Ada tiga anak remaja lelaki yang usianya antara 15 hingga 17 tahun. Mereka berpakaian bagus, sangat tidak seperti anak-anak rakyat biasa yang bajunya terlihat lusuh dan bahkan suka tidak berbaju. Anak yang badannya paling kecil bahkan memakai blangkon. Gaya jalannya pun jumawa, menunjukkan bahwa dia bukan anak sembarangan, ya setidaknya memiliki orangtua yang punya jabatan tinggi.
Sebut saja mereka bernama Anoman bagi yang berblangkon, Gugusan yang berbadan paling besar, dan Kuncung yang badannya agak gemuk.
Ketiganya berjalan di dekat Tugu Setia yang jika dilihat dari jauh mirip pusaka kaum batangan.
“Anoman, lihat. Itu Ardo Cadel sedang menyisir kuda!” kata Gugusan sambil menunjuk ke arah depan kedai makan.
Anoman dan Kuncung segera memandang ke arah depan kedai makan.
“Hahaha! Ayo kita ejek!” kata Anoman bersemangat. Sepertinya dialah pemimpin di antara mereka.
“Ayo. Kita buat dia menangis!” kata Kuncung pula.
Bak tiga orang jagoan tukang onar, mereka berjalan menghampiri Ardo yang sedang menyisiri surai kuda milik Iblis Jelita.
Ardo yang sedang bekerja tidak melihat kedatangan Anoman, Gugusan dan Kuncung karena posisinya membelakangi mereka.
Gugusan tiba-tiba merampas sisir kuda yang sedang dipegang oleh Ardo.
“Eh!” pekik Ardo terkejut dan dia cepat berbalik melihat siapa yang merebut sisir kudanya. “Sisil kudaku!”
“Hahaha!” tawa Anoman dan dua rekannya ketika mendengar kecadelan Ardo.
“Belikan sisil kudaku, Gugusan!” teriak Ardo dengan wajah marah.
“Hahaha! Beli saja sendili!” kata Anoman tertawa dan mengejek dengan cara mengikuti cara omong Ardo.
“Belikan!” teriak Ardo sambil bergerak cepat hendak merebut kembali sisir kudanya.
“Eit!” pekik Gugusan sambil cepat melompat mundur menjauhi Ardo. Demikian pula Anoman dan Kuncung.
Sementara Iblis Jelita hanya memerhatikan dari dalam kedai makan sambil sesekali meminum minumannya, bukan makanannya karena dia tidak memesan makanan.
“Ardo cadeeel! Ardo cadeeel!” ledek Anoman.
“Ardo cadeeel! Ardo cadeeel!” ledek Gugusan dan Kuncung pula sambil menunjukkan wajah yang mengejek.
“Aldo cadeeel! Aldo cadeeel!” Ardo justru mengikuti ledekan mereka dengan maksud mengejek balik.
Miriplah mereka seperti anak kecil yang saling ejek-ejekan. Hal itu membuat Iblis Jelita tersenyum.
Dibalas dengan ledekan serupa, justru membuat marah Anoman dan kedua rekannya. Mereka hanya ingin mengejek, tapi tidak mau diejek pula.
Gugusan yang memegang sisir kuda, melempar sisir kuda di tangannya kepada Ardo. Namun, dengan gesit anak cadel itu mengelak.
“Weeek! Enggak kenaaa! Enggak kenaaa!” teriak Ardo mengejek Gugusan semakin menjadi.
Semakin terbakarlah amarah Anoman dan kedua rekannya.
Gugusan dan Kuncung yang memiliki badan lebih besar segera maju dan mencekal kedua lengan Ardo.
“Lepaskan aku! Atau aku hajal kalian!” teriak Ardo sambil meronta.
“Rasakan!” kata Kuncung saat dia dan Gugusan mencelupkan paksa kepala Ardo ke sebuah gentong pendek berisi air. Biasanya air itu untuk minuman kuda.
“Hei!” bentak seorang lelaki dari ambang pintu kedai makan.
Terkejut Anoman, Gugusan dan Kuncung mendapat bentakan keras. Mereka sontak memandang ke sumber suara.
Lelaki yang membentak mereka berbadan besar berpakaian hitam ala-ala pendekar. Ada golok bersarung yang menyelip di sarung yang dijadikan sabuk pengaman. Semoga tidak salah paham mengenai sarung-menyarung.
Semua orang di Gampartiga mengenal orang berbadan besar itu bernama Cabur Sekti. Dia pendekar golok yang konon masih keturunan dari legenda mati Dewa Golok Dewi. Namun, belum ada yang iseng membuktikan kebenaran nasabnya apakah benar tersambung kepada Dewa Golok Dewi.
“Berhenti, kalian! Atau aku bawa kalian kepada bapak-bapak kalian!” ancam Cabur Sekti.
“Ayo, ayo!” ajak Anoman dengan wajah setengah takut plus kesal.
Gugusan dan Kuncung buru-buru melepas Ardo dan segera mengikuti Anoman. Sesekali mereka menengok melihat kepada Cabur Sekti yang masih melototkan kedua matanya. Maklum matanya hanya dua. Jika tiga, pasti tiga-tiganya juga melotot.
Ardo mengusap wajahnya dari air dan mendorong rambut gondrongnya yang basah ke belakang, sehingga wajahnya yang tadi sering tertutup separuh oleh rambut, terlihat total.
Melihat wajah Ardo, Iblis Jelita sedikit naikkan alis. Dia merespon sesuatu yang ada pada wajah Ardo.
“Anak tampan,” ucap Iblis Jelita sangat lirih.
Sebagai wanita penikmat lelaki, Iblis Jelita sangat ahli dalam menilai, memilah dan memilih wajah ganteng lelaki. Dia menilai wajah Ardo bukan untuk mengambil anak kecil itu sebagai mainan asmara, tetapi dia bisa menerka seperti apa ketampanan Ardo di kala dewasa nanti.
“Telima kasih, Kakang Cabul! Terima kasih, Kakang Cabul!” ucap Ardo sambil bersujud-sujud tidak jauh dari posisi berdiri Cabur Sekti.
“Iya, iya, tapi jangan menyebutku Cabur, sangat tidak enak didengarnya. Sebut aku Kakang Sekti, lebih punya daya jual,” kata Cabur Sekti dengan tatapan sewot.
“Baik, Kakang Sekti. Telima kasih, Kakang Sekti!” ucap Ardo begitu semangat dalam kepatuhan.
Setelah itu, Cabur Sekti melangkah pergi meninggalkan kedai makan.
Ardo pergi memungut sisir kudanya. Dia pun kembali bekerja menyisir surai kuda milik Iblis Jelita.
Tuk!
Ardo terkejut saat ada benda kecil yang menghantam kepalanya. Yang pertama dia lakukan adalah melihat benda apa yang mengenainya. Oh, ternyata sepotong kecil kayu sebesar kuku emak jari. Yang kedua dia lakukan adalah mencari orang yang melemparnya dengan mengikuti arah datangnya si kayu.
Ketika pandangan Ardo menemukan wajah cantik Iblis Jelita, dilihatnya pendekar wanita sakti itu memanggilnya dengan gerakan jari telunjuk yang berkuku panjang warna hitam.
“Aku, Nyai?” tanya Ardo.
Iblis Jelita mengangguk tanpa ekspresi.
Sembari tersenyum lebar seolah-olah sudah melupakan apa yang baru saja menimpanya, Ardo berlari kecil mendekat ke pinggir kedai makan dan berhenti di sisi luar.
“Ada apa, Nyai?” tanya Ardo seperti seorang abdi.
“Masuklah!” perintah Iblis Jelita.
“Ke dalam, Nyai?” tanya Ardo lagi seperti orang gagal paham.
“Masuk itu ke dalam, bukan ke atas!” kata Iblis Jelita agak membentak.
“I-i-iya, Nyai,” ucap Ardo jadi ciut dan tergagap.
Dia buru-buru berlari ke pintu masuk lalu datang ke meja Iblis Jelita.
“Aku sudah sampai, Nyai,” ucap Ardo melapor.
“Duduk!” perintah Iblis Jelita.
“Iya, Nyai,” ucap Ardo patuh.
Ardo lalu duduk berseberangan meja dengan Iblis Jelita yang berpenampilan seronok. Namun, Ardo duduk dengan menundukkan wajah. Dia takut dianggap kurang sopan, atau kurang ajar, atau kurang asam.
Sementara pelanggan lain di kedai itu hanya sekali menengok melihat kepada mereka.
“Gila! Perempuan Iblis itu memangsa anak kecil juga untuk memuaskan asmara bejatnya.”
Itu kata pikiran beberapa orang yang melihat gelagat Iblis Jelita.
“Kalau kau tidak ada, siapa yang merawat ibumu di rumah?” tanya Iblis Jelita.
“Ada adikku yang pelempuan. Namanya Linta Kemili....”
“Linta Kemili atau Rinta Kemiri?” tanya Iblis Jelita sambil mengepalkan tangan kanan dan kirinya bergantian di depan dadanya yang membusung menggoda.
Entah, apakah Ardo yang seumur dua belas tahun itu juga tergoda seperti para lelaki dewasa.
Karena disuruh memilih kepal tangan kanan atau tangan kiri, mau tidak mau Ardo memandang pula dada dewasa itu selain memandang tangan Iblis Jelita.
“Linta Kemili, Nyai,” jawab Ardo sambil menunjuk kepal tangan kiri Iblis Jelita, yang otomatis juga menunjuk dada kiri wanita sakti itu.
“Oh, Rinta Kemiri,” ucap Iblis Jelita menegaskan.
“Tapi ... jika aku tidak ada, tidak ada yang bekelja mencali kepeng, Nyai,” ucap Ardo yang kembali menunduk. Jadi tanda tanya bagi Iblis Jelita, apakah menunduk Ardo karena sikap merendahnya kepada orang lain atau untuk menghindari memandang sesuatu yang terlarang.
“Jadi, tugasmu mencari kepeng, adikmu bertugas menjaga dan mengurus ibumu?” terka Iblis Jelita.
“Iya, Nyai,” jawab Ardo.
“Ayahmu ke mana?”
“Ayahku pedagang kulit yang belkelana jauh, tapi sudah tujuh tahun tidak pulang-pulang. Kata teman Ayah, ayahku sudah menikah dengan wanita kaya di Kelajaan Buntungan,” jawab Ardo.
“Apakah ayahmu pantas mati jika seperti itu kelakuannya?” tanya Iblis Jelita.
“Tidak, Nyai. Tapi jika beltemu, aku belsumpah akan memotong bulungnya,” kata Ardo.
“Hihihi...!”
Tiba-tiba meledak tawa Iblis Jelita mendengar sumpah Ardo. Suara tawa yang nyaring mengejutkan seisi kedai makan. Orang-orang itu sontak berpaling menengok melihat kepada dua orang berbeda generasi itu.
Iblis Jelita yang selalu jadi pusat perhatian di mana-mana, tidak mengindahkan orang sekitar. Berbeda dengan Ardo yang nyengir kecut sambil melihat kepada pelanggan lain.
“Urusan burung ayahmu, biar aku yang mengurusnya!” tegas Iblis Jelita. Lalu katanya lagi sambil memandang jauh ke Tugu Setia, “Lawanku sudah datang.” (RH)
Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam. Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas. “Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo. “Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah. “Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia. Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu
Iblis Jelita hanya tersenyum meremehkan melihat Nyai Wetong tidak kuat menahan dua hantaman Sentilan Dewi Hitam tingkat satu. “Sepertinya kau akan mati di tanganku, Nyai,” kata Iblis Jelita dengan senyum sinisnya. “Lebih baik aku mati terhormat dari pada hidup tapi kalah oleh wanita rendah sepertimu!” teriak Nyai Wetong, lalu dia menghentakkan tangan kanannya ke arah langit dengan jari-jari tegang mencengkeram. Sementara tangan kirinya memegang pedang yang belum dia cabut. “Hihihi! Ya sudah, matilah!” tawa Iblis Jelita. Sesss! Tiba-tiba terdengar suara desisan energi yang mengalir dari angkasa masuk ke tangan kanan Nyai Wetong. Di tangan kanan muncul gumpalan energi sinar merah. Debu-debu di sekitar Nyai Wetong beterbangan karena muncul angin kencang dari pergerakan energi tersebut. Melihat itu, Iblis Jelita tidak mau tinggal menunggu diserang. Dia berinisiatif cepat berlari maju kepada Nyai Wetong. Melihat Iblis Jelita mulai banyak bergerak, para penonton yang hampir semua kau
Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh. Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya. Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami. Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki. Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati. Sebentar sang adi
Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu