Home / Fantasi / Pendekar Cahaya / Iblis Seribu Racun

Share

Iblis Seribu Racun

Author: Omesh
last update Last Updated: 2022-07-22 17:21:34

Menteri Supala segera mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh orang tersebut, mencegah racun menyerang jantung. Orang tersebut membuka matanya.

Pakuwon berteriak cemas, “Aryasuta ini aku Pakuwon! Bersama dengan Tuan Menteri Supala, jelaskanlah dimana Permaisuri Safira berada.”

“Uhuk ... uhuk ... hoek!” Aryasuta memuntahkan darah hitam berbau amis, tampaknya nyawanya tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi.

Menteri Supala menyalurkan tenaga dalamnya semakin deras. Dia berharap Aryasuta bisa menyampaikan keberadaan Permaisuri Safira.

“Surya ... Bar... at, de ... kat da ... nau, hoeeek!” Aryasuta muntah darah lagi dan melayanglah jiwanya. Kematian yang tragis. Selama ini Aryasuta ketakutan, bersembunyi, lari dari kejaran kakek bertongkat kepala ular, tetapi akhirnya tewas di tangan orang itu juga.

**

Siapakah kakek bertongkat kepala ular itu sebenarnya?

Kakek itu adalah seorang datuk persilatan penguasa Lembah Ular di daerah Surya Barat. Dia seorang pawang ular yang terkenal kejam dan ganas, orang dunia persilatan mengenalnya sebagai Iblis Seribu Racun. Nama aslinya adalah Permadi. Dulunya dia adalah seorang pelayan di rumah seorang kaya, keluarga adipati Surya Barat, karena sering disiksa dan mengangkat beban berat, tubuhnya jadi bungkuk.

Suatu ketika Permadi disuruh mengirim barang ke salah satu kerabat majikannya. Untuk mempersingkat waktu dia memilih jalan yang melewati lembah Ular. Di sini tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya sehingga Permadi terjatuh.

Permadi mengomel panjang pendek, “Kuda sialan! Apa-apaan main angkat kaki seenaknya. Apa kau pikir tidak sakit jatuh begini? Adu ... du ... duh pantatku. Eh malah kabur lagi, hoooi ... kembali kuda jelek.”

Ketika Permadi akan berdiri didengarnya suara desis yang keras, “Ssssssssssss ... “ Dan ratusan ekor ular berbagai jenis sedang merayap ke arahnya dari samping. Permadi terpana, bulu tengkuknya berdiri, dia bergidik.

Lebih aneh lagi ternyata ular-ular itu seperti dipimpin oleh seekor ular yang merayap paling depan. Tubuhnya tidak terlalu besar hanya warnanya merah cerah dan ada semacam jengger berwarna kuning di atas kepalanya sehingga menyerupai mahkota. Raja ular ini mengerutkan tubuhnya dan tiba-tiba meloncat bagaikan terbang menyerang Permadi. Kaget diserang seperti itu Permadi refleks mengibaskan tangan kirinya, sial, malah tangan kirinya yang digigit oleh sang raja ular. Permadi berteriak kesakitan, “Wadaaooww ... “ Lalu dengan panik dikibas-kibaskannya tangan kirinya berharap ular tersebut lepas, tapi ternyata gigitannya malah semakin kencang. Karena panik dan gemas ular itu masih menempel di tangannya, dipegangnya badan ular itu dan digigitnya dengan kuat. Seketika darah ular itu merembes keluar, masuk ke mulutnya, ternyata tidak terlalu amis bahkan ada sedikit rasa manis. Permadi kalap, disedotnya terus darah raja ular itu. Anehnya setelah minum darah ular tersebut dirinya tidak merasa keracunan, justru badannya menjadi segar. Tak butuh waktu lama malah sang Raja Ular yang terkulai lemas di tangannya dan melepaskan gigitannya.

Permadi bangkit berdiri. Gerombolan ular di hadapannya malah mundur. Tidak ada seekorpun yang berani maju menyerangnya. Ketika dia maju, gerombolan ular yang jumlahnya ratusan itu malah menyingkir ke kanan dan kiri menyisakan jalan di tengah mereka. Permadi heran dan takjub dengan pemandangan ini. Dia disambut bagai seorang Raja oleh kawanan ular ini. Dia berjalan ke dalam lembah Ular yang selama ini tak terjamah seorangpun. Semakin ke dalam, ular-ular itu masih mengikutinya. Akhirnya sampailah ia di ujung lembah dimana dinding tebing tinggi menghadangnya. Dinding alam ini dipenuhi tumbuhan rambat, sangat rapat sehingga sama sekali tak terlihat dindingnya. Permadi berhenti, tetapi ular-ular itu merayap terus melewati bawah tanaman rambat dan menghilang. Ratusan ular yang mengikutinya melata menuju ke arah yang sama dan tidak muncul lagi.

Permadi berpikir, “Apakah ada gua di balik tanaman rambat ini? Mungkin itu adalah sarang dari ular-ular ini.” Untuk membuktikan dugaannya dia mencabuti tanaman rambat itu. Ternyata benar, ada mulut gua yang tidak terlalu besar sehingga orang harus membungkuk untuk melewatinya. Dimasukinya gua itu dan ternyata di dalamnya cukup luas, langit-langitnya tinggi dan ada lubang besar di tengahnya sehingga kondisi gua tidak gelap maupun pengap. Tetapi yang mengerikan adalah pemandangan di lantai gua. Ribuan ular meliuk-liuk, ada yang melingkar, mengangkat kepalanya bahkan ada yang saling melilit entah bertarung atau sedang kawin.

Permadi memberanikan diri melangkah ke dalam gua, peristiwa seperti di luar tadi terulang lagi setiap dia melangkahkan kaki ular-ular yang ada di sekitarnya segera menyingkir. Permadi memandang berkeliling, dilihatnya dinding gua bagian barat seperti tergores-gores, didekatinya dinding itu ternyata ada tulisan dan gambar orang dengan berbagai posisi. Dibacanya tulisan itu dimulai dari yang paling kiri, Hanya yang berjodoh bisa masuk ke sini, kuwariskan ilmuku kepadamu, tertanda Dewa Ular. selanjutnya adalah teori cara melatih pernafasan dan mengolah tenaga dalam, serangkaian jurus tangan kosong yang disebut ‘Tangan Beracun’, serangkaian lagi jurus tongkat, dan terakhir cara meracik dan membuat racun serta pemunahnya.

Permadi terpana, dia tidak mengira akan seberuntung ini mendapatkan warisan ilmu yang hebat dari sang ‘Dewa Ular’.

Sejak saat itu Permadi tinggal di Lembah Ular dan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan sang Dewa Ular.

Waktu terus berlalu, bertahun-tahun Permadi melatih ilmunya, hingga akhirnya dia merasa cukup puas dengan hasil latihannya. Teringatlah dia akan perlakuan kejam majikannya serta upahnya yang belum diterima. Didatanginya rumah majikannya, masih besar dan sangat megah seperti dulu, hanya sekarang ada 2 orang berjaga di depan gerbang.

“Hei ... hei ... hei mau apa kau?” bentak salah seorang penjaga dengan kasar.

“Aku dulu bekerja di sini, sekarang aku akan minta upahku yang dulu belum dibayar,” jawab Permadi sambil memandang kedua penjaga itu dengan pandangan meremehkan.

“Jangan sembarangan omong! Mana mungkin Tuan tidak membayar upah pembantunya, sebutkan namamu! Aku akan tanyakan kepada Tuan,” bentak penjaga yang lain.

“Permadi, namaku Permadi,” jawab Permadi sambil mencungkil-cungkil giginya dengan jari.

Penjaga itu langsung masuk ke dalam. Tak lama kemudian keluar lagi, diiringi seseorang yang tambun tubuhnya, mengenakan pakaian yang mewah, inilah bekas majikan Permadi yaitu Tuan Margono, dengan angkuh dia berkata, “Hei benar engkau Permadi! Berani sekali kau kembali ke sini, kembalikan kuda yang kau bawa kabur itu!”

Permadi mendekati tuan Margono sambil berkata, “Kuda sialan yang membuatku jatuh hingga digigit ular, sudah untung aku tidak minta ganti rugi, hei Margono cepat bayar upahku beserta bunganya.”

Tuan Margono mengertakkan giginya, wajahnya memerah karena marah, “Kurang ajar!” Diayunkannya tangannya untuk menampar mulut Permadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Cahaya   Epilog

    Di sebuah gua dekat air terjun, terlihat seorang yang mengenakan pakaian serba hitam hingga hanya matanya yang terlihat. Orang itu menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu muncul cahaya dan kemudian bagaikan tabir yang terbuka, di dalam lingkaran itu menunjukkan sebuah ruangan lain yang bukan bagian dari gua itu.Orang itu melangkah melalui lingkaran yang bercahaya itu, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu penuh peti yang tergeletak di lantai dan beberapa senjata yang tergantung di dindingnya. Orang berpakaian hitam itu mendekati sebuah pedang yang tergantung di dinding, menghunus pedang itu, tapi digantungnya kembali. Ia hanya mengambil sarung pedangnya. Lalu orang itu kembali melewati lingkaran bercahaya itu, yang langsung menghilang setelah orang itu melewatinya. Sedangkan di sebuah tempat yang dikenal orang sebagai bukit Tengkorak. Pada masa ratusan tahun setelah kejadian seseorang mengambil sarung pedang tadi. Di kamar sang Ratu penguasa bu

  • Pendekar Cahaya   Tewasnya Sang Pengkhianat

    Semua orang mengalihkan pandangannya ke luar ruangan, bahkan Nayaka yang posisinya terdekat dengan pintu langsung meloncat keluar. Tapi tak ada apa pun di luar istana, suasananya tenang-tenang saja. Nayaka sadar ini pasti tipuan licik Bagaskoro lagi. Ketika ia hendak memasuki ruangan kembali dilihatnya Bagaskoro sudah menyandera Raja Bhanu dengan mencengkeram lehernya.Nayaka membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan, ia berputar menuju pintu belakang istana. Sementara Bagaskoro mengancam semua orang akan membunuh Raja Bhanu.Sang Raja berkata pada Bayu, “Adi, aku dan ayahku sudah melakukan kesalahan padamu. Bunuhlah pengkhianat ini, jangan pedulikan aku, engkau yang berhak atas takhta ini.”Bayu ragu, ia mencoba memberikan penawaran pada Bagaskoro, “Bagaskoro lepaskan Kanda Bhanu, maka aku akan membebaskan Prastowo.”Bagaskoro tertawa, “Hahaha setelah itu kau akan menyerang dan membunuhku, kau kira aku tidak tahu niat busukmu.”Bayu menjawab, “Jangan kau anggap semua orang seperti

  • Pendekar Cahaya   Pertarungan Akhir

    Bagaskoro sangat geram, giginya gemeretuk menahan emosinya, “Aku tidak peduli, akan kubunuh semua orang yang ada di ruangan ini.” Mata Bagaskoro memerah, ia sudah kehilangan nalarnya, dihunusnya pedang pengisap bintang.Bayu segera mengeluarkan sarung pedang pengisap bintang dari selongsong timah hitamnya.Bagaskoro tidak terkejut, ia sudah menduga sarung pedang itu berada di tangan musuh-musuhnya. Tapi ia tidak khawatir, karena yang terpenting adalah tenaga dalam khusus saat pedang pengisap bintang digunakan. Bagaskoro menyerahkan pedang pengisap bintang pada Ki Lurah Gondomayit, dan disuruhnya untuk menjauh. Ki Lurah mengerti maksud Bagaskoro. Ia segera menjauh agar pengaruh pedang pengisap bintang tak terasa lagi. Bagaskoro berharap Bayu akan melemparkan sarung pedangnya agar tak terkena pengaruhnya. Tapi kali ini dugaannya salah. Bayu hanya memasukkan sarung pedang itu kembali ke dalam selongsong timah hitamnya. Bagaskoro tertawa, “Hahaha, ayo kita mulai.” Ia bersiap-siap denga

  • Pendekar Cahaya   Impian Yang Kandas

    Bagaskoro mengangkat tangannya, lalu berkata dengan suara lantang, “Terima kasih saudara-saudara. Aku hanya seorang diri tidak ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Maka mulai sekarang marilah kita bersama-sama menciptakan suasana aman dan tenteram di dunia persilatan serta dengan setia menjadi penopang negeri yang kita cintai ini, Antakara.”Para penonton kembali bertepuk tangan dan berseru, “Setuju!!! Kami siap menerima perintah Ketua!”Bagaskoro sekali lagi mengangkat tangannya, “Untuk lebih menjalin keakraban di antara kita, aku mohon saudara-saudara jangan membubarkan diri dulu. Aku telah menyiapkan sebuah perjamuan untuk kita. Silakan dinikmati.”Di mana pun sebuah perjamuan selalu dinantikan dalam sebuah acara. Para penonton bersorak gembira, mereka merasa tidak salah mendukung Tuan Bagaskoro, yang ternyata sangat royal pada mereka.Di tengah keriuhan orang mengambil makanan, ada seorang prajurit yang baru turun dari kudanya dan berseru, “Di mana Tuan Penasihat! Cepat! Aku m

  • Pendekar Cahaya   Pemimpin Dunia Persilatan

    Keadaan menjadi gelap, lalu ‘Jboooooooom’ kilatan cahaya dari ledakan tenaga dalamnya menyilaukan mata semua orang, ketika mata mereka tertutup, tubuh mereka terpental disambar kekuatan angin panas dan bara api dari batu dan kerikil yang berhamburan menghajar mereka. Tak seorang pun yang masih bisa berdiri, Bhirowo yang terdepan merasakan pengaruh ledakan panas itu paling hebat. Ketika keadaan menjadi gelap Bhirowo tersentak, jelas ini bukan jurus sembarangan, tapi sudah terlambat, tubuhnya bagaikan masuk ke neraka, jeritannya menyayat hati, hilang sudah keangkuhannya, tubuhnya telentang melepuh dan mata terbelalak. Mulutnya masih sempat bergumam, “Jurus apa itu ...” sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.***Di arena pertandingan, hari ke-tiga, dan ke-empat, Baroto berhasil menaklukkan lawan-lawannya. Setelah mengalahkan Tuan Dewangga dan Bayu di hari ke-dua, berturut-turut Baroto menundukkan Tuan Paskalis, Tuan Bimantoro dan Tuan Mahesa Ludira. Sekarang tinggal tersisa Tuan

  • Pendekar Cahaya   Kamera

    Raja Darpa terkejut, ada prajuritnya yang berani memukul Prastowo. “Hei, siapa kau?”Prajurit itu dengan tenang berjalan mendekati Raja Darpa. “Maaf Yang Mulia, nama hamba Bayu Narendra. Hamba adalah Pangeran Antakara. Yang Mulia sudah menyerang negeri hamba karena terpengaruh hasutan dari Bagaskoro dan putranya Prastowo. Tunggulah sebentar, teman hamba akan segera datang membawa buktinya.”Tak seberapa lama muncullah di tengah ruangan seorang gadis cantik bermata kelabu. Ia mendekati Raja Darpa. Sang Raja terkejut. Ia mengenali gadis itu. “Bukankah kau penyusup yang mencoba meracuni aku.”Kirani membungkuk hormat, “Nama hamba Kirani Yang Mulia. Saat itu hamba hanya berkunjung ke Buntala untuk mencari Prastowo, sama sekali tidak bermaksud meracuni Paduka.”“Lalu siapa yang menaruh racun dalam minumanku?” tanya sang Raja.“Dia!” Kirani menunjuk Prastowo.“Tidak mungkin, Prastowo menantuku, untuk apa dia mencoba meracuniku?” Raja Darpa tidak percaya pada keterangan Kirani.“Sabar Yang M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status