"Mau menuntut balas? O, boleh, boleh...! Kita tarung pakai pedang ya, Nak! Sebentar...!"
Nenek itu sulit mencabut pedangnya. Kesempatan itu digunakan oleh Ratna Pamegat untuk menyerang dengan satu lompatan dan tebasan pedang.
Wuttt...!
Zlapp...! Nenek itu bagai menghilang. Tahu-tahu ada di belakang Ratna Pamegat yang sudah telanjur menebaskan pedang dan menemui tempat yang kosong. Nenek itu masih bingung mencabut pedang berkaratnya dengan susah payah. Ratna Pamegat membalikkan badan dengan satu tendangan putar yang amat kuat dan cepat.
"Hiaaat....!"
Plokk...! Wajah tua itu terkena tendangan bertenaga dalam, tapi tak mengalami guncangan sedikit pun. Ratna Pamegat bagaikan menendang pilar beton. Kakinya sendiri yang menjadi ngilu.
"Jahanam kau, Gadis Tolol! Bersabarlah sebentar, aku sedang kesulitan mencabut pedangku ini! Uh uh uhh...!"
Ratna Pamegat tak mau memberi kesempatan sang nenek berhasil mencabut pedang, ia segera menikamkan pe
Dengan masih belum berani melirik ke arah benda yang dipegangnya, tangan itu bergerak pelan sekali. Seakan meraba untuk menjajagi apa sebenarnya dipegangnya itu. Rabaannya sampai ke lima jari kaki Baraka. Terdengar gadis itu berkata lirih, “Wah, benar... pasti ular! Ular bermata lima, Celaka! Mati aku kalau begini. ini mata ular apa jalu ular?"Si gadis segera meraih gagang pedangnya untuk dicabut. ia akan tebas ular yang dipegangnya itu dengan pedang. Tetapi sebelum pedang terhunus, Baraka yang takut dipotong kakinya segera berkata menegur sopan, "Aku bukan ular kok, Neng...!""Hahhh...!" gadis itu kaget dan memekik, segera memandang ke atas, menatap pemuda tampan sesaat, matanya menjadi redup, tubuhnya melemas dan ia pun jatuh melayang karena pingsan."Lho...? Kok malah pingsan?!" Baraka segera bergerak turun dengan gunakan ilmu ‘Kelana Indra’-nya. Baraka bergerak dengan sangat ringan dan cepat.Wuuusss..,! Tubuh gadis yang he
LANGIT berwarna merah tembaga. Matahari fajar memantulkan sisa cahayanya yang semakin menipis. Lalu sang matahari pun pelan-pelan tersembul dari balik bukit sebagai tanda bahwa pagi kian menua. Matahari itu terlihat jelas dari ketinggian sebuah pohon. Di pohon itu sepasang mala mula memandangi alam pagi. Pemuda tersebut berambut agak pendek dengan poni yang menghiasi jidadnya. Wajah tampannya bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya masih itu-itu saja rompi kulit ular emas tanpa lengan, entah berapa hari sekali dicucinya. Di punggung lengan kirinya, terlihat rajah naga emas melingkar. Tak lupa sebuah seruling berwarna keemasan tampak tersampir di sabuk pinggangnya yang juga berwarna keemasan, juga gelang-gelang keemasan yang ada dikedua lengan tangannya. Ciri-ciri itu sangat dikenal di kalangan para tokoh persilatan. Hanya ada satu orang berciri tampan dan berwajah sedikit polos, yaitu Pendekar Kera Sakti muridnya si Setan Bodong. Orang lebih sering memanggilnya Baraka. T
"Coba kau periksa gua itu, dan aku akan mengikutinya dari belakang!" kata Angin Betina, lalu ia melesat berpindah pohon tanpa timbulkan suara. Baraka segera melesat ke arah gua dengan melintasi dahan-dahan pohon lainnya. Dara Cupanggeni berjalan dengan gontai, seperti orang putus asa.Baraka terkejut melihat gua dalam keadaan kosong. Dewa Rayu tak ada di tempat, tapi baju dan celananya tertinggal di sana, juga suling mustikanya."Ke mana perginya? Apakah dia pergi tanpa kenakan pakaian apa-apa?"Baraka segera susul kepergian Perawan Tanpa Tanding. Tapi pada waktu itu Perawan Tanpa Tanding sudah terhenti langkahnya karena Angin Betina nekat menghadang dari arah depan. Perawan Tanpa Tanding segera tegakkan badan dan pasang lagak sebagai orang yang tidak mengalami duka apa pun."Siapa kau?" sapanya dengan ketus kepada Angin Betina."Angin Betina! Aku kekasih Baraka! Kau ingat saat bertemu dengan Sumbaruni? Akulah yang dihajar habis-habisan oleh peremp
Dalam hati Angin Betina kagum dengan kecerdasan Baraka. "Biar sinting tapi otaknya encer juga!" katanya membatin sambil ia duduk di atas pohon berdaun rindang.Sementara itu Baraka sedang memancing Perawan Tanpa Tanding agar memasuki gua tersebut. Angin Betina masih bisa pandangi pertemuan Baraka dengan Perawan Tanpa Tanding di lembah, karena pohon tempatnya bersembunyi tak jauh dari gua tersebut. Di sana, Baraka kembali mekarkan senyum pemikatnya. Hati Perawan Tanpa Sakti kian berbunga-bunga. Senyum gadis itu menampakkan kegirangan hati yang sepertinya baru kali ini dialami dan dirasakannya."Kusangka kau tak akan kembali lagi.""Kau pikir aku lelaki yang bodoh! Mana mungkin akan kubiarkan gadis secantik kau duduk sendirian di sini sampai petang tiba?"Mereka berhadap-hadapan, jaraknya sangat dekat. Tangan Perawan Tanpa Tanding sempat berbuat nakal, mencubit pipi Baraka, mengusap rambut panjangnya, dan semua itu membuat Angin Betina di atas pohon salah t
"Iblis kau, Baraka! Peri hamil busung kau!""Hei, hei... kenapa kau marah begitu? Masuklah! Lekas masuk, kita bicaral"Baraka menarik lengan Angin Betina untuk dibawa masuk ke gua. Angin Betina sentakkan lengannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Baraka."Jangan sentuh diriku lagi! Kau telah puas memeluknya!""Angin Betina, ini siasat! Hanya siasat semata!""Siasat untuk menutupi kerakusanmu! Siasat untuk memuaskan hasratmu? Iya!"Angin Betina angkat pedangnya untuk ditebaskan, Baraka hanya merunduk dan menyilangkan tangannya seakan ingin menangkis pedang itu dengan tangan."Tunggu dulu. Kujelaskan dulu rencanaku!"Angin Betina hempaskan napas dengan dongkol sekali. Ia tak suka melihat Baraka berpelukan dengan wanita lain, tapi ia harus menahan rasa tak suka itu untuk dengarkan penjelasan dari Pendekar Kera Sakti."Kau menyingkirlah dulu. Pindah di tempat lain yang tersembunyi!""Apa...! Kau menyuruhku
Perawan Tanpa Tanding semakin berdebar-debar indah mendengar ucapan itu. Sangkanya hati Baraka benar-benar tulus mengucapkan perasaan sebenarnya. Padahal kata-kata itu adalah seonggok gombal yang sudah lama tak pernah digunakan oleh Baraka . Kali ini ia terpaksa menggunakannya demi runtuhkan kedua ilmu berbahaya itu.Katanya lagi seraya mendekat dan mengusap pipi gadis itu dengan punggang telapak tangannya, "Ilmu setinggi apa pun bisa kucari dan kupelajari. Tapi kecantikan seperti ini hanya ada satu di dunia, yaitu hanya kau pemiliknya.""Jangan merayuku," ucapnya lirih sekali, hampir tak terdengar. Pandangan matanya semakin sayu karena terbuai keindahan dalam hatinya."Kalau kata-kataku ini kau anggap rayuan, izinkan aku merayumu beberapa saat sebelum akhirnya kita harus bertarung. Tapi sesungguhnya apa yang kukatakan adalah curahan hatiku yang sukar kubendung sejak aku harus berhadapan denganmu. Mestinya aku tak ingin temui kau lagi, karena kau mempunyai ilmu