Malam itu Bima menyewa satu kamar untuk menginap. Penginapan nya tidak jauh dari Perguruan. Menurut kabar yang dia dengar besok adalah hari pelelangan barang antik dan pusaka digelar. Bima tak menyadari seorang wanita berpakaian serba putih yang sedari tadi mengamati Bima juga menyewa kamar di sebelahnya. Di dalam kamar Bima membuka gulungan kitab Keabadian. Dia kembali membaca dan memperagakan isi kitab tersebut. Paling tidak dalam sewaktu semalam Bima harus bisa mencapai ranah Pukulan Sakti. Itu karena dia tahu dari sebuah kabar, bahwa beberapa ketua di di Perguruan Ular Hitam sudah mencapai Ranah Keabadian tahap awal dan ada juga yang masih di ranah Pukulan Sakti tahap akhir. Meski di ranah Pukulan Sakti tahap akhir, itu sudah cukup menyulitkan jika mereka main keroyokan seperti saat Bima berada di Perguruan Katak Merah. "Jika aku sudah menembus ranah Pukulan Sakti, aku penasaran ajian apa yang akan aku miliki... beberapa waktu lalu saat aku secara paksa berada di Ranah Keabad
Lelaki yang tengah kesakitan itu berteriak mohon ampun pada gadis yang masih saja duduk diam tak bergerak sama sekali. "Ampuni aku nona...! Sungguh aku minta maaf dan tak akan mengulanginya lagi!" ucap lelaki itu. Namun agaknya si gadis tak peduli dengan ucapan lelaki itu. Karena setelah lelaki itu memohon ampun, dari tangannya terdengar lagi suara tulang patah. Suaranya membuat merinding siapa pun yang mendengarnya. "Kejam dan sangat dingin, luar biasa..." puji Bima sambil asik makan. Setelah orang itu terlihat lemas karena dari tadi berteriak dan kesakitan gadis cantik itu baru melepaskan cengkraman bayangan miliknya. Tatapan matanya kembali seperti semula. Lelaki itu terkapar di bawah lantai sambil pegangin tangan kanannya yang remuk. Dia mengerang kesakitan. Gadis itu menoleh ke arah Bima. Pemuda itu terkejut karena dia tengah menatap wajah gadis itu. Seketika Bima mengalihkan pandangan ke arah lain sambil pura-pura tak melihat. Dia pun tetap makan dengan lahap meski tiba-ti
Bima dan Arimbi duduk di lantai dua bangunan kayu itu. Sedangkan para penawar terlihat ramai berada di bawah. Ada beberapa orang yang terlihat seperti bangsawan yang juga duduk di lantai atas. Mereka yang berada di atas adalah orang-orang yang punya pengaruh besar di daerah tersebut. Beberapa orang kaya tersebut melirik Arimbi dengan tatapan penuh nafsu. Bima menyadari itu. Sama halnya dengan Arimbi. Jika bukan di tempat pelelangan, gadis itu ingin mencongkel mata mereka yang menatap dirinya secara tidak sopan. Di bawah sana orang sudah terdengar riuh menanti barang yang akan di lelang hari itu. Seorang wanita pembawa acara bertubuh indah keluar dari balik pintu yang ada di belakang panggung kecil. Dia tersenyum kepada para pengunjung yang akan melelang barang atau hanya sekedar berkunjung. Wanita itu membawa sebuah meja kecil lalu menaruhnya di atas panggung. Saat dia menaruh meja itu, belahan dadanya terlihat jelas m
"Kenapa kamu masih ingin membunuhnya!?" tanya Arimbi kesal. Dia sudah berusaha agar Bima tak membunuh orang di saat pelelangan berlangsung. Bima tak menyahut dan fokus ke arah panggung dimana Arum sedang membawa satu barang lagi yang akan di lelang. Arimbi semakin kesal dengan sifat Bima yang acuh tak acuh. Tiba-tiba salah satu pengawal bangsawan tersebut datang dan bersujud di depan Bima. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Terimakasih pendekar! Anda berhati mulia mau menyelamatkan nyawa kakak saya!" ucap pengawal berbadan besar itu histeris. Arimbi terkejut. Dia salah menduga jika Bima telah berbuat hal buruk. Ternyata Bima memberikan pil untuk menyelamatkan nyawa pengawal bangsawan itu. Pil emas yang bernama Pil Jiwa itu sangat sakti. Bahkan orang sekarat pun bisa langsung sembuh dalam sekejap. Bima tak berucap apa-apa. Dia hanya menyuruh pengawal itu kembali ke tempatnya. Dia sudah kesal sebenarnya karena keinginannya
Bangsawan bertubuh tambun itu naik di atas kereta kuda. Dua pengawalnya menaiki kuda dan berjalan di belakang kereta. Sang kusir pun melecut kudanya dan kereta pun bergerak melaju. Dari kejauhan Bima melihat kereta mewah itu pergi meninggalkan rumah pelelangan. Namun ada yang menarik perhatian Bimasena, yaitu segerombolan orang yang mengikuti dari belakang. Bima ingat, Bangsawan itu membawa banyak uang dan kitab Keabadian. Arimbi pun melihat hal tersebut. Dia tidak berkata apa pun. Dia ingin tahu apakah Bima punya rasa peduli pada orang lain. Tentunya Bangsawan gemuk itu sudah menanam budi pada Bima. "Arimbi, aku akan mengikuti mereka, kamu bisa kembali dulu ke penginapan," ucap Bima. "Tidak! Aku akan ikut denganmu!" ucap gadis itu. Bima menyerahkan pedang suci Shang Widi kepada Arimbi. "Mungkin kau butuh, kau bisa gunakan itu," ucap Bima. Tanpa banyak kata lagi meraka pun beranjak dari tempat itu. Dengan ilmu lari cepat yang mereka miliki mereka segera menyusul Bangsawan yang
Bum!Ledakan dahsyat terjadi saat cahaya hitam itu menghantam pohon jati yang ada di pinggir jalan. Asap hitam mengebul dari bekas ledakan tersebut. Bima menoleh ke arah seseorang yang berdiri berkacak pinggang tak jauh darinya. Pendekar yang selamat dari kematian langsung menghampiri orang itu dan membungkuk hormat. "Guru..." ucapnya. "Ada masalah apa kau dan dia sampai terjadi pertarungan gila seperti ini?" tanya orang tua yang baru saja datang. "Muridmu hendak merampok orang di tengah jalan, jadi pantas untuk mereka mendapat hukuman," sahut Bima. "Heh, aku tidak berbicara denganmu? Aku sedang berkata dengan muridku!" hardik orang tua itu. Bima tersenyum sinis. "Orang tua membosankan," ucap Bima membuat orang yang baru datang itu marah. "Dimana kawan-kawanmu!" bentak orang tua itu. "Mereka... tewas guru..." ucap pendekar itu dengan wajah ketakutan. "Apa!? Ber
Jaya Dipa, seorang guru di Perguruan Ular Hitam tewas di tangan Bimasena. Setelah membunuh Jaya Dipa, Bima segera mendatangi Arimbi yang tergeletak di dekat kereta kuda. "Hei! Keluarlah!" teriak Bima. Banu segera mengintip. Setelah di rasa aman, dia pun keluar dari kereta. "Kita masukkan dua orang ini ke dalam kereta," kata Bima lagi. Arimbi dan Suli di masukkan ke dalam kereta kuda. Banu menjaga mereka di dalam kereta. Bima segera melecut kuda itu agar segera berjalan. Bima membawa kereta menjauh dari Perguruan Ular Hitam. Dengan keadaan Arimbi yang sedang tak sadarkan diri Bima tak mau menantang bahaya. Kereta itu berhenti di dekat sebuah gubuk kecil. Bima menyembunyikan kereta itu masuk ke dalam pepohonan. Dua tubuh yang sedang terluka itu dia bawa masuk ke dalam gubuk. Bima menemukan gubuk ini saat perjalanan menuju ke Perguruan Ular Hitam. Arimbi dan Suli dibaringkan di atas lantai kayu yang cukup lapuk. Suaranya berderit. "Kamu keluar dulu, aku akan mengobati mereka berd
Keesokan harinya Bima membuka pintu gubuk kecil reyot itu lalu keluar. Langkahnya berjalan menuju ke arah pepohonan di belakang gubuk. Dia melihat kereta kuda yang masih berada di sana tak kurang suatu apa. Arimbi pun keluar setelah memakai pakaiannya. Kini kulitnya sudah kembali ke sedia kala. "Kakang..." panggil gadis itu sambil menenteng pedang suci Shang Widi. Bima berhenti dan menunggu gadis itu berada di dekatnya. "Ada apa?" tanyanya datar. Arimbi menatap wajah Bima dengan wajah malu-malu. "Terimakasih untuk pertolongan mu semalam..." ucap gadis itu. Bima tersenyum kecil lalu kembali melangkah sambil melambai. "Tak usah kau pikirkan," ucapnya. Arimbi mengikuti langkah Bima yang menuju ke kereta kuda. "Hei, apakah kau masih tidur?" seru Bima di dekat kereta. Dari dalam terdengar suara pintu dibuka. Lalu muncullah wajah Banu Wijaya. Bima terkejut melihat sosok yang ada di depannya. "Kau... kau bangsawan tambun yang kemarin kan?" tanya Bima. Sosok itu tersenyum. Dia ad
Tangan Darah mencoba bangkit berdiri. Meski dengan gontai dia berhasil berdiri kembali. Sekujur tubuhnya melepuh terkena serangan Petir Semesta milik Ki Romo.Sedangkan Ki Romo tak lebih baik dari Tangan Darah, setelah terpental keras tubuhnya malah justru melesat ke arah perisai emas milik Ratu Azalea.Saat tubuhnya menghantam perisai emas milik Ratu Azalea, Ki Romo merasa tubuhnya remuk dan terbakar.Beberapa saat lamanya dia tak bisa bangkit berdiri kerena tubuhnya tak bisa dia gerakan.Tangan Darah berjalan kearah Ki Romo dengan langkah perlahan. Wujudnya yang terlihat hancur menambah keangkeran sosok pengikut Bima tersebut."Harus dibunuh...harus dibunuh..." gumam Tangan darah.Ki Romo mencoba mengangkat tubuhnya. Namun tidak bisa. Kakinya telah patah setelah menghantam perisai emas milik Ratu Azalea."Bagaimana bisa disini terpasang sebuah perisai yang sangat kuat...?bahkan lukaku justru aku dapat karena menghantam perisai aneh ini...!" batin Ki Romo masih mencoba untuk bangkit
Tangan Darah terpental setelah menangkis serangan beruntun dari Ki Romo,salah satu dari Tiga Setan Emas.Ki Romo yang dibantu oleh enam pengikutnya berhasil sedikit mendesak Tangan Darah."Siapa makhluk menyeramkan ini? kalau melihat serangan yang dia lancarkan aku tidak merasa asing. Pukulan itu seperti milik seorang pemburu Harta Karun yang pernah ramai dibicarakan oleh Yang Mulia. Dia adalah Datuk Manggala! Orang yang pernah mengalahkan Ketua Pemburu Senyap, Panglima Kerajaan!" batin Ki Romo dengan wajah berubah sedikit pucat.Kejadian Datuk Manggala mengalahkan panglima Kerajaan adalah sebuah cerita lama. Sebelum para pendekar kerajaan berkembang pesat seperti sekarang.Datuk Manggala pernah di ajak oleh kerajaan untuk bekerjasama dalam mencari sebuah harta karun yang konon bisa membawa mereka keluar dari pulau kutukan tersebut.Namun seperti yang di duga,Datuk Manggala tidak mau bergabung dan memilih untuk mencarinya sendiri.Panglima kerajaan mengancam akan mengurung Datuk Mangg
Wujud Bima saat ini telah berubah menjadi wujud Balaraja. Sosok iblis dengan tanduk berwarna emas.Ki Sutan yang melihat perubahan wujud Bima terkejut. Dia tak pernah menduga jika lawannya dari tadi adalah manusia setengah iblis.''Jadi kau manusia setengah iblis? Tak disangka sama sekali ada manusia selain tuan Anggoro yang juga mempunyai kekuatan ibis,huh! tapi kau berbeda dengannya. Aku tak takut sama sekali pada iblis sepertimu!" umpat Ki Sutan.Bima tersenyum sinis. Matanya menatap tajam ke arah Ki Sutan."Aku tak peduli dengan ocehan mu itu! ayo kita lanjutkan lagi pertarungan kita!" teriak Bima lalu menancapkan Pedang Darah ke tanah. 'Jurus Bayangan Ganda!" seru Bima dalam hati.Pedang Darah miliknya bersinar emas.Dari dalam pedang itu muncul dua sosok yang menyerupai Bima. Keduanya langsung menyerang dengan cepat ke arah Ki Sutan. Terkejut dengan serangan dua bayangan yang menyerupai Bima tak membuat Ki Sutan lengah. Dengan jurus Tinju Semesta, Ki Sutan menyongsong serangan
Bima bangkit berdiri. Dia merasakan dadanya sesak setelah terpental jauh karena ledakan Tinju Semesta milik Ki Sutan. "Kekuatan yang sangat dahsyat, apakah ini kekuatan khusus miliknya?" batin Bima sambil menatap ke depan. Ki Sutan berjalan dengan seringai di bibirnya. Tubuhnya terlihat lebih besar dari saat pertama Bima melihatnya. "Bisa bertahan dari serangan Tinju Semesta milikku, aku akui, kau satu-satunya pendekar kelas atas yang bisa melakukannya," kata Ki Sutan memuji. Bima tak menyahut. Dia berusaha mengembalikan jalan napasnya yang sempat sesak. "Tapi, kau hanya beruntung karena tinju ku ini tidak mengenai wajahmu secara langsung... Jika tinjuku berhasil mengenai wajahmu, mungkin kepalamu sudah hilang..." Ucap Ki Sutan lagi. Bima menyeringai. "Jangan banyak membual, coba saja kau buktikan, apakah benar tinju mu itu sesakit yang kau katakan?" tantang Bima. Ki Sutan menggeram marah. Dia melebarkan kedua kakinya lalu mengeluarkan kekuatan sejati miliknya hingga tanah ber
Dengan Pedang Hantu Biru Bima melesat ke langit lalu terbang mengitari desa. Matanya menyapu sekeliling desa dan dia menemukan tiga kelompok yang terpisah seperti yang Kalabunta katakan. Dengan perlahan Bima terbang rendah mengintai kelompok Ki Sutan dari belakang. "Satu Ranah Puncak Tulang Dewa, lima ranah Tulang Dewa tahap tengah. Tidak buruk," batin Bima. Diambilnya beberapa jarum senjata rahasia. Lalu dengan menggunakan Kekuatan Ruang dan Waktu, Bima menghentikan waktu sesaat. Tubuhnya melesat cepat dan melempar tiga jarum ke arah mereka. Saat jarum itu tepar berada di dekat tubuh mereka, Bima kembali menghilang lalu melepas Waktu kembali. Clep! Clep! Clep! Tanpa suara tiga pemburu Senyap tewas setelah leher mereka di tembus jarum milik Bima. Ki Sutan yang mendengar suara benda menancap di leher anak buahnya segera menoleh. Dia sangat terkejut melihat tiga anak buahnya mati tanpa tahu siapa yang membunuh. "Gawat! Ada yang mengintai kita!" ucap Ki Sutan perlahan. Dia menata
Matahari mulai tenggelam. Cahaya emas yang bersinar dari ufuk barat perlahan mulai menghilang digantikan kegelapan malam. Suara lolongan anjing hutan pun mulai terdengar. Dari balik pohon besar yang ada di pinggir desa, berdiri beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka mengenakan topeng. "Kau yakin mereka adalah orang yang berhasil mengalahkan dua tim yang seharusnya menjemput ketua Anjani?" tanya satu sosok dengan topeng bergaris biru. Melihat yang lain semuanya memakai topeng bergaris merah, agaknya orang dengan topeng bergaris biru itu adalah ketua kelompok tersebut. "Benar tak salah lagi, pemuda dengan kekuatan es itu ada di rombongan tersebut. Hanya saja ciri-cirinya tidak begitu jelas," kata sosok lain. "Apakah kau yakin dia bukan murid Perguruan Harimau Perak?" tanya sosok bertopeng garis biru. "Pasti salah satu tetua mereka yang melakukan serangan kepada tim Nyai Anjani. Hanya saja tidak ada berita mengenai ciri-ciri khusus dari pendekar tersebut. Hanya dikatakan pe
Bima memejamkan matanya. Dia pun mulai merasa tidak nyaman setelah mendengar cerita dari Ratu Azalea. "Jadi, selama ini kamu sudah tahu jika kita akan bersama... Kamu juga tahu kita akan menyerang kerajaan, kenapa dari awal kamu tidak melarang ku untuk pergi ke kerajaan?" tanya Bima. "Itu jelas tidak mungkin, kau sudah tahu, hukuman yang akan ku Terima jika aku melawan takdir. Seratus tahun. Aku tak mau dihukum seperti itu lagi. Aku hanya ingin bisa di samping dirimu selama mungkin, baik dalam keadaan senang maupun duka, aku tak akan peduli..." kata Ratu Azalea. Bima mengecup kening istrinya dengan lembut. "Apa yang akan terjadi di masa depan jika kamu ikut membantuku menghancurkan mereka?" tanya Bima. "Kakang akan kehilangan diriku, hanya itu yang aku tahu, kita akan berpisah...dan aku tidak tahu karena apa," jawab Ratu singkat namun membuat Bima seperti dihantam palu raksasa. "Bagaimana bisa aku akan kehilangan dirimu? Apakah tidak ada petunjuk apa yang membuat kita berpisah?"
Bima terdiam setelah Ratu Azalea menjawab pertanyaan nya. "Untuk apa kamu melakukan itu Ratu?" tanya Bima. Ratu Azalea tersenyum. Dia membelai pipi suaminya dengan lembut. "Untuk menjagamu, Sinar Pengikat Jiwa ini juga aku pasangkan pada Tangan Darah. Sebelumnya mereka berdua adalah musuh, ketika kamu menjadikan mereka pengikut, mereka akan mengikuti mu karena kamu lebih kuat. Namun, tak ada yang namanya kesetiaan abadi. Kakang, ingat pemberontakan Lesmana kepadaku?" tanya Ratu Azalea. Bima mengangguk. "Dia adalah orang yang paling ku percaya dalam banyak hal setelah Pamannya. Tapi dengan mudah dia membuang kepercayaan itu, dan menusuk dari belakang setelah aku dalam keadaan lemah. Jika bukan karena pertolongan mu, mungkin aku sedang di permainkan olehnya," kata Ratu Azalea. Kini Bima paham apa tujuan istrinya menaruh Sinar Pengikat Jiwa kepada dua pengikut nya itu. Namun sebenarnya, tanpa Sinar Pengikat Jiwa sekalipun, Tangan Darah tak akan mampu berkhianat. Karena sekali Bima
"Kenapa... Kenapa kamu memilih aku sebagai pengikut mu?" tanya Subali. Bima melangkah mendekati Subali yang tengah di obati oleh Wulan. "Musuhku adalah kerajaan besar. Mereka mempunyai banyak Pendekar kelas atas, dan tidak sedikit dari mereka rata-rata adalah petarung ranah Tulang Dewa. Aku butuh kekuatan untuk menghancurkan mereka," jawab Bima. "Apakah ada dendam yang membuat mu ingin menghancurkan mereka?" tanya Subali. Bima mengangguk. "Dosa mereka sangat banyak, Dewa menutup mata. Itu artinya Iblis lah yang harus menjadi hakimnya, bukan begitu?" jawab Bima. Subali tidak tahu dendam apa yang Bima emban hingga menginginkan kehancuran pada kerajaan Angin. Tapi dia paham, dendam itu pasti sangat dalam dan menyakitkan. "Apakah hanya beberapa Pendekar ini cukup untuk melawan mereka? Aku mendengar kabar mereka mempunyai kekuatan yang dahsyat. Ada beberapa tetua kerajaan yang pernah melewati tempat ini, dan mereka berada di Ranah Cakrawala tahap Tengah." kata Subali. "Ranah Cakraw