Di saat dua pertarungan pendekar dan dua pertempuran berlangsung sengit, tiba-tiba ada pasukan lain yang datang mendekat ke Lembah Jepit. Prajurit pasukan itu mengenakan seragam warna hijau-hijau, tapi tidak seperti seragam hansip.Semua orang yang sedang punya kepentingan di lembah tersebut tahu bahwa itu adalah pasukan kadipaten. Jika melihat dari panjinya, mereka adalah pasukan Kadipaten Dadariwak dan Kadipaten Babatoto.Melihat kedatangan pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Komandan Cecak Godok dan pendekar Codet Maut, para arjunasiwa yang memimpin serta pasukannya merasa senang karena pasukan kadipaten datang membantu.Sementara di tempatnya, Urak Sepadan, Anggar Sukolaga, Guntur Murka, dan Angkel Asap memantau pertempuran tersebut.“Seraaang!” teriak para prajurit kadipaten.Mereka akhirnya masuk menyerbu ke dalam pertempuran.“Aak! Aak! Akh…!” jerit para prajurit Kerajaan Panesahan saat mereka justru diserang oleh para prajurit pasukan kadipaten.Alangkah terkejutnya para perw
Ada orang yang menantang Iblis Jelita di Tugu Setia yang ada di pusat kota Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.Kedatangan Iblis Jelita yang menunggangi kuda seorang diri menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, wanita berpakaian biru terang berusia tiga puluh lima tahun itu berkuda dengan dua paha putih mulusnya tersingkap ke mana-mana.Rok pakaian pendekarnya memiliki belahan yang tinggi di sisi kanan dan kiri. Di sisi lain, sembulan dada ranumnya sangat menggoda iman para lelaki.Urusan kecantikan sudah tidak diragukan lagi. Paras yang cantik jelita membuatnya menyandang kata “Jelita” di namanya. Warna gincunya juga biru terang mengikuti warna pakaiannya, tetapi tidak dengan rambutnya yang sebagian tersanggul dengan tusukan dari emas. Telinganya terlihat cemerlang dengan giwang emas. Kedua tangan wanita berhidung mancung itu memiliki kuku dua warna. Kelima kuku tangan kanannya berwarna hitam sehitam arang dan kuku tangan kiri berwarna ungu. Kuku-kuku itu panjang, tapi tidak s
Ada tiga anak remaja lelaki yang usianya antara 15 hingga 17 tahun. Mereka berpakaian bagus, sangat tidak seperti anak-anak rakyat biasa yang bajunya terlihat lusuh dan bahkan suka tidak berbaju. Anak yang badannya paling kecil bahkan memakai blangkon. Gaya jalannya pun jumawa, menunjukkan bahwa dia bukan anak sembarangan, ya setidaknya memiliki orangtua yang punya jabatan tinggi. Sebut saja mereka bernama Anoman bagi yang berblangkon, Gugusan yang berbadan paling besar, dan Kuncung yang badannya agak gemuk. Ketiganya berjalan di dekat Tugu Setia yang jika dilihat dari jauh mirip pusaka kaum batangan. “Anoman, lihat. Itu Ardo Cadel sedang menyisir kuda!” kata Gugusan sambil menunjuk ke arah depan kedai makan. Anoman dan Kuncung segera memandang ke arah depan kedai makan. “Hahaha! Ayo kita ejek!” kata Anoman bersemangat. Sepertinya dialah pemimpin di antara mereka. “Ayo. Kita buat dia menangis!” kata Kuncung pula. Bak tiga orang jagoan tukang onar, mereka berjalan menghampiri Ar
Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam. Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas. “Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo. “Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah. “Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia. Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu
Iblis Jelita hanya tersenyum meremehkan melihat Nyai Wetong tidak kuat menahan dua hantaman Sentilan Dewi Hitam tingkat satu. “Sepertinya kau akan mati di tanganku, Nyai,” kata Iblis Jelita dengan senyum sinisnya. “Lebih baik aku mati terhormat dari pada hidup tapi kalah oleh wanita rendah sepertimu!” teriak Nyai Wetong, lalu dia menghentakkan tangan kanannya ke arah langit dengan jari-jari tegang mencengkeram. Sementara tangan kirinya memegang pedang yang belum dia cabut. “Hihihi! Ya sudah, matilah!” tawa Iblis Jelita. Sesss! Tiba-tiba terdengar suara desisan energi yang mengalir dari angkasa masuk ke tangan kanan Nyai Wetong. Di tangan kanan muncul gumpalan energi sinar merah. Debu-debu di sekitar Nyai Wetong beterbangan karena muncul angin kencang dari pergerakan energi tersebut. Melihat itu, Iblis Jelita tidak mau tinggal menunggu diserang. Dia berinisiatif cepat berlari maju kepada Nyai Wetong. Melihat Iblis Jelita mulai banyak bergerak, para penonton yang hampir semua kau
Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh. Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya. Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami. Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki. Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati. Sebentar sang adi
Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru