Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam.
Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas.
“Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo.
“Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah.
“Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia.
Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu ada Nyai Wetong dan kudanya. Gelagatnya menunjukkan dia sedang mencari seseorang.
“Aku akan memberimu sepuluh kepeng,” kata Iblis Jelita, membuat Ardo terbeliak seperti mendengar pengumuman doorprize. “Namun, jika aku bisa membunuhnya, kau harus menjadi pelayanku, dan bayaranmu akan selalu aku berikan kepada ibumu. Ditambah aku akan membantu menyembuhkan sakit ibumu dan berjanji akan memotong burung ayahmu. Bagaimana?”
Otak Ardo bekerja cepat mencerna kata-kata Iblis Jelita, sehingga dia pun cepat menjawab.
“Setuju, Nyai!” jawab Ardo antusias. Yang mana pun hasilnya, Ardo tetap untung.
“Siapa nama lengkapmu?” tanya Iblis Jelita.
“Aldo Kenconowoto, Nyai,” jawab Ardo cepat.
“Baik, Ardo Kenconowoto. Kita bertaruh!” kata Iblis Jelita sambil bangkit berdiri dan meletakkan sekepeng uang sebagai bayaran dari minumannya. Dia lalu pergi meninggalkan Ardo dan keluar dari kedai makan.
Semua orang yang mendengar kata-kata Iblis Jelita jadi memandang serius kepada wanita itu. Mereka jadi penasaran, apa yang akan dilakukan oleh wanita pembunuh itu. Ardo pun serius mengikuti arah langkah Iblis Jelita yang ketika berjalan pahanya pasti tersingkap bergantian.
“Hmm!” gumam Nyai Wetong sambil mengangkat sedikit dagunya yang tidak berjanggut, ketika melihat kemunculan Iblis Jelita dari arah kedai makan.
Ardo Kenconowoto sudah keluar dari kedai dan memantau apa yang akan dilakukan oleh Iblis Jelita.
Melihat wanita yang ditantangnya untuk bertarung mengadu nyawa di Tugu Setia menuju ke arahnya, Nyai Wetong turun dari kudanya agar dia bisa sejajar dengan Iblis Jelita.
Pada akhirnya kedua wanita yang kita sebut saja “cantik” itu, saling berhadapan dalam jarak dua tombak.
Sementara itu, warga Ibu Kota mulai bergerak mendekat ke sekitar tugu, tapi di titik zona aman. Mereka semua berpikir, jika Iblis Jelita sudah berhadapan dengan sesama pendekar wanita, pasti meributkan lelaki atau punyanya lelaki.
“Apa yang ingin kau tuntut dariku, Nyai Wetong?” tanya Iblis Jelita.
“Burung suamiku!” jawab Nyai Wetong membentak, menunjukkan kemarahannya kepada Iblis Jelita.
“Burung suamimu yang mana?” tanya Iblis Jelita dingin.
“Burung suamiku hanya ada satu. Kau pikir burung suamiku ada dua, hah?!” bentak Nyai Wetong.
“Burung suamimu sudah menjadi milik Ratu Senja!” tegas Iblis Jelita.
Mendengar tema bahasan yang diributkan, hebohlah warga dan para pendekar yang berniat menjadi penonton saja. Kehebohan itu terdengar dari suara kasak-kusuk yang terdengar ramai.
“Jangan berbohong! Aku punya saksi terpercaya yang dua hari lalu kau menciumi burung suamiku!” tukas Nyai Wetong.
“Memang benar saksimu itu. Burung suamimu memang manis, bulunya hitam pekat. Tapi kemarin burung suamimu sudah diambil oleh Ratu Senja. Salahkan saja burung suamimu yang suka mencari sarang baru itu,” kata Iblis Jelita.
Semakin antusiaslah warga dan pendekar lain yang mendengar perdebatan dua wanita sakti itu. Tidak sedikit dari mereka yang tersenyum-senyum hingga tertawa kecil sendiri.
“Aku tidak percaya dengan omonganmu. Kau tahu bahwa burung suamiku memiliki kesaktian,” tandas Nyai Wetong.
“Aku tahu. Semua burung juga bertelur. Aku sudah menyimpan dua butir telurnya. Aku sudah dapat keduanya. Jadi, untuk apa lagi aku mengurungnya. Aku biarkan saja burung itu diambil oleh Ratu Senja. Dia tidak tahu bahwa aku telah memiliki dua telurnya,” kata Iblis Jelita sembari tersenyum kecil tapi sinis.
“Serahkan dua telur itu!” pinta Nyai Wetong.
“Cari mati kau, Nyai Wetong!” bentak Iblis Jelita. “Selama dua purnama aku yang membelai burung suamimu, aku yang memberinya makan dan minum, aku yang memberinya sarang yang hangat, sampai dia bertelur dua kali, lalu seenaknya saja kau memintanya!”
“Burung suamiku adalah milikku, berarti telurnya pun adalah milikku, kau tidak berhak mengambil telurnya!” tegas Nyai Wetong.
“Jika kau mau mengambilnya, mudah. Bunuh aku dulu!” tantang Iblis Jelita. “Kau sebagai pewaris mendiang suamimu, seharusnya kau pandai menjaga burung suamimu itu. Aku curiga, sebelumnya, kau sebenarnya tidak tahu bahwa burung suamimu memiliki kesaktian. Hihihi!”
Iblis Jelita tertawa bernada mengejek Nyai Wetong.
“Aku sudah memelihara dan merawat burung suamimu selama dua purnama sampai dia dua kali bertelur. Namun, baru sekarang kau sibuk mencarinya dan ingin merebut paksa sesuatu yang merupakan hasil dari jerih payah orang lain. Licik!”
“Keparat lacur!” maki Nyai Wetong lalu berlari pelan merangsek maju mengibaskan sarung pedangnya mengincar kepala Iblis Jelita.
Tak!
Iblis Jelita cukup mengamankan kepalanya dengan tangkisan tangan kiri. Nyai Wetong bisa merasakan, seolah-olah sarung pedangnya menghantam tangan sekeras baja.
Tangan kanan Iblis Jelita cepat membalas dengan kuku hitam mengincar badan depan Nyai Wetong. Sang nyai jelas tidak mau dada atau lehernya rusak oleh cakaran. Dia cepat menangkis dengan gerakan tangan yang tetap menghindari kuku hitam Iblis Jelita.
Nyai Wetong berulang kali menyerangkan pedangnya yang masih bersarung kepada Iblis Jelita. Namun, kekuatan tangan Iblis Jelita sudah seperti tangan baja yang berani adu keras dengan sarung pedang. Sementara serangan kuku hitam dan ungunya cukup membuat ngeri Nyai Wetong.
Wanita berpedang itu sangat tahu keganasan kedua jenis kuku Iblis Jelita.
Dalam pertarungan awal, Iblis Jelita belum menggunakan tendangan, membuat kaum lelaki yang menonton jadi penasaran, karena mereka sangat menunggu-nunggu Iblis Jelita menendang. Namun, meski belum menggunakan kaki sebagai alat serang, Iblis Jelita tetap terlihat tenang dalam menghadapi Nyai Wetong, bahkan satu cakaran mengibas memaksa Nyai Wetong terlompat mundur daripada dada dan perutnya robek.
Mendapati ketangguhan Iblis Jelita dalam pertarungan jarak dekat, Nyai Wetong menatap tajam kepada wanita berbibir biru itu sambil menimbang kesaktian apa yang tepat untuk membunuh lawannya.
Tes tes!
Di saat Nyai Wetong sedang diam berpikir, Iblis Jelita dengan entengnya menyentilkan jari kelingking tangan kanannya sebanyak dua kali.
Dua butiran zat hitam sekecil biji salak seperti sinar, melesat berurutan menyerang Nyai Wetong yang terkejut.
Tass tass!
Nyai Wetong sangat cepat menangkis dua sinar hitam dengan sarung pedangnya. Pada hantaman kedua, serangan itu berhasil melempar Nyai Wetong beberapa tindak, tapi tidak membuatnya jatuh. Dia mendarat dengan masih kokoh.
Plok plok plok...!
Terdengar tepuk tangan dari sebagian penonton lelaki. Meski mereka tahu bahwa Iblis Jelita adalah pendekar wanita yang kejam, tetapi karena keseksiannya, memikat banyak lelaki. (RH)
Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw
Pendekar kerajaan yang bernama Perwira Hidung Baja berdiri gagah menghadang Ardo Kenconowoto dan Iblis Jelita yang berbagi satu punggung kuda. Mentang-mentang kedua jagoan itu sudah terluka parah, Perwira Hidung Baja baru muncul setor hidung.“Turun dan menyeraaakh!” seru Perwira Hidung Baja yang berujung jeritan seiring tubuhnya terlempar jauh ke samping.Tiba-tiba muncul sosok gemuk Iblis Satu Kaki yang datang melesat dari samping kiri secepat rudal jet tempur. Dia langsung menabrak tubuh Perwira Hidung Baja tanpa rem. Karena itulah Perwira Hidung Baja terpental pergi dari depan kuda Iblis Jelita.Tabrakan dahsyat itu mengejutkan semua orang. Perwira Hidung Baja menghantam keras tanah lembah yang hangus dan berguling-guling.Agar tidak malu, meski sudah terlanjur malu, Perwira Hidung Baja buru-buru bangkit berdiri. Untung wajahnya hitam oleh noda arang rumput lembah yang sebelumnya dibakar oleh Pendekar Raja Neraka, jadi malunya cukup tertutupi.“Frukrr!” Perwira Hidung Baja malah m
Blar blar blar…!Ketika tangan Nini Lanting yang bersinar putih menyilaukan ditusukkan ke arah langit, maka tanah sekitar dirinya dan termasuk di posisi Iblis Jelita berdiri meledak.Tanah-tanah berumput terbongkar mengudara. Namun, ketika ilmu Kiamat Kecil itu terjadi, sosok Iblis Jelita menghilang di mata para penonton biasa. Menghilangnya Iblis Jelita diikuti gerak wajah si nenek yang memandang ke langit.Dari arah langit meluncur cepat sosok Iblis Jelita dengan posisi kepala dan tangan di bawah, kedua kaki lurus di atas. Pada ujung tangannya yang menempel lurus ada sinar ungu dan hitam yang saling membaur tanpa saling menguasai. Arahnya tepat ke atas kepala Nini Lanting.Serangan Iblis Jelita dengan ilmu Totok Bumi level grand master itu datang sangat cepat. Tanpa pikir ulang, Nini Lanting menyambut lawannya dengan satu hentakan telapak tangan yang bersinar putih menyilaukan.Buooom!Pertemuan dua kesaktian itu menciptakan ledakan energi yang dahsyat. Tanah di sekitar mereka kemba
Srosss!“Aaakk…!”Dua serangan tapak membara yang mendarat di dadanya, membuat pikiran Ki Lagak sejenak blank dalam mengendalikan puluhan pedang sinar biru. Padahal rombongan energi ilmu Pedang Beranak Seribu itu sedang melesat mengarah Ratu Senja yang notabene ada di depannya.Maka, dengan lenyapnya sosok Ratu Senja, jadi justru sebagian pedang sinar biru menusuki tubuh Ki Lagak.Setelah Ki Lagak ditusuki oleh pedang-pedang energi miliknya sendiri, tahu-tahu Ratu Senja muncul lagi seperti dedemit caper di depan Ki Lagak yang terhuyung kesakitan. Kemunculan Ratu Senja yang tanpa tawa atau suara, membuat Ki Lagak tidak menyadari untuk waktu sesaat.Suss!“Hahh!” kejut Ki Lagak ketika baru melihat keberadaan Ratu Senja yang sudah memegang sinar biru gelap Dari ilmu Penghancur Cinta.Bluar!“Hakkr!”Dalam jarak yang sangat dekat, Ratu Senja menghantamkan sinar biru di tangannya kepada Ki Lagak yang mustahil untuk menghindar jika tidak punya ilmu lenyap seperti lawannya. Jalan satu-satuny
Set set!Ternyata pedang biru bagus Ki Lagak bisa dibagi menjadi dua pedang kembar yang lebih tipis. Dengan ilmu pengendali, kedua pedang itu bisa diterbangkan seringan capung tapi secepat anak panah.Ratu Seja tidak menggunakan ilmu perisai semodel sahabatnya Iblis Jelita, tetapi dia menggunakan ilmu Tinju Belut Peri. Ada yang ingat dengan ilmu ini?Kedatangan dua pedang yang sifatnya menusuk, cukup diadu dengan tinju kedua tangan Ratu Senja yang terlihat tinju biasa. Ketika pedang tinggal sejengkal jaraknya dari kepalan tangan janda awet itu, pedang akan melenceng arah, seperti terpeleset di lantai bersabun.Setelah terpeleset tanpa menyentuh tangan atau raga Ratu Senja, kedua pedang terus terbang dan berbalik atau berbelok arah yang tetap memburu tubuh indah Ratu Senja. Sepertinya Ki Lagak sudah terlalu tua, sehingga dia tega ingin menghancurkan keindahan yang lawannya miliki.Semua upaya serangan dua pedang kembar terbang gagal. Selalu terpeleset dan terpeleset lagi. Ki Lagak samp
Setelah pertarungan antara Ardo Kenconowoto berakhir dengan hasil berkurangnya satu anggota Keturunan Darah Emas, Nini Lanting semakin menggila dalam bertarung melawan Iblis Jelita.Begg! Pagg! Begg begg! Pagg pagg!Pukulan tinju dan telapak tangan yang bertenaga dalam tinggi dilancarkan menghantam dinding sinar ungu bening dari ilmu perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang, semakin tipis, semakin menerawang.Tinju pertama tidak menghancurkan dinding sinar ungu, tapi hantaman telapak tangan yang disusulkan kemudian menghancurkan dinding pertama.Nini Lanting kembali maju selangkah dan melancarkan dua pukulan beruntun untuk menghancurkan lapisan kedua. Namun, setelah itu Iblis Jelita kembali memunculkan ilmu perisai yang sama dengan sebelumnya, membuat Nini Lanting harus menghancurkan dua lapis perisai Lapis-Lapis Kulit Bawang lagi.Suara hantaman pukulan kepada dinding perisai terdengar keras, membuat orang-orang yang mendengar bergetar hatinya. Bergetar bukan karena cinta, tapi bergetar ikut
Tubuh Ardo berguling melintasi api yang membakar rumput. Cepatnya gulingan tubuhnya membuat dia tidak sempat terbakar. Maklum pendekar saktinya sedang sibuk.Ardo cepat bangkit di antara kobaran api yang membakar lahan di mana-mana. Memang agak runyam jika melawan Pendekar Raja Neraka, api di mana-mana.Sosss!Belum sempurna fokus pandangan Ardo, serangan gelang-gelang sudah datang lagi.“Lelele…!” teriak Ardo sambil lari kencang ke samping, membuat serangan seperti selang api panjang itu hanya kian memperparah kebakaran lahan.Iblis Jelita yang bertarung sengit di sisi lain hanya tersenyum tipis saat mendengar lolongan Ardo, tanpa tertarik untuk melirik kepada murid dan calon suaminya itu.Ardo berlari kencang mengelilingi posisi Cukil Bugir.Sosss!Cukil Bugir kembali memburu Ardo dengan melesatkan barisan gelang-gelang api. Namun, Ardo seperti jagoan yang jika ditembak tidak kena-kena.Sing! Ctarr! Ses ses ses…!Setelah lolos lagi dari serangan, sambil terus berlari, Ardo melesatka
“Lelaki tampan mana yang kau pilih untuk dibunuh?” tanya Iblis Jelita kepada Ratu Senja sambil memandang kepada Ki Lagak dan Cukil Bugir. “Aku pilih Ki Lagak saja, agar yang suka marah-marah jatahnya Ardo,” jawab Ratu Senja sembari tersenyum semanis mangga matang di hati. “Tapi yang suka malah-malah namanya siapa, Nyai Latu?” tanya Ardo yang membuat ketiga calon lawan mereka tahu bahwa ternyata pemuda itu cadel. “Namanya Cukil Bugir, bergelar Pendekar Raja Neraka,” jawab Ratu Senja. “Oooh Cukil Bugil. Pendekal Laja Nelaka,” sebut ulang Ardo yang membuat Ratu Senja tersenyum lebar dan Cukil Bugir mendelik sewot. “Jangan coba-coba kau menyebut nama agungku lagi, Pemuda Cadel!” ancam Cukil Bugir yang tidak rela namanya beruba jadi mesum jika disebut oleh Ardo. “Tenang saja, Kek. Aku tidak akan menyebut nama Cukil Bugil lagi,” kata Ardo seraya tersenyum santun tapi menjengkelkan bagi Cukil Bugir. “Tapi kau masih menyebutnya!” bentak Cukir Bugir lalu…. Clap! Dak dak! Tiba-tiba ka
Iblis Jelita tetap di punggung Surami, berhadapan dalam jarak tiga tombak dengan kereta kuda putih yang diapit oleh Ki Lagak alias Pendekar Pedang Bersayap dan Cukil Bugir alias Pendekar Raja Neraka.Sementara empat murid berkuda Nini Lanting posisinya ada di belakang, seolah-olah mereka dilarang untuk turun tarung karena cukuplah yang tua-tua saja yang turun ke ambang kematian untuk memetik nyawa.Semua mata penonton yang berada di sekeliling area Lembah Jepit terpusat kepada mereka. Yang mereka tunggu jelas adegan tarung yang seru sampai ada yang tumbang bersimbah darah dan nyawa melayang.“Apakah Keturunan Darah Emas akan menghabiskan diri hanya di tangan seorang Iblis Jelita?” kata Iblis Jelita datar.“Kesombonganmu akan berakhir di sini, Iblis Jelita!” seru Pendekar Raja Neraka.“Hihihi! Berkaca tapi tidak pernah melihat wajah sendiri. Satu per satu Keturunan Darah Emas datang menantang menyombongkan diri. Pendekar Pedang Kayu saja mempermalukan diri di tangan muridku, pendekar y