Home / Pendekar / Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis / Bab 6 Si Cantik Pandai Pedang

Share

Bab 6 Si Cantik Pandai Pedang

Author: J Shara
last update Last Updated: 2025-02-25 18:12:24

"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar.

Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu.

"Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini."

"Itu beracun?" tanya Jing Wu.

Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh.

Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?"

pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di kota dan minum secukupnya. Ia pun tertidur hingga tak terasa malam tiba.

Sriiiing.

Tiba-tiba Jing Wu terbangun karena mendengar suara dari arah luar. Ia pun mengintip ke arah jandela dan dari kejauhan ia melihat seseorang sedang berlatih dengan kedua pedangnya.

Jing Wu penasaran dengan jurus orang tersebut. Ia pun keluar dari pondok itu dan berjalan mengendap-ngendap. Alangkah terkesimaknya saat ia melihat gerangan yang sedang bermain dua pedangnya dengan gerakan yang indah di bawah bulan purnama.

Ternyata seorang gadis muda yang cantik dengan pakaian serba putih dan tampak bagus.

Jing Wu terus memandang permainan pedang gadis itu hingga tiba-tiba saja gadis itu melempar salah satu pedangnya ke arah Jing Wu.

Jing Wu terkejut bukan main sampai tak bersuara. Untung saja pedang gadis itu hanya menancap ke pohon yang berada di samping belakang Jing Wu. Gadis itu lalu berloncat dengan cepat dan kini ia duduk setengah jongkok di batu besar, tempat Jing Wu bersembunyi, sambil mengacungkan pedangnya ke leher Jing Wu.

"Sedang apa bocah sepertimu main-main di sini?" tanyanya tajam sambil melemparkan tatapan dingin.

Gadis itu cantik tapi ia terlihat dingin dan kejam.

"A-aku ...."

"Ho ... kelihatannya kau dari daerah lain," kata gadis itu setelah memperhatikan penampilan Jing Wu yang hanya memakai pakaian dengan kain yang sangat sederhana bahkan kain yang sudah tak dijual di mana-mana.

"Ya, aku dari lembah iblis, kebetulan aku sedang ...."

"Kau dari lembah iblis?"

Gadis itu tampak tiba-tiba murka begitu mendengar lembah iblis dan Jing Wu langsung bergerak dengan jurus gerakan angin ke belakang dengan cepat. Hampir saja pedang gadis itu menusuk kerongkongan Jing Wu.

"Hei, tunggu dulu!" seru Jing Wu, "kau tidak perlu marah begitu!"

Gadis itu mengambil satu pedangnya yang tertancap di pohon kemudian dengan cepat ia bergerak menyerang Jing Wu. Jing Wu kesulitan menghindari gadis itu karena gerakan gadis itu begitu lincah.

"Kau adalah bagian dari sepuluh iblis dan harus kubunuh!" kata gadis itu. Ia lalu berloncat dan terus menyerang Jing Wu, bahkan ia mengeluarkan jurus seribu mata pedang ke arah Jing Wu.

Jing Wu mulai kewalahan menghadapi gadis itu. "Cih, kalau begini terus tak ada jalan lain!"

Jing Wu kemudian berloncat dan menepuk bahu gadis itu dan tiba-tiba gadis itu tercekat kemudian berteriak histeris, seperti melihat sesuatu hal yang begitu menyeramkan dalam hidupnya. Gadis itu pun rubuh ke tanah.

"Sepertinya hipnotis bibi Hermi berhasil," gumam Jing Wu, "tapi maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mencelakaimu tapi aku harus pergi!"

Jing Wu mengangkat gadis itu dan mengamankannya di dalam pondok. Jing Wu lalu berlari cepat meninggalkan gadis itu tergeletak di sana.

***

Tidak terasa Jing Wu kini sampai di suatu kota kecil, tapi sepertinya aura kota itu cukup mencekam. Ia berjalan dan tempat paling ramai di sana adalah kedai minum tuak.

Jing Wu singgah di suatu kedai yang cukup sederhana. Ia masih punya banyak uang untuk membeli makanan beberapa hari ke depan. Ia lalu singgah ke kedai itu.

"Tuan, mau pesan apa?" tanya pelayan itu.

"Semangkuk sup, nasi dan air putih biasa," jawab Jing Wu.

"Tuaknya, Tuan? Kami punya tuak terbaik di kota ini."

"Tidak," sahut Jing Wu cepat.

Setelah makanannya datang, Jing Wu pun menyantap makanannya dengan lahap. Perjalanan seharian benar-benar membuatnya sangat kelaparan.

"Dasar Kakek-kakek! Kau sudah semalaman di sini, masih tidak mau pulang?" teriak seorang pria kepada seorang kakek yang tersungkur mabuk di meja.

"Aku masih mau minum ... hik," ucap kakek itu.

"Aku sudah sabar memberimu minuman gratis di sini!" teriaknya sambil mencengkeram bagian depan kerah baju sang kakek yang tampak lusuh.

Jing Wu sepertinya tak tega melihat kakek tua itu diperlakukan seperti demikian. Ia pun bangkit dan mengeluarkan beberapa koin uang.

"Maaf, Tuan. Biar aku yang bayar minuman kakek ini," kata Jing Wu.

Pria bertubuh tinggi yang ternyata pemilik kedai itu pun mengambil koin itu dengan cemberut. "Huh, asal kau tahu saja anak muda, kakek ini sering seperti ini!" Ia lalu berbalik dan kembali ke dalam.

Jing Wu lalu memperhatikan sang kakek, kasihan juga karena kakek itu mabuk sampai ambruk tak bisa bangun. Jing Wu lalu memopoh kakek tua itu.

"Kakek, biar aku antar ke pondokmu!" kata Jing Wu pada kakek itu namun kakek itu hanya diam, seperti tertidur.

Jing Wu lalu berjalan sambil memapah sang kakek. "Kakek di mana rumah Kakek?"

"Di kuil ...."

Jing Wu pun bertanya-tanya ke beberapa warga letak kuil di kota itu. Berdasarkan petunjuk dari warga, Jing Wu pun menuju kuil. Alangkah terkejutnya Jing Wu melihat kondisi kuil yang tampaknya tak layak untuk dipakai beribadah.

Saat Jing Wu memasuki kuil itu, lantainya amat berdebu. Jing Wu lalu membawa kakek itu di suatu ruangan dan menggeletakkannya di sana. Setelah itu, Jing Wu membereskan kotoran di kuil itu.

Setelah beres-beres, Jing Wu keluar dan tiba-tiba muncul seorang pria bertubuh besar, dengan rambut sebahu yang disisir rapi ke belakang, bersama kedua harimaunya. Pria itu tampak begitu marah.

"Apa kau murid Guru Han?" tanya pria itu begitu lancang.

"Guru Han?" Jing Wu malah balik bertanya, tidak mengenali siapa yang dimaksud pria itu.

Pria itu tiba-tiba menyerang Jing Wu dengan tapaknya dengan gerakan yang cepat. Jing Wu yang kalah gesit pun terkena jurus pria itu secara telak hingga ia terlempar dan menubruk dahan pohon besar. Darah kemudian keluar dari mulut Jing Wu.

"Huh, Guru Han ternyata mempunyai murid yang payah ternyata!" teriak pria itu kemudian pria itu berbalik dan pergi dari sana.

Jing Wu sendiri kondisinya cukup parah. Ia merasakan tulang dadanya remuk karena jurus tapak pria itu dan pandangannya kabur. Ia tidak salah lagi, jurus itu adalah tapak penghancur!

-TBC-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 50 - Dimensi Terlarang

    Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 49 Hadangan di Jalan Menuju Utara

    Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 48 - Pertemuan di Desa Qi Yi

    Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 47 Bara di Tengah Hutan

    Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 46 Misteri Jasad Jing Huei

    Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 45 Pertemuan Tak Terduga

    Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 44 Pernikahan Ming Yue

    Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 43 Kota Qiangyan

    Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 42 Jing Wu VS Yang Zi

    "Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status