Iblis Jelita hanya tersenyum meremehkan melihat Nyai Wetong tidak kuat menahan dua hantaman Sentilan Dewi Hitam tingkat satu.
“Sepertinya kau akan mati di tanganku, Nyai,” kata Iblis Jelita dengan senyum sinisnya.
“Lebih baik aku mati terhormat dari pada hidup tapi kalah oleh wanita rendah sepertimu!” teriak Nyai Wetong, lalu dia menghentakkan tangan kanannya ke arah langit dengan jari-jari tegang mencengkeram. Sementara tangan kirinya memegang pedang yang belum dia cabut.
“Hihihi! Ya sudah, matilah!” tawa Iblis Jelita.
Sesss!
Tiba-tiba terdengar suara desisan energi yang mengalir dari angkasa masuk ke tangan kanan Nyai Wetong. Di tangan kanan muncul gumpalan energi sinar merah. Debu-debu di sekitar Nyai Wetong beterbangan karena muncul angin kencang dari pergerakan energi tersebut.
Melihat itu, Iblis Jelita tidak mau tinggal menunggu diserang. Dia berinisiatif cepat berlari maju kepada Nyai Wetong.
Melihat Iblis Jelita mulai banyak bergerak, para penonton yang hampir semua kaum pisangan itu kian sumringah dan antusias. Namun, kesaktian yang sedang dikeluarkan oleh Nyai Wetong membuat debu-debu beterbangan dengan liar, membuat para penonton sulit melotot. Padahal angin itu membuat rok Iblis Jelita jadi berkibar-kibar, tapi tidak seekstrem rok Marylin Monroe.
Kali ini Iblis Jelita serius dengan serangan kedua tangannya yang bercakar tanpa takut adanya sinar merah yang bercokol di tangan kanan lawannya.
Nyai Wetong tidak diam saja. Sebelum energi yang dikumpulkannya sempurna, dia lebih dulu menghadapi agresi berbahaya lawannya dengan pertarungan tangan kiri yang masih memegang pedang bersarung.
Crak crak bret!
“Ak!” pekik tertahan Nyai Wetong.
Beberapa serangan cakaran Iblis Jelita ditangkis oleh sarung pedang. Namun, gerak serang Iblis Jelita terlalu cepat dan gesit. Dalam waktu singkat ada cakaran kuku ungu yang mengancam punggung Nyai Wetong.
Iritnya gerakan Nyai Wetong karena dalam kondisi menyerap energi, membuatnya terancam lebih dulu. Gerak hindar yang dilakukan tubuhnya menjadi terbatas, sehingga kuku tangan kiri Iblis Jelita berhasil merobek punggung baju dan kulit Nyai Wetong. Luka itu membuat Nyai Wetong menjerit tertahan.
Suass! Bluar!
Reaksi dari luka yang didapatnya, Nyai Wetong langsung menghantamkan sinar merah di tangan kanannya kepada Iblis Jelita yang sangat dekat dengannya.
Tahu-tahu ledakan hebat terjadi yang menghancurkan tanah yang mereka pijak. Tanah keras di sekitar mereka terbongkar dan mengudara cukup tinggi, membuat visual pertarungan jadi terhalang bagi para penonton.
“Wuaaah!” teriak para penonton karena begitu hebatnya ledakan yang terjadi, sampai-sampai mereka harus mundur dari posisi tontonnya karena ada hujan tanah dan debu tebal.
Di dalam pekatnya kabut tanah dan debu, Nyai Wetong terkejut karena ternyata targetnya menghilang dan berhasil menghindar.
Para penonton bisa melihat Iblis Jelita tahu-tahu muncul tidak jauh di depan para penonton sisi selatan. Para penonton itu terbeliak melihat sosok aduhai Iblis Jelita yang hanya ada satu jangkauan di depan mereka, bahkan mereka bisa mencium semerbak wangi tubuh wanita cantik itu. Namun, siapa yang berani mengulurkan tangan untuk menepak bokong indah itu.
Namun, tidak sampai sepenarikan napas atau sepenarikan tali celana, Iblis Jelita sudah melesat secepat kilat dengan bagian belakang roknya berkibar di belakang.
Dalam kondisi udara yang belum jernih, Nyai Wetong harus terkejut ketika dia melihat bayangan biru terang datang kepadanya seperti lesatan anak panah.
Sriiing! Crak!
Bluasss!
“Hukh!” keluh Iblis Jelita.
Tidak terlihat jelasnya kondisi musuh, mencabut pedang pusakanya adalah cara terbaik saat itu bagi Nyai Wetong.
Ketika pedang dicabut dari sarungnya, cahaya putih menyilaukan langsung menyeruak. Seiring itu, kuku-kuku hitam Iblis Jelita telah sampai dan tertangkis oleh bilah pedang. Dan kejap berikutnya, ledakan sinar putih terjadi, mementalkan tubuh Iblis Jelita yang juga membuatnya mengeluh.
Melihat tubuh indah Iblis Jelita terlempar, semakin teganglah para penonton. Entah bagian tubuh mana yang tegang?
Jleg!
Iblis Jelita tidak mendarat dengan dua kaki dari lemparan keras itu, tetapi mendarat dengan tiga kaki. Dua kaki sungguhan dan satu tangan kanan. Pendaratan dengan posisi push-up itu membuat paha wanita cantik itu terbuka keliling dunia, membuat penonton kian antusias. Namun, mereka harus kecewa karena ternyata Iblis Jelita mengenakan celana pendek, yang di zaman masa depan disebut jenis biker short.
Iblis Jelita segera bangkit. Dia tidak peduli dengan kaum pisangan yang mata bakul.
“Cuih!”
Iblis Jelita meludah darah ke kiri.
“Ayo, Nyai! Hajal telus! Nyai halus menang!” teriak satu anak lelaki tiba-tiba dari tengah-tengah penonton.
“Hahaha...!” tawa semua penonton mendengar teriakan cadel itu.
Iblis Jelita yang marah melirik ke sumber teriakan. Ternyata itu Ardo Kenconowoto yang berada di depan para penonton orang dewasa.
Iblis Jelita jadi tersenyum melihat Ardo yang begitu semangat mendukungnya. Meski sang pendekar tersenyum kepada Ardo, tetapi yang bahagia adalah kaum bapak-bapak di belakangnya. Mereka jadi heboh sendiri, seolah-olah mereka dipilih menjadi target cinta Iblis Jelita.
Drap drap drap...!
Brak brak brak...!
Tiba-tiba terdengar suara lari puluhan kaki manusia dan suara berisik barang dipukul ramai-ramai dan serentak.
Suara ramai itu bersumber dari kedatangan puluhan prajurit berseragam hijau-hijau, yang berlari dalam barisan sambil memukuli tameng kayu tebal mereka dengan batang tombak masing-masing.
“Minggir! Minggir! Minggir!” teriak keras seorang perwira prajurit kepada warga dan pendekar yang berkumpul menonton.
Seiring pasukan prajurit itu bergerak mengepung area Tugu Setia, yang juga mengepung Iblis Jelita dan Nyai Wetong, para penonton buru-buru minggir dan mundur lebih melebar, sehingga posisi mereka ada di belakang Pasukan Kadipaten Dadariwak.
Kedatangan Pasukan Kadipaten itu dipimpin oleh seorang kepala pasukan, yaitu Komandan Cecak Godok. Dia tidak berkuda, sama sebagai pejalan kaki seperti pasukannya, tapi senjatanya sebuah pedang.
Para prajurit yang sudah mengepung, menghadap ke dalam lingkaran memasang kuda-kuda dengan tamengnya yang seperti pantat penggorengan, sementara mata tombak menghadap ke depan. Kepungan itu terbentuk rapat. Sementara Komandan Cecak Godok berposisi di dalam kepungan.
Kemunculan Pasukan Kadipaten itu jelas membuat pertarungan kedua wanita sakti tersebut terjeda, meski tidak ada sponsor iklan.
Sementara itu, Nyai Wetong berdiri dengan tangan kanan telah memegang pedang yang menyala putih seperti lampu.
“Iblis Jelita! Nyai Wetong! Kalian merusak lingkungan Tugu Setia!” bentak Komandan Cecak Godok tanpa gentar terhadap kedua pendekar berbahaya itu.
Tess! Tass!
“Aakk!” jerit Komandan Cecak Godok saat tiba-tiba sebutir sinar hitam kecil menghantam dadanya tanpa sanggup dia elaki atau tangkis.
Brak!
Tubuh sang komandan yang terlempar menabrak beberapa prajuritnya. Untung, tubuhnya tidak tertusuk tombak yang lancip. Para prajurit itu hanya bisa terkejut melihat komandan mereka kejang-kejang seperti ayam yang sedang sakratul maut. Tidak ada yang berani menyerang Iblis Jelita yang melepaskan ilmu Sentilan Dewi Hitam tingkat satu.
Drap drap drap...!
Dari kejauhan terdengar suara lari beberapa ekor kuda. Perhatian semuanya pun teralih kepada tiga ekor kuda yang datang.
Penunggang kuda terdepan adalah seorang lelaki separuh baya yang berkumis tipis dan berjenggot lebat. Lelaki berbaju sutera warna merah itu mengenakan blangkon berwarna kombinasi merah gelap dan hitam.
“Gusti Adipati datang!” kata satu orang penonton lebih dulu. (RH)
Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh. Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya. Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami. Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki. Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati. Sebentar sang adi
Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
“Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin
Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter