"Kami mengganggu acara tidurmu, kan?" tanya Bian.
Sang Naga berhenti berputar. "Ho, iya, gara-gara restoran busuk ini!" kasar ekornya menghancurkan restoran Zhou hingga menjadi puing-puing.
Liu Bian tersenyum mendekati Naga.
"Bian!" teriak Zhou berusaha menarik lengan sahabatnya. "Apa kau gila? Nanti kau bisa dimakan!"
"Qiu Niu," tegur Bian.
"Eeh?" Naga itu terdiam. "B-bagaimana kamu bisa tahu?"
"Bian, apa maksudmu?" tanya Zhou. "Nu Nu siapa?"
"Berengsek!" sentak Qiu. "Namaku Qiu!"
"Qiu, aku tahu kamu menyukai musik. Bagaimana kalau aku memainkan musik untukmu?" ujar Bian.
"Kamu mau?" tanya Qiu. Matanya tertuju pada suling di tangan Bian. "Jadi kamu ya, yang bermain tadi?"
Bian mengangguk. "Tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya?" tanya Qiu.
"Pertama, aku minta kamu membantu kami pergi ke bumi. Kedua, jangan menyerang kami. Ketiga, jadilah sahabat kami."
"Kenapa tidak jadikan dia pem
Zhou selalu hiperaktif, jadi dengan mudah dia bisa menarik kerah pakaian Bian dan menariknya jatuh. Dia mengejek dengan mengeluarkan lidah kepada pemuda itu."Apa-apaan kamu, Zhou!" sentak Bian."Biar aku saja. Qiu, jaga Bian ya!" Dan dengan loncatan kelinci, dia masuk ke gerbang."Zhou!" teriak Bian, merangkak maju hendak menggapai sahabatnya. Akan tetapi pintu kehidupan tertutup rapat.Dia mencoba mendorong, mendobrak, menarik, tetapi semua sia-sia.Semua itu hanya menguras tenaga Bian, hingga dia ambruk memukul tanah. "Dasar bodoh!""Ah, persahabatan yang indah." Qiu duduk bersandar pohon sembari memangku satu kaki. Dia bersenandung lagu favorit-nya. Cang hai yi sheng xiao.Perbuatan yang seakan tidak peduli dengan nyawa sahabatnya ini membuat Bian lepas kendali. Dia mencengkeram kerah pakaian naga itu sampai Qiu berdiri. "Kamu, kenapa tidak membantuku mencegah si bodoh itu?""Kenapa harus dicegah?" tanya Qiu, memasang wajah
"Dasar bocah nakal!" sentak Sima Yi, menjewer telinga Sima Zhou. Dia mengira Zhou memanggilnya dengan sebutan berengsek. "Kamu sudah bangun rupanya, hmm? Berani sekali kamu bicara seperti itu kepada Ayah dan Kakek Zuo Ci!" "Ayah, Ayah, ampun, ah, sakit!" Dengan manjanya Zhou meringis, berdiri mengikuti jeweran Ayah yang sangat menyiksa sendi-sendi telinga. Dia bertekuk lutut. Bibir bawah melipat keluar cemberut. Di tengah keramaian Bian berkata dengan nada serius. 'Zhou, tolong jaga rahasia keberadaan kita. Cukup kita yang tahu. Kamu mengerti?' "Ayo sekarang minta maaf pada Kakek Zuo Ci!" sentak Sima Yi, sebenarnya air mata yang keluar adalah air mata bahagia karena anaknya telah siuman. Tapi Sima Yi malu, alhasil dia marah-marah tidak jelas. "Masih kecil sudah badung! Seenaknya sendiri memanggil berengsek, memang dia berengsek tapi jangan jujur-jujur." "Apa?" Sahut Zuo Ci yang duduk di kursi. "Maksud aku, bocah ini berengsek." Sima Yi mencubi
Zhou dan Shi sampai di perempatan jalan. Begitu ramai jalan itu dipenuhi orang-orang yang membawa buntalan, juga kotak-kotak besar. Antrian gerobak terjadi karena tidak bisa jalan. Zhou mencari tahu sumber kemacetan. Ternyata gerobak terdepan yang ditarik kerbau, ban-nya rusak. Puluhan pemuda berusaha mendorong gerobak ke tepi jalan. "Ayo Kkita bantu mereka!" ajak Zhou dengan penuh semangat, tanpa memperhitungkan siapa mereka. Yang dia tahu orang butuh bantuan harus ditolong. Kehadiran bocah itu tidak banyak membantu, akan tetapi Shi yang lebih dewasa mampu memberi sedikit kekuatan untuk menyingkirkan gerobak. "Haah, dasar lemah. Minggir!" Seorang pemuda kekar datang. Ototnya sebesar batu sungai. Walau wajah belum berjenggot, dia berani menarik mundur orang-orang yang lebih tua. "Hei, anak muda, bisa apa kamu, hah?" tanya seorang tua. "Bisa begini!" Dia mengangkat gerobak seorang diri ke tepi jalan. Aksinya menyita perhatian. S
"Aku beli lima!" Sejenak Zhou merasa di atas angin ketika banyak orang memandangnya sambil bertepuk tangan. Gaya berjalan Zhou seperti juragan tanah membawa bungkus bakpao. "Minggir!" teriak seorang pasukan berkuda, membuka jalan untuk beberapa penunggang kuda lain. Zhou yang kurang sigap terlambat menyingkir dari jalan hingga dia terjungkal ke belakang. Kantung berisi bakpao jatuh ke comberan, dua bakpao terinjak injak tapal kuda. Belum sempat dia memungut yang tersisa, beberapa tangan merebut bakpao, hingga Zhou hanya bisa mengambil dua bakpao. Satu masih bagus satu sudah kotor terjatuh. "Manusia biadab! Merebut bakpao dari anak kecil!" "Yang sudah di tanah, bebas diambil orang!" Begitu jawab pemungut bakpao, melahap habis makanan itu. Andai Zhou punya ilmu silat pasti sudah menghajar mereka semua. "Heh, bocah," ucap penjual bakpao, menaruh satu bakpao ke kepala Zhou. "Anggap bonus, sudah sana, kembali ke kelo
Ujung tajam pedang Qiao mengarah ke tangga yang gelap. Sebagai yang lebih tua, dia ingin melindungi Zhou. "Siapa di sana, keluar atau kuhajar!" Suara langkah terdengar mendekat. Sosok Shi menuruni tangga sambil membawa mangkuk berisi nasi. Suaranya terbata-bata ketika menjawab. "A-ahm, maaf. Apa nona melihat adikku?" Zhou langsung melepas gandengan Qiao, meluncur menarik tangan Kakaknya mendekat. "Kak, tadi aku diberi makan sama Kak Dendeng. Enak sekali loh, mantaunya. Tadi aku mau minta lagi--" "Kamu meminta makanan pada Nona ini?" Shi menepuk kasar kepala Zhou. "Siapa yang mengajarimu mengemis?" Qiao menangkap tangan Shi yang nakal, menahan supaya tidak menganiaya
Bagai semut yang mengerumuni tumpahan kuah sop, para warga berkumpul memadati satu sudut pasar. Kebanyakan dari mereka lelaki, tua muda, campur aduk dan berteriak histeris sambil membawa koin-koin perunggu yang diikat menjadi satu. Dia melihat sosok pembawa ayam masuk ke sana, membuatnya mendatangi kerumunan. Badan Bian kecil jadi bisa dengan mudah merangsak maju. Pagar bambu mengelilingi lahan kecil. Di sana terdapat dua ayam jago yang saling menyerang. Keji, sungguh biadab, para manusia memaksa mereka untuk saling melukai. Untung tidak sampai terbunuh. Ayam yang menjatuhkan tujuh bulu, kalah. Bulu besar, bukan yang lembut, kecil dan mudah tertiup angin. Lucu juga melihat ayam yang kalah, seperti bisa bicara, aku menyerah aku menyerah, sambil melangkah menjauh dan kepalanya maju mundur, menghindari serangan lawan. “pemenangnya, si hitam!” teriak seorang pria yang membawa bendera. Dua pemuda mengambil ayamnya. Pemuda pemilik ayam yang kalah marah-mara
Keesokan hari giliran Zhou yang menguasai badan. Dia bangun sebelum Kakak bangun, bahkan langit masih belum terang. Ini kebiasaannya suka bangun pagi untuk buang air kecil di semak-semak. Setelah puas dia hendak kembali ke penginapan.Belum juga sampai ke sana, seseorang memanggil. “Hei Nak.”Zhou tidak tahu siapa yang dipanggil Nak, dia memandang ke sekeliling, hanya ada beberapa lelaki yang membawa cangkul menuju sawah dan seorang gadis sibuk menyapu pelataran penginapan.“Nak, kamu yang kemarin bermain suling,” panggil seorang lelaki yang duduk di dalam warung makan di depan penginapan.Zhou menunjuk wajah bloon-nya sendiri. Setelah menerima anggukan dari pria itu, dia mendekatinya. “Ada perlu apa, Paman?”Pria tampan berbadan tegap menarik Zhou duduk di kursi kosong di sebelahnya. “Kamu jago sekali bermain suling, padahal umurmu masih sangat muda. Paman kagum Nak. Siapa namamu?”Zhou
Sementara itu di Luoyang. Cao Cao belum tenang. Semenjak Bian menghilang, dia tidak bisa bertemu dengan Ibu Suri. Semua terjadi karena Cao Cao gagal melindungi Bian. Tiada Sang Ibu Suri ketahui jika anaknya selamat. Parahnya, beliau mengira Cao Cao membunuh Bian. Dengan begitu Xian pun membenci Cao Cao, sebuah benci kesumat yang bagai nyala api yang susah padam, sepertinya hanya bisa padam kala kiamat tiba. Sekarang seperti malam sebelumnya, Cao Cao duduk di gazebo taman rumah, meneguk arak sambil memandang langit bertabur bintang. “Aku mengangkat minuman dan menyanyikan sebuah lagu, karena siapa yang tahu apakah hidup seseorang pendek atau panjang? Hidup manusia seperti embun pagi, hari-hari yang lalu banyak hari yang akan datang belum tentu berjumlah sama. Kesedihan hatiku hatiku berasal dari kepedulian yang tidak bisa aku lupakan. Siapa yang bisa mengungkap kesedihanku ini, aku hanya mengenal satu orang, Dewa Arak!” Dia mendongak, menuang a