Share

3. Sengketa Burung

Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam.

Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas.

“Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo.

“Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah.

“Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia.

Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu ada Nyai Wetong dan kudanya. Gelagatnya menunjukkan dia sedang mencari seseorang.

“Aku akan memberimu sepuluh kepeng,” kata Iblis Jelita, membuat Ardo terbeliak seperti mendengar pengumuman doorprize. “Namun, jika aku bisa membunuhnya, kau harus menjadi pelayanku, dan bayaranmu akan selalu aku berikan kepada ibumu. Ditambah aku akan membantu menyembuhkan sakit ibumu dan berjanji akan memotong burung ayahmu. Bagaimana?”

Otak Ardo bekerja cepat mencerna kata-kata Iblis Jelita, sehingga dia pun cepat menjawab.

“Setuju, Nyai!” jawab Ardo antusias. Yang mana pun hasilnya, Ardo tetap untung.

“Siapa nama lengkapmu?” tanya Iblis Jelita.

“Aldo Kenconowoto, Nyai,” jawab Ardo cepat.

“Baik, Ardo Kenconowoto. Kita bertaruh!” kata Iblis Jelita sambil bangkit berdiri dan meletakkan sekepeng uang sebagai bayaran dari minumannya. Dia lalu pergi meninggalkan Ardo dan keluar dari kedai makan.

Semua orang yang mendengar kata-kata Iblis Jelita jadi memandang serius kepada wanita itu. Mereka jadi penasaran, apa yang akan dilakukan oleh wanita pembunuh itu. Ardo pun serius mengikuti arah langkah Iblis Jelita yang ketika berjalan pahanya pasti tersingkap bergantian.

“Hmm!” gumam Nyai Wetong sambil mengangkat sedikit dagunya yang tidak berjanggut, ketika melihat kemunculan Iblis Jelita dari arah kedai makan.

Ardo Kenconowoto sudah keluar dari kedai dan memantau apa yang akan dilakukan oleh Iblis Jelita.

Melihat wanita yang ditantangnya untuk bertarung mengadu nyawa di Tugu Setia menuju ke arahnya, Nyai Wetong turun dari kudanya agar dia bisa sejajar dengan Iblis Jelita.

Pada akhirnya kedua wanita yang kita sebut saja “cantik” itu, saling berhadapan dalam jarak dua tombak.

Sementara itu, warga Ibu Kota mulai bergerak mendekat ke sekitar tugu, tapi di titik zona aman. Mereka semua berpikir, jika Iblis Jelita sudah berhadapan dengan sesama pendekar wanita, pasti meributkan lelaki atau punyanya lelaki.

“Apa yang ingin kau tuntut dariku, Nyai Wetong?” tanya Iblis Jelita.

“Burung suamiku!” jawab Nyai Wetong membentak, menunjukkan kemarahannya kepada Iblis Jelita.

“Burung suamimu yang mana?” tanya Iblis Jelita dingin.

“Burung suamiku hanya ada satu. Kau pikir burung suamiku ada dua, hah?!” bentak Nyai Wetong.

“Burung suamimu sudah menjadi milik Ratu Senja!” tegas Iblis Jelita.

Mendengar tema bahasan yang diributkan, hebohlah warga dan para pendekar yang berniat menjadi penonton saja. Kehebohan itu terdengar dari suara kasak-kusuk yang terdengar ramai.

“Jangan berbohong! Aku punya saksi terpercaya yang dua hari lalu kau menciumi burung suamiku!” tukas Nyai Wetong.

“Memang benar saksimu itu. Burung suamimu memang manis, bulunya hitam pekat. Tapi kemarin burung suamimu sudah diambil oleh Ratu Senja. Salahkan saja burung suamimu yang suka mencari sarang baru itu,” kata Iblis Jelita.

Semakin antusiaslah warga dan pendekar lain yang mendengar perdebatan dua wanita sakti itu. Tidak sedikit dari mereka yang tersenyum-senyum hingga tertawa kecil sendiri.

“Aku tidak percaya dengan omonganmu. Kau tahu bahwa burung suamiku memiliki kesaktian,” tandas Nyai Wetong.

“Aku tahu. Semua burung juga bertelur. Aku sudah menyimpan dua butir telurnya. Aku sudah dapat keduanya. Jadi, untuk apa lagi aku mengurungnya. Aku biarkan saja burung itu diambil oleh Ratu Senja. Dia tidak tahu bahwa aku telah memiliki dua telurnya,” kata Iblis Jelita sembari tersenyum kecil tapi sinis.

“Serahkan dua telur itu!” pinta Nyai Wetong.

“Cari mati kau, Nyai Wetong!” bentak Iblis Jelita. “Selama dua purnama aku yang membelai burung suamimu, aku yang memberinya makan dan minum, aku yang memberinya sarang yang hangat, sampai dia bertelur dua kali, lalu seenaknya saja kau memintanya!”

“Burung suamiku adalah milikku, berarti telurnya pun adalah milikku, kau tidak berhak mengambil telurnya!” tegas Nyai Wetong.

“Jika kau mau mengambilnya, mudah. Bunuh aku dulu!” tantang Iblis Jelita. “Kau sebagai pewaris mendiang suamimu, seharusnya kau pandai menjaga burung suamimu itu. Aku curiga, sebelumnya, kau sebenarnya tidak tahu bahwa burung suamimu memiliki kesaktian. Hihihi!”

Iblis Jelita tertawa bernada mengejek Nyai Wetong.

“Aku sudah memelihara dan merawat burung suamimu selama dua purnama sampai dia dua kali bertelur. Namun, baru sekarang kau sibuk mencarinya dan ingin merebut paksa sesuatu yang merupakan hasil dari jerih payah orang lain. Licik!”

“Keparat lacur!” maki Nyai Wetong lalu berlari pelan merangsek maju mengibaskan sarung pedangnya mengincar kepala Iblis Jelita.

Tak!

Iblis Jelita cukup mengamankan kepalanya dengan tangkisan tangan kiri. Nyai Wetong bisa merasakan, seolah-olah sarung pedangnya menghantam tangan sekeras baja.

Tangan kanan Iblis Jelita cepat membalas dengan kuku hitam mengincar badan depan Nyai Wetong. Sang nyai jelas tidak mau dada atau lehernya rusak oleh cakaran. Dia cepat menangkis dengan gerakan tangan yang tetap menghindari kuku hitam Iblis Jelita.

Nyai Wetong berulang kali menyerangkan pedangnya yang masih bersarung kepada Iblis Jelita. Namun, kekuatan tangan Iblis Jelita sudah seperti tangan baja yang berani adu keras dengan sarung pedang. Sementara serangan kuku hitam dan ungunya cukup membuat ngeri Nyai Wetong.

Wanita berpedang itu sangat tahu keganasan kedua jenis kuku Iblis Jelita.

Dalam pertarungan awal, Iblis Jelita belum menggunakan tendangan, membuat kaum lelaki yang menonton jadi penasaran, karena mereka sangat menunggu-nunggu Iblis Jelita menendang. Namun, meski belum menggunakan kaki sebagai alat serang, Iblis Jelita tetap terlihat tenang dalam menghadapi Nyai Wetong, bahkan satu cakaran mengibas memaksa Nyai Wetong terlompat mundur daripada dada dan perutnya robek.

Mendapati ketangguhan Iblis Jelita dalam pertarungan jarak dekat, Nyai Wetong menatap tajam kepada wanita berbibir biru itu sambil menimbang kesaktian apa yang tepat untuk membunuh lawannya.

Tes tes!

Di saat Nyai Wetong sedang diam berpikir, Iblis Jelita dengan entengnya menyentilkan jari kelingking tangan kanannya sebanyak dua kali.

Dua butiran zat hitam sekecil biji salak seperti sinar, melesat berurutan menyerang Nyai Wetong yang terkejut.

Tass tass!

Nyai Wetong sangat cepat menangkis dua sinar hitam dengan sarung pedangnya. Pada hantaman kedua, serangan itu berhasil melempar Nyai Wetong beberapa tindak, tapi tidak membuatnya jatuh. Dia mendarat dengan masih kokoh.

Plok plok plok...!

Terdengar tepuk tangan dari sebagian penonton lelaki. Meski mereka tahu bahwa Iblis Jelita adalah pendekar wanita yang kejam, tetapi karena keseksiannya, memikat banyak lelaki. (RH)

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
di dunia ini banyak burung
goodnovel comment avatar
fahri nas
burung Mulu om rudi
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
penasaran sama burung?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status