terlihat seperti itu, di tambah eyeliner yang luntur. Ia pun jijik dengan penampilannya sendiri. Ini semua karena pahat hati. Lyra patah hati pada kekasihnya yang berada di Indonesia. semalam, sang ekkasih telah menikah, padahal sewaktu Lyra berangkat kuliah di negara ini, sang kekasih berjanji akan menunggunya. Namun nyatanya, baru satu tahun lebih di tinggal, ternyata sang kekasih tidak kuat menjalani hubungan jarak jauh.
Di kantor, Matt langsung bertemu dengan Mike.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Mike.
“Apa?”
“Halah, pura-pura. Wanita Indonesia itu” Ucap Mike.
Mike tersenyum. “Aku tak berani menyentuhnya, karena sepertinya dia wanita baik-baik.”
“Apa? Kau melepaskan wanita itu. kalau begitu berikan dia padaku.”
“Jangan macam-macam kau!” Matt memperingatkan sahabatnya, lalu pergi.
“Matt.” Mike masih memanggilnya, tapi Matt tetap berjalan cepat.
“Huft.” Mike tak lagi mengejar Matt, karena Matt sudah masuk ke dalam lift. Matt melambaikan tangannya saat pintu lift akan tertutup.
“Si*l. Kalau aku bisa menaklukan wanita itu. Akan ku nikahi dia.” Ujar Mike yang memang tertarik ketika melihat wanita di club yang di ajak Matt untuk taruhan minum, padahal ia tahu betul wajah wanita itu seperti wajah pemula dan tidak terbiasa minum.
Di apartemen Matt, Lyra seperti pemilik apartemen itu karena Matt membebaskannya, bahkan Matt menempelkan secarik kertas di atas lemari es. Kertas itu berisikan passcode apartemen ini. Walau Matt terlihat baik, tapi Lyra harus tetap berhati-hati.
Lyra dari keluarga yang cukup berada. Orang tua Lyra memiliki beberapa showroom mobil di beberapa kota. Namun, ia tidak mau manja dan selalu meminta uang pada orang tuanya. Terkadang ia juga mencoba untuk bekerja di paruh waktu.
Setelah membersihkan diri, Lyra juga membersihkan apartemen Matt dan menempelkan nomor teleponnya pada dinding lemari es.
“Jika ingin memulai belajar bahasa indonesia, hubungi aku.” Lyra menuliskan pesan itu di sana. Kemudian, ia bergegas kembali ke apartemennya.
Hari ini, kepala Matt terasa ingin pecah karena urusan di kantor yang sangat padat. Ingin rasanya bermalam di kediaman Osborne dan bertemu dengan Nina, tapi rasanya tubuh Matt ingin segera berisitrahat. Akhirnya, ia melajukan mobilnya menuju apartemen. Ketika sampai di dalam,ia melihat keadaan apartemennya yang sudah rapih dan wangi.
“Sepertinya, wanita itu membersihkan tempat ini.” Gumam Matt mengingat Lyra sembari mengulas senyum.
Ia membuang dasinya asal dan sepatunya juga, menjadikan tempat yang tadinya rapih seketika berantakan kembali. Ketika ingin membuka lemari es, ia menarik kertas yang di tuliskan dari tangan Lyra. Ia tersenyum sembari membaca pesan itu. Lalu, ia letakkan kembali di tempat semula.
“Sepertinya, langkahku untuk mengikutimu semakin dekat, Dav.” Gumam Matt, sambil menyesap minumannya.
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama