Lalu dengan segera Pangeran Cayapata pun mengambil pedangnya, dan kemudian langsung melompat ikut turut menyergap Rakryan Dipasena.
"Hiya, hiya ...!" teriak Pangeran Cayapata sambil menyabetkan pedangnya.
Sebagai seorang yang tidak pernah belajar ilmu bela diri, maka gerakan yang dilakukan oleh sang Pangeran terlihat seperti orang-orang yang sedang berkelahi, serangannya tidak terarah, tak teratur dan cenderung ngawur, bahkan sesekali malah membahayakan dirinya sendiri.
Sementara itu Dipasena yang memang sudah mengetahui dengan serangan dari Pangeran Cayapata juga langsung segera berkelit untuk menghindari sabetan pedang itu, lalu terjadilah pertarungan yang terlihat tidak imbang sama sekali itu.
Yah, meskipun secara usia Dipasena bisa terbilang sudah cukup uzur, namun kalau masalah bertarung dia memang bukan tandingan untuk dua orang Prajurit itu, apalagi Pangeran Cayapata yang memang tidak tahu ilmu silat sama sekali.
Seme
"Selir yang baru saja Nanda Pangeran pake itu lumayan juga, ngomong-ngomong itu dapat dari mana?" tanya Dipasena sambil terus mengurut sang Pangeran.Mendengar wanita penghiburnya dipuji oleh Dipasena, Pangeran yang terlihat mulai mengantuk itu pun merasa bangga dan tersanjung, lalu dengan suara yang kurang jelas Pangeran menjawab."Dari Desa Simbar ... eh ...""Oh, dari Desa Simbar ..." balas Dipasena."Oh iya boleh gak kalau Paman Sena tanya-tanya?""Tanya apa?" jawab sang Pangeran."Ngomong-ngomong adakah wanita yang Nanda Pangeran inginkan tapi belum pernah bisa Nanda Pangeran kencani?" ujar Dipasena memberi pertanyaan yang sedikit menggoda."Ada ..." sahut sang Pangeran."Ah, aku tahu ... pasti Dyah Ayu Martini Putrinya Tumenggung Tambakrejo, benarkan Nanda Pangeran? Hehe ..." ujar Rakryan Dipasena menggoda.
"Lalu Ayahanda Prabu pun bermaksud menggendong Manika dari arah depan, namun Manika sendiri menolak dan minta supaya digendong dari belakang saja, dan akhirnya jadilah ia digendong di belakang punggung Ayahanda Prabu," tutur Pangeran Cayapata."Lalu kedua kaki mulusnya pun mengangkang dan memeluk tubuh Ayahanda Prabu, dan seperti yang aku bilang tadi bahwa kain kemben yang dipakai Manika itu sangatlah pendek jadi ketika kakinya memeluk tubuh Ayahanda Prabu maka pahanya pun terbuka lebih tinggi hingga di area jurang kenikmatannya itu, dan dari arah belakang, tepatnya dari arah saya mengintip, nampak dari situ sangat jelas terpampang dua gunung kembar yang nampak begitu mulus dan kenyal, lengkap dengan belahan yang juga langsung ikut terbuka, namun sayang pemandangan indah itu tidaklah berlangsung lama karena Ayahanda Prabu terus membawa Manika masuk lebih dalam ke dalam kolam dan akhirnya tubuh mulusnya pun terlihat kurang jelas lagi."Sampai di sini Pangeran Cayapa
Setelah selesai mendengarkan Pangeran Cayapata bercerita Dipasena bermaksud ingin kembali membahas rencananya yang telah gagal itu."Nanda Pangeran," panggil Dipasena."Iya Paman, ada apa?" sahut sang Pangeran."Aku pun sangat mendukung hasrat Nanda Pangeran untuk bisa memiliki Ratu Manika," ujar Dipasena memulai aksinya dengan memuji Pangeran Cayapata terlebih dulu."Iya, bagus," jawab Pangeran singkat."Menurutku rencana ini bukan sembarang rencana, ini adalah sebuah rencana yang sangat besar, yang sangat memerlukan perencanaan, pengaturan strategi dan pengeksekusian yang tepat pula," papar Dipasena memberi penjelasan."Ya memang benar, memang inilah yang aku inginkan," timpal Pangeran Cayapata."Lalu apakah Nanda Pangeran Cayapata sudah memiliki rencana untuk itu? Dan kira-kira kapan akan memulainya?" tany
"Lalu kalau tidak berperang bagaimana bisa aku menyingkirkan Ayahanda Prabu Paman?" tanya Pangeran terlihat masih bodoh dalam urusan itu."Tenang Nanda Pangeran, ada cara lain yang lebih jitu dibanding bertarung," ujar Dipasena sambil menatap Pangeran Cayapata."Apa itu?" tanya Pangeran Cayapata dengan segera."Racun," sahut singkat Dipasena."Apa?! Racun?!" seru Pangeran Cayapata nampak kaget."Ya, benar Pangeran .. racun. Racun adalah cara yang senyap tanpa adanya kegaduhan namun cukup jitu untuk melenyapkan nyawa seseorang," timpal Dipasena meyakinkan.Sesaat sang Pangeran terlihat masih berpikir dengan saran Rakryan Dipasena itu, namun tidak lama kemudian dia pun kembali berkata merespon ucapan sepupu Ayahandanya itu."Ya, ya, aku tidak pernah berpikir sebelumnya sama sekali. Baiklah Paman, aku sangat setuju dengan usulanmu itu tadi, tapi ngomong-ngomong racun apakah yang nanti akan aku gu
"Ya gak mungkinlah kalau sampai aku keluar istana tanpa sepengetahuan dari Ayahanda Prabu, ya paling tidak Gusti Ratu Bhanuwati juga harus tahu, karena kalau sampai aku nekad pergi dan Gusti Prabu atau Ratu Bhanuwati tidak tahu, maka kalau sewaktu-waktu mereka mencari aku kan bisa bahaya? Iya kan?" terang Dipasena sambil melontarkan tanya pada sang Pangeran, dan terlihat Pangeran Cayapata juga langsung mengangguk pelan, menandakan kalau dia juga bisa memahami dengan apa yang dimaksudkan oleh Pamannya itu.Sesaat Dipasena berhenti melanjutkan ucapannya, sengaja dia memberi waktu untuk Ponakannya itu kalau memang dia mau menyanggah ucapannya tadi, namun setelah beberapa saat ditunggu sang Pangeran tidak juga kunjung berbicara, akhirnya Dipasena pun kembali melanjutkan kata-katanya."Karena gini Nanda Pangeran ... aku itu tidak ingin rencana besar ini terbongkar, makanya sengaja saya akan memerintah ke beberapa Prajurit pilihan untu
"Mungkin saja Wuni, apa sih di dunia ini yang tidak mungkin kalau memang sudah menjadi kehendak Dewata Agung?" balas Adhinata dengan jawaban yang terbilang sudah mentok."Widih ... makin mantap saja temanku ini, ya udah kalau gitu saya mohon pamit aja, karena kayaknya sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," timpal Ranggawuni dengan berpura-pura sewot."Lho yo jangan mutung gitu to ... gini lho ya, mengenai mayat sakti itu sebenarnya ya seperti yang banyak orang ketahui itu, bahwasannya tidak akan pernah ada orang yang bisa masuk ke dalam Goa itu kecuali lewat Tuan Biswara, atau kalaupun toh ada, sudah pasti orang tersebut benar-benar memiliki kesaktian yang melebihi Tuan Biswara. Tapi jujur, aku sendiri tidak yakin kalau saat ini ada pendekar yang mampu menandingi kesaktian beliau, karena aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku ini," ujar Adhinata menerangkan pada Ranggawuni."Benarkah itu Adhinata?!" tim
"Wah ... benar-benar luar biasa, itu kamu dengan naik kuda kan?" lanjut Ranggawuni bertanya."Lha iya to, bahkan tuah dari rambut mayat sakti itu juga dirasakan oleh kudaku," tutur Biswara mengisahkan."Masak to?! Memangnya tuah seperti apa yang bisa dirasakan oleh kudamu itu Adhinata?" lanjut tanya Ranggawuni nampak makin penasaran dengan cerita sahabatnya itu."Ya larinya to Wuni, pokoknya kudaku itu sudah seperti kilat saja larinya, banyak sungai dan jurang yang ketika berangkat harus aku lewati dengan memutar arah, namun pulangnya ketika aku sudah membawa rambut sakti itu, kudaku mampu melewati sungai dan jurang tersebut hanya dengan sekali lompatan saja," lanjut papar Adhinata mengenang."Tapi kira-kira kalau selain kamu ada gak orang-orang istana yang berminat untuk mendapatkan mayat sakti itu?" tanya Ranggawuni."Kalau yang berminat sih kira-kira ya banya
"Kok saya merasa saat ini pendapat orang sama ya dalam urusan kekuatan," ujar Ranggawuni yang dirasa nampak masih belum jelas oleh Adhinata."Sama? Maksud kamu?" timpal balik Adhinata dengan ekspresi muka nampak seperti masih bingung dengan ucapan dari sahabatnya itu."Ya saat ini menurutku... tentu ini terlepas dari benar atau salah lo ya? Saat ini saya merasa semua orang, terlebih yang menjadi pendekar, kok pada berpendapat dan meyakini bahwa sumber kekuatan hanya ada pada mayat sakti itu to Adhinata? Semua mata pendekar seolah hanya tertuju padanya saja, tidak perduli dari golongan mana mereka berasal," lanjut ujar Ranggawuni"Ya benar sekali Wuni, saya pun juga berpendapat sama seperti kamu itu, bisa dibilang, saat ini memang seperti sudah tidak ada lagi benda pusaka lain yang mampu menandingi kekuatan yang ada pada mayat sakti tersebut," balas Adhinata mengukuhkan pendapat sahabatnya itu.