Share

BAB 11 Hari Yang Panjang

“Salah satu pulau di wilayah sini.” Jawab Kinan segera.

Mendadak Amon menghentikan lagi langkahnya, dan kemudian memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah dua saudara tersebut, matanya menyipit tidak suka.

“Kamu anggap aku bodoh ya? Mau coba-coba berbohong padaku!” Amon mendelik, “sekedar pemberitahuan, itu—“ tunjuk Amon pada mata Limey, Limey

mengerutkan keningnya, bingung. “Memangnya ada manusia yang punya mata berwarna seperti itu? Apa kalian monster, atau jangan-jangan penghuni hutan ini?”

Kinan tidak suka sebutan terakhir yang diucapkan Amon, dia merasa sebutan itu seakan mengejek tentang Limey.

Limey menghela napas, “Apa benar tidak pernah ada orang yang bermata sepertiku?” tanyanya dengan heran.

“Begitulah…”

Limey melirik ke arah Kinan sekilas, lalu tersenyum simpul, “Mungkin tuan benar, saya adalah siluman yang tersesat di hutan ini.”

“Hahahaha, selera humormu boleh juga mata biru?”

“Kenapa? kami toh muncul di hutan ini. Mungkin legenda itu benar, kami sudah terlalu lama tersesat di hutan ini sampai merubah mataku menjadi biru….” Sela Limey setengah becanda.

Amon menaikkan alisnya, dia tidak menanggapi ucapan Limey sebagai lelucon yang lucu.

“Tuan tidak percaya?” tanya Limey masih tersenyum.

“Mau sampai kapan kamu ingin bohong begitu?” Amon mendelik galak, “Aku tidak suka pembohong!” tegasnya.

“Adikku bukan pembohong!!” sergah Kinan gusar.

Amon mendelik lagi. akhirnya Limey menghela napas dan berujar, “Setidaknya dunia lain itu ada. Dan kami berasal dari sana.”

“Berasal dari sana?”

“Ya. Bukan mau kami untuk sampai ke sini. Tapi, kami jelas-jelas sedikit berbeda dengan orang dari sini” Jelas Diana

“Di dunia mu itu, ada orang-orang bermata biru?” Amon bertanya heran, tapi sekarang dia sudah berjalan kembali, bersisian dengan Limey.

“Ada. Di suatu tempat. Ada yang biru, coklat, hijau dan hitam.” Jawab Limey.

“Maksudmu, di tempatmu banyak orang punya warna mata yang berbeda-beda? Aneh-aneh saja.” Amon mengeleng-geleng aneh. Lalu dia diam sejenak, seperti sedang berpikir sesuatu, lalu kemudian berkata lagi dengan semangat, “Dasar orang aneh!” seru Amon.

“Enak aja!” Kinan merasa kesal dengan selorohan Amon.

“Diam kau bocah. Yang sakit cukup tutup mulut dan diam!” sentak Amon galak.

“Namaku Kinan, bukan bocahl!!” sentak Kinan tidak mau kalah.

“Bocah bermulut besar. Diamlah!!” Amon semakin keras, dan sekali ini membuat Kinan dan Limey sama-sama terkejut. Ucapan Amon bukan sekedar diucapkan belaka, tapi menggunakan Imdok yang mengetarkan gendang telinga.

Perjalanan tersebut benar-benar buruk. Baru berjalan belum lima ratus meter, Kinan dan Amon sudah bertengkar sampai seperti itu.

**

Malam sudah menjelang, dan ketiganya terpaksa tidur di tengah hutan. Perjalanan masih tinggal separuhnya, tapi keadaan Kinan memaksa Limey dan Amon untuk beristirahat.

Api meletup-letup dari kayu yang dibakar. Limey menatap nyala api dan tampak sibuk mengecek keadaan Kinan yang agak gawat. Kinan terkena demam karena luka di kakinya mengalami bengkak. Memarnya sekarang semakin membiru. Limey sudah berusaha mengompresnya dengan air dingin.

“Kamu mau begadang?” Amon bertanya dari atas pohon.

“Kakak saya demam, saya harus memastikan keadaannya setiap jam.” Ucap Limey, “dan maaf kalau merepotkan, tapi bisakah setelah keluar dari hutan ini kakak saya dibawa ke tabib?”

“Huh, ternyata membawa kalian merepotkan sekali!” Amon mengeluh dari atas pohon dengan kesal.

Limey diam saja dan memilih untuk tidak berkomentar. Hati Amon sedang rusuh karena direpotkan oleh mereka berdua, kalau dia berkomentar suasana bisa tambah buruk.

Limey terus saja mengompres dan mengecek kondisi Kinan tiap setengah jam. Memastikan panas tubuh Kinan dan memastikan bengkak di kakinya sedikit mengempes.

Dan akhirnya setelah subuh, panas tubuh Kinan turun dan Limey bisa bernapas lega. Di tasnya masih ada roti dan roti itu di baginya pada Amon dan pada Kinan.

“Ini apa?”

“Roti?”

“Makanan dari pulau asalmu?” tanya Amon.

“Iya.”

Amon tampak menimbang-nimbang benda tersebut, terasa lembut dipencet, dan baunya harum. Karena merasa lapar akhirnya pemuda itu memakan roti tersebut. Ketika dia mengigit roti itu, Amon merasakan sensasi rasa yang berbeda. Terlihat heran, tapi kemudian mengunyah dengan nikmat. “Tidak buruk,” gumamnya.

Limey tersenyum, lalu kemudian meneruskan mengecek kondisi Kinan. Dengan telaten gadis bermata biru tersebut mengelap keringat Kinan.

“Bagaimana si bocah?” tanya Amon sambil memakan roti pemberian Limey.

“Panasnya sudah turun. Tapi tetap saja dia harus di bawa ke tabib. Dia harus diberi parasetamol dan antibiotik.” Jelas Limey sambil memakan rotinya dengan letih.

“Parasetamol? Antibiotik? Apaan itu?”

Limey baru tersadar bahwa dia tengah menjelaskan istilah di dunianya. Limey mendesah, lalu mencoba menjelaskan, “Antibiotik itu semacam obat untuk membunuh kuman.”

“Kuman?”

Limey baru sadar, bahwa penjelasannya jadi lebih panjang dari seharusnya. “Kuman, yang menyebabkan infeksi.”

“Infeksi?”

Semakin panjang, dan Limey mencari dalam memorinya kata termudah yang bisa menjelaskan istilah kedokteran. “Infeksi itu peradangan.”

“Apa lagi itu peradangan?”

“Itu…”

“Sudah—“ tangan Amon terangkat ke atas, seakan-akan mencegah Limey untuk berbicara lebih lanjut, “Makin kamu ngomong, aku makin bingung. sudah,” Amon mengelus dahinya,  “Benar-benar sial. Padahal kukira aku beruntung memungut kalian, ternyata malah dapat sial. Brengsek!”

Limey memilih diam, dan terus memakan rotinya. Walau rasa kantuk mendera, tapi dia bertahan.

**

Di dalam penginapan malam sudah semakin larut, Kinan merasakan kakinya masih terasa senat senut, tapi dia menahannya. Proses kesembuhan kakinya sudah mulai terlihat. Amon tadi sudah membawakan tabib kepenginapan untuk memeriksa kakinya yang bengkak. Tabib itu memeriksa lalu kemudian memberikan ramuan dari beragam rumput obat, akar pepohonan dan daun kering.

Limey tampak mengintrogasi tabib dengan penuh rasa ingin tahu. Dia bertanya beberapa hal, misal nama rumput yang diberi, cara meramu dan meracik bahkan waktu pemberian obat tersebutpun ditanya dengan detil.

Dengan sigap Limey membuatkan obat untuk Kinan dan memberitahu kakaknya tersebut untuk meminum tepat waktu, agar khasiatnya tepat mengena.

“Rumput obat ini mirip fungsinya seperti antibiotik, kalau akar ini, dia bisa untuk menahan rasa sakit dan menguatkan kekuatanmu.” terang Limey dengan bersemangat.

Kinan tahu betapa obsesi adiknya pada dasar dasar ilmu pengobatan, karena memang cita-cita Limey ingin menjadi dokter.

Setelah meminum obat pemberian Limey, Kinan mencoba memejamkan mata. Semua hal menjengkelkan yang diingatnya membuat Kinan merasa ingin muntah. Dari ujung matanya, Kinan melihat Limey sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Limey mengeluarkan hanphone dari tangannya, memandang handpone tersebut.

Kinan duduk, melihat ke arah Limey, “Nggak akan nyala. Sinyal aja nggak ada. Hape-ku juga begitu,” Kinan mengeluarkan handpone yang bentuknya lebih kecil dari punya Limey, “Barang beginian di sini Cuma jadi rongsokan!” Kinan ingin sekali membanting handpone di tangannya. Tapi, membayangkan harga beli smartphone itu, Kinan mengurungkan niatnya. Dimasukkan kembali handpone tersebut di kantung celananya.

“Memang, barang ini Cuma rongsokan, tapi ini penghubung dengan tempat kita tinggal. Kalau dibuang, kita akan kehilangan identitas.” Ucap Limey sambil memasukkan kembali hapenya.

“Rasanya nggak percaya, kita terlempar ke tempat seperti ini, Cuma karena sebuah kunci…” ucap Kinan sambil memperhatikan tirai di depannya. Terbayang kejadian kemarin yang terasa demikian panjang baginya.

“Mungkin kita bisa pulang lagi kalau menggunakan kunci yang sama…” sahut Limey.

“Tapi kuncinya kan tertinggal di slot pintu!” Kinan segera bangun.

Langit Biru

jadwal posting novel, Jumat dan MIinggu

| Sukai
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Raja Asmara
tokohnya diberi kesan antagonis yg kelihatan lebay,keblinger lebaynya
goodnovel comment avatar
Raja Asmara
tokohnya diberi kesan antagonis yg kelihatan lebay,keblinger lebaynya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status