"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik.
"Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jurus hebat tentu punya resikonya masing-masing, kau harus bijak mempelajarinya." "Baik, Paman. Aku akan mengingat nasehat paman Kan." *** Jing Wu kini berjalan di tengah gurun yang gersang. Angin bersuhu panas terus-terusan berhembus yang menyebabkan pasir di gurun lembah iblis beterbangan. Jing Wu mengeratkan kain yang menutupi wajahnya. Pasir debu dari lembah benar-benar mudah masuk ke matanya. "Siapa di sana?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria menyeru. Jing Wu menghentikan langkahnya dan seorang pria bertubuh kokoh dan besar berloncat di hadapan Jing Wu. Jing Wu terkejut melihat sosok pria yang benar-benar tak pernah ia lihat di lembah itu. "Siapa kamu?" Pria itu mengerang heran. "Seharusnya aku yang bertanya kau siapa!" balasnya dengan suara lantang, "aku adalah dewa iblis di sini, Awan Api." Jing Wu terkejut bukan main. Awan Api? Dewa iblis di lembah itu dan ini pertama kalinya ia berhadapan dengan iblis nomor satu. "Kau siapa anak muda? Berani sekali kau memasuki wilayah kekuasaanku tanpa sepengetahuanku!" "Maafkah aku, Dewa Iblis!" kata Jing Wu berusaha bersikap tenang, "aku sudah delapan tahun berada di lembah ini atas izin Paman Kanibal dan Paman Assasin." "Kan dan Assasin? Huh, bisa-bisanya mereka memelihara anak muda tanpa izinku!" Pria itu lalu memandang Jing Wu dengan pandangan sengit. "Kau mau ke mana, Anak Muda?" tanyanya. "Aku berniat untuk keluar dari lembah ini," kata Jing Wu. Awan Api menyunggingkan senyumnya. "Huh, sayang sekali, tidak ada yang boleh lolos dari lembah ini hidup-hidup!" Awan Api lalu bergerak dengan sangat cepat untuk menyerang Jing Wu, ia mengarahkan telapak tangannya dengan cahaya kemerahan seperti api. Tapi Jing Wu begitu gesit, ia bisa dengan mudah menghindari serangan Awan Api dengan jurus gerakan anginnya. "Huh, kau pikir kau bisa lolos?" "Maaf, Dewa Iblis! Aku tidak ada niat bertikai dengan anda, aku hanya ingin keluar dari sini." Tanpa mengindahkan ucapan Jing Wu, Awan api kembali mengeluarkan jurusnya dan bergerak dengan cepat menyerang Jing Wu. Awalnya, Jing Wu berhasil menghindari tiap serangan Awan Api, namun menggunakan jurus gerakan angin memerlukan tenaga dalam yang cukup banyak sehingga gerakan Jing Wu melambat. Dan saat itu Jing Wu terkena jurus tangan petir milik Awan Api, yang membuat Jing Wu terpelanting jauh. "Uhuk!" darah pun keluar dari mulut Jing Wu. "Sudah kubilang, tidak ada yang bisa lolos dari lembah ini hidup-hidup!" kata Awan Api. "Jing Wu!" Kelima iblis pun datang menghampiri Jing Wu. Kanibal dan Hermi tampak khawatir melihat kondisi Jing Wu. "Hermi, tolong bantu Jing Wu!" kata Kanibal. Hermi mengangguk dan langsung menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan Jing Wu. "Berani-beraninya kalian memasukkan orang asing di lembah ini!" sergah Awan Api. "Maaf, Awan Api! Ini adalah rencanaku," kata Kanibal, "aku bermaksud menjadikan bocah itu sebagai penerus kita." "Kita?" Awan Api tampak murka, "kau pikir anak itu cukup kuat menjadi penerus kita?" "Ya, aku percaya padanya," kata Assasin. "Kalian mulai menentangku, ya?" Awan Api lalu mengeluarkan jurusnya, kali ini ia mengeluarkan semacam kilat petir di tangannya lalu ia meloncat dan menyerang langsung keempat iblis itu. Assasin, Tangan Beracun, Wajah Senyum dan Kanibal pun mengeluarkan langsung jurus andalan mereka dan mengarahkan pada Awan Api. Terjadi dentuman yang amat dahsyat hingga mereka semua terlempar. Hermi begitu terpukau melihat pemandangan itu. Jing Wu tersadar, ia mulai membaik karena tenaga dalam dari Hermi. "Ada apa, Bibi Hermi?" "Keempat pamanmu bertikai dengan Dewa Iblis," jawab Hermi sambil terus memandang ke arah para iblis itu. "Ini semua karenaku," kata Jing Wu merasa bersalah. "Sial!" umpat Awan Api kesal. Sehebat apa pun dia, ia tidak bisa melampau jika iblis-iblis itu bersatu. Tapi para iblis yang lain pun sama terlukanya. "Awan api, sebaiknya kita tidak perlu bertikai seperti ini," kata Assasin, "kami punya rencana besar tentang anak ini dan kami jamin lembah ini tetap aman." "Cih!" terpaksa Awan Api mengalah, "jika terjadi apa-apa di sini, aku akan mengajak iblis lainnya untuk membunuh kalian. Terutama kau Assasin!" ancamnya. Hermi dan Jing Wu berdiri. Jing Wu memberi hormat ke Awan Api dan dewa iblis itu tiba-tiba menghilang dari sana. "Jaga dirimu baik-baik, Jing Wu," kata Hermi, "jika kau bertemu orang yang sulit kau lawan, kau bisa menghipnotisnya." "Baik, Bibi." *** Akhirnya, Jing Wu keluar dari lembah Sepuluh Iblis. Ia kini bisa melihat pohon-pohon dengan dedaunan yang segar, merasakan sejuknya angin dan wanginya rumput. Rasanya Jing Wu sangat rindu dengan lingkungan asri seperti ini. Tak lupa ia mengisi kendi kecilnya dengan air dari sungai yang jernih. Ia kini sampai di kota, rasanya sudah lama sekali ia tak melihat kota, sudah delapan tahun tepatnya. Tiba-tiba seseorang menabrak Jing Wu, seorang pria dan ia tampak tergesa-gesa. "Ada apa?" tanya Jing Wu ke orang-orang. "Ada pertunjukan sembunyi batu, kalau kita bisa menebak mangkuk mana batu itu disembunyikan, kita akan mendapat sejumlah uang." "Uang?" Jing Wu langsung tertarik begitu mendengar kata "uang". Segera ia mengikuti orang-orang dan masuk ke dalam rombongan. Ia pun melihat pertunjukan itu dan ada banyak peserta yang gagal menebak mangkuk mana tempat batu disembunyikan. "Hehehe ... ayo siapa lagi yang mau gagal?" "Aku aku!" seru Jing Wu sambil mengangkat tangannya. Jing Wu pun berjalan menerobos rombongan. Pria paruh baya itu pun memulai permainannya dan gerakannya sangat celat memindahkan ketiga mangkuk itu. "Ayo, yang mana mangkuk berisi batunya?" "Itu!" seru Jing Wu sambil memilih salah satu mangkuk dan tebakannya benar. Dan beberapa kali Jing Wu mencoba permainannya ia menang terus sehingga mendapatkan banyak uang. Akhirnya, permainan selesai. Jing Wu melanjutkan perjalannya setelah makan makanan enak di salah satu kedai. Ia berjalan sambil menghitung uangnya yang masih banyak. Tiba-tiba beberapa orang muncul di hadapannya untuk mencegatnya. Pria paruh baya tadi bersama tiga pria bertubuh besar dan berwajah menyeramkan. "Itu anak muda yang curang tadi!" kata Pria paruh baya itu, "hajar dia!"Langit mulai berubah warna, semburat jingga membalut awan tipis yang perlahan ditelan bayang-bayang malam. Udara di sekitar hutan itu semakin dingin, seolah ikut merasakan getir yang menggantung di antara para sahabat yang berdiri di sana.Tanpa aba-aba, kedua orang misterius yang sejak tadi memburu mereka tiba-tiba menghilang. Seakan angin senja menelan kehadiran mereka tanpa suara. Jing Wu yang sedari tadi waspada, langsung berlari ke arah Li Shuwang yang terkapar dengan darah mengalir dari luka di dadanya.“Shuwang!!” seru Jing Wu, lututnya menghantam tanah berdebu saat ia berlutut di samping tubuh temannya itu.Bao Yu sudah di sana lebih dulu, tubuh mungilnya gemetar hebat, dan air matanya membasahi pipi. Ia meremas lengan baju Li Shuwang yang mulai kehilangan warna. Di sisi lain, Ming Yue berdiri terpaku. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, tapi tak sepatah kata pun bisa ia keluarkan.“Li Shuwang… jangan tinggalkan kami,” isak Bao Yu.Jing Wu meletakkan dua jari di pergelang
Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b
Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang
Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,
Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya