Share

BAB 12 Sang Pembunuh Bayaran

“Itu masalahnya…” Limey menghela napas, “Karena itu, kita tidak bisa pulang, kak.”

Kinan sekali lagi mengacak rambutnya, “AAARG, tahu begitu tadi harusnya aku ambil lagi kuncinya!!!”

Limey tersenyum, merasa geli melihat gaya kesal Kinan. “Tapi itu nggak mungkin kak. Mana kita sempat kepikiran akan seperti ini jadinya. Aku malah sempat berpikir akan mati kebakar.”

“Sialan! Kalau saja enggak ada kebakaran itu?! kalau aja nggak ada ledakan brengsek itu, kita pasti udah senang-senang!!!” Kinan segera bangkit, mengepal tangannya dengan emosi.

Mendadak pintu menjeblak terbuka. Amon masuk dengan tampang senang.

“Kita ada kerjaan!” seru Amon.

“Kerjaan?” Limey bertanya heran.

“Ya, kerjaan, dan latihan buatmu bocah!”

“Jangan panggil aku bocah!!”

Amon mendekat ke arah Kinan, lalu mengacak-acak rambut Kinan yang pendek. Rambut itu lantas berantakan sampai menutupi mata Kinan. Kinan menjadi kesal, dia paling benci diperlakukan seperti anak-anak.

“Kita kerja apa tuan?” tanya Limey dengan sopan.

Amon tersenyum, lalu menunjukkan sebuah gulungan kertas pada kedua perempuan tersebut. gulungan kertas tersebut membuka, tampak di atasnya gambar seorang laki-laki, dengan tinta hitam, Kinan dan Limey memperhatikan saling berdesakan. Poster seorang lelaki yang digambar dengan tinta hitam, di bawahnya terlihat jumlah angka yang cukup fantastis. Lima ratus ribu zeni.

“Dia, harganya lima ratus ribu?” Kinan bertanya, lalu memandang ke arah Amon yang tampak berkacak pinggang sambil melempar senyum.

“Kita akan berburu uang!” seru Amon semangat.

“Kenapa ini disebut berburu uang?” tanya Kinan heran.

“Apa ini semacam, buronan berhadiah?”

“Tepat!” Amon menjentikkan tangannya. “Kalian tahu, salah satu pekerjaanku adalah menjadi pemburu hadiah. Uang lima ratus ribu itu bisa kita gunakan untuk banyak hal!” mata Amon tampak berkilau, terlihat berbinar ketika bercerita tentang uang.

“Uang—uang melulu!” geram Kinan di sisi lain, “Dari sejak pertama kita berjumpa, selalu itu yang diomongin….Auw!” Kinan kaget karena Amon sudah memukul kepalanya dengan ujung pedangnya. Pelan, tapi cukup sakit.

“Sopan sedikit bocah, panggil aku guru!!!” seru Amon, “dan apa salahnya suka uang. kita butuh uang untuk hidup!” jawab Amon seperti senang.

Kinan memendam dongkol, tangannya mengusap-usap kepalanya, “Tapi kan, nggak perlu mukul kepala…” geram Kinan, yang lagi-lagi mendapat satu getokan dari ujung pedang Amon. “AUW, sakit!!!”

Amon lalu mencengkram baju Kinan dan menariknya, “Dan, kurasa, sebelum kita mulai berburu malam ini, aku harus mengajarimu dulu beberapa jurus. Ikut aku!” Amon segera menarik tangan Kinan. Tubuh Kinan mendadak melenting, Amon segera menyeretnya ke jendela, lantas tanpa aba-aba pemuda itu melompat keluar dari jendela. Kinan merasa tubuhnya melayang. Sesaat keduanya hilang. Limey yang belum sempat berkata Cuma bisa terperangah.

**

Menjelang malam, Kinan dan Amon pulang. Tubuh Kinan babak belur. Memar di pipi, rambutnya berantakan dan bajunya sobek-sobek. Limey yang menyambut di depan pintu tampak kaget.

“Siapkan air panas untuk kompres luka-lukanya!” seru Amon sambil melempar pedang buntungnya ke atas kasur.

Limey segera sigap, keluar kamar dan kembali lagi dengan membawa sebaskom air panas dan handuk kecil. Limey buru-buru mengompres pipi Kinan. Kinan teraduh-aduh. Amon yang duduk di kursi sambil membersihkan pedangnya hanya berkata, “Jangan manja!!”

Kinan diam sambil menahan nyeri, dan Limey mengompres wajahnya. Alisnya berkerut dan hatinya bertanya-tanya. Apa yang telah dilakukan Amon pada kakaknya.

“Itu baru hari pertama, besok dan besok lagi akan lebih keras. Kita akan mulai pagi!” ucap Amon sambil membuka bajunya dan melemparkan baju tersebut pada Limey yang sudah selesai dengan luka Kinan. Jubah Amon terlempar menutupi muka Limey. Sikap seenaknya Amon pada Limey tidak berkurang, dia sungguh-sungguh memperlakukan Limey seperti pembantu.

“Cuci itu, pagi-pagi sekali, besok aku akan memakainya lagi!” seru Amon dan kemudian segera membaringkan diri di atas tempat tidur.

Limey menurunkan jubah yang menutupi wajahnya, melipatnya dan meletakkan di salah satu tangannya. Lalu perhatian gadis bermata biru itu kembali terpusat pada kakaknya.

“Sakit kak?” tanya Limey perlahan sambil memegang memar di pipi Kinan.

“Aduddduuuh, lumayan!” Kinan menahan nyeri.

Limey mengambilkan baju yang dibelikan Amon tadi siang. “Kakak ganti baju dulu,” ucap Limey.

Kinan terseok-seok menuju bilik, mengganti bajunya dengan hati-hati. tangannya juga memar, dan terasa sakit sekali. Amon memukulnya tidak kira-kira, bisa-bisa tulangnya ada yang retak, tapi Kinan sengaja diam dan tidak bersuara, takut Limey khawatir.

“Kak,” Limey berbisik, dan kaget melihat Kinan sedang berusaha memakai baju, “Di sana juga luka?!”

“Nggak apa-apa kok. Nggak sakit!”

Limey masuk ke dalam bilik penyekat, memeriksa lengan Kinan yang memar. “Kenapa sampai begini?”

“Amon—arg, maksudku guru, tadi kami latihan. Dia membuka aliran nadi, untuk tenaga dalam. Secara teori, ada 9 aliran tenaga dalam yang disebut imdok. Dan tadi, imdokku di buka paksa. Rasanya tubuh nyeri semua, seperti mau meledak, dan ini akibatnya. Memar di lima titik. Lengan, leher bagian belakang pangkal bahu.” Jelas Kinan dengan berbisik.

“Imdok?”

Kinan mengangguk, “Waktu imdok pertamaku dibuka, rasanya seperti tulang lenganku mau patah!”

“Kenapa harus seperti itu?” tanya Limey yang membantu Kinan memasang baju.

Kinan mengancingkan bajunya yang sudah terpasang, “Untuk orang biasa kayak aku, belajar tenaga dalam sedikitnya perlu lima sampai enam bulan. Tapi ada cara tercepat untuk bisa menggunakan tenaga dalam, membuka paksa.”

“Membuka paksa?!”

“Ya. Kata Amon begitu.”

“Akibatnya?”

“Eh?”

Limey memandang ke arah Kinan, “Segala sesuatu yang dibuka paksa, pasti ada akibatnya?”

Kinan mengangguk. dia teringat ucapan Amon ketika tadi membuka imdoknya.

“Apa akibatnya?” Limey bertanya lagi, sedikit mendesak.

“Pembuluh darah kacau, bisa terjadi kerusakan jantung. Itu kata Amon.” Tutur Kinan.

Limey mendelik, kali ini mata berwarna biru itu membelalak, marah dan terkejut, “Dan…kakak mau?”

Kinan mengangguk. Limey yang selalu tenang terlihat marah dan gusar, “Tapi, bukan ini rencana kita kan kak?”

Kinan segera meraih lengan Limey, “Bukan begitu Mey, ini aku yang mau sendiri!”

“Kak, itu kan berbahaya?”

“Tidak apa-apa! kakak bisa menahannya. Adu..duh….” Kinan merasa lengannya sakit lagi. Limey hendak mendebat Kinan, tapi dia mengurungkan niatnya. Daripada bertengkar, Limey malah menyuruh kakaknya untuk segera tidur.

Esok paginya, ketika Kinan tengah mandi, Limey segera mendekati Amon yang menikmati tehnya sambil duduk.

“Ahhhhh…memang enak minum teh pagi-pagi…” gumam Amon dengan perasaan bahagia.

“Tuan, boleh saya bicara sebentar?”

“Lama juga tidak apa-apa. ada apa?”

“Tuan, kita sudah buat perjanjian. saya akan menjadi pelayan tuan, sebagai gantinya tuan mengajari kakak saya ilmu silat.”

Amon mengangguk santai, lalu menyeruput kembali tehnya.

“Kemarin, saya baru tahu bahwa beberapa titik pembuluh nadi kak Kinan sepertinya mau pecah.”

“Kamu melihatnya?” Amon menatap ke arah Limey.

“Saya mengerti ilmu kedokteran,” tambah Limey.

“Kedokteran? Coba hentikan istilah aneh yang tidak aku mengerti!”

“Itu semacam ilmu pengobatan.”

“Oh, ilmu tabib. Lalu?”

“Kakak saya menjelaskan tentang Imdok.”

Amon mengangguk, lalu kembali memandang ke arah Limey, “Lalu, apa yang mau kamu tahu?”

Langit Biru

bab baru selalu diposting hari Jumat dan MInggu, pantengin ya, tolong beri like dan share cerita, terimakasih

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status