Dua hari setelahnya aku belum punya cara menyampaikan berita kehamilan pada Erland. Sore ini pukul setengah enam suamiku baru pulang kerja, setelah membersihkan diri maka seperti biasa Erland mencari kesibukan sendiri sedangkan aku berkutat menyiapkan makan malam.
Kali ini seleraku adalah sambal goreng jeroan dan hati berkuah santan dengan sayuran lengkap wortel, kembang kol, buncis dan telur puyuh.Sambil menunggu kuah meresapkan bumbu dan bahan isian di atas api kecil, ku iris buah dan mulai menyemil potongan buah pear. Erland mendekat dan ikut menikmati dari piring yang kusodorkan ke dekatnya."Besok aku izin mengantar Arumi berobat lagi, Al?"Uhuk ! Aku tersedak dan gegas meraih gelas minum yang kuteguk dengan darah mendesir. Kejujuran laki-laki ini sungguh mengejutkan.Bermaksud meredakan gemuruh dalam dada, aku berdiri mematikan kompor. Hasilnya sandal pun terkait kaki kursi membuat tubuhku sedikit oleng. Dalam hati aku merutuki bePesan masuk dari Om Jiwo pagi ini membuatku tercenung lama, Arumi menolak pergi untuk pengobatannya. Wanita yang kian hari semakin ringkih itu hanya menginginkan menjalani terapi bila bersamaku, ketika dibujuk agar bersedia ditemani kedua orang tuanya justru memunculkan disorientasi. Arumi menanyakan berulang-ulang untuk keperluan apa dia melakukan perjalanan bersama papi-maminya nanti?"Om malu menyampaikan ini Nak Erland, karena memintamu melakukan hal yang sulit. Arumi sendiri yang memintamu menikah, tapi sekarang dia sudah lupa pria yang sudah berkeluarga perlu menjaga marwah pernikahannya. Jika coba dijelaskan padanya, apakah putri om itu bisa memahami bahwa kau punya tanggung jawab terhadap istrimu juga?"Om Jiwo begitu biasa aku menyapa papinya Arumi, mengucapkan kalimat panjang itu dengan suara sedikit bergetar. "Om dan maminya Arumi sudah ikhlas dengan ujian ini, kami hanya berikhtiar untuk bisa memperpanjang waktu bersamanya dua atau
Kediaman mewah dengan taman depan begitu hijau teduh dan asri yang kami masuki, hanya bisa kutebak sebagai tempat tinggal Arumi dan keluarganya. Selebihnya Erland mengemudi dalam diam dan di awal perjalanan ke sini sempat menggenggam jemariku di tengah fokusnya mengemudi."Bersiap lah sore nanti, kita akan menemui Arumi dan keluarganya." Pesan Erland siang tadi masuk ke akun WatsAppku. Dadaku berdebar halus merespon tanggapannya setelah kutantang dini hari setelah kami melaksanakan sholat sunat tengah malam.Seorang pelayan membukakan pintu jati yang menjulang berukiran estetis. Erland sepertinya sudah sangat dikenal karena si pelayan tidak bertanya apa-apa selain langsung menyilakan kami masuk dengan sopan."Saya bersama Alia, istriku. om, tante?" Erland menyapa sepasang suami istri yang kuduga adalah kedua orang tua Arumi, mereka sudah menunggu di ruangan tamu yang dipenuhi set kursi jati berukiran indah beralas busa beledru yang begi
Alzheimer! Penyakit yang merampas ingatan seseorang di masa lansia, itu kini yang menggerogoti Arumi pada usia terbilang muda."Kasus seperti Arumi termasuk langka, tidak sampai 400 orang hingga kini di seluruh dunia yang terkena di bawah usia 65 tahun." ungkap Erland sepulang dari kediaman mantan kekasihnya itu.."Bagaimana gejala awalnya?" rasa penasaranku sedikit terjawab kini."Dua tahun yang lalu, dia mulai mengalami kebingungan. Tidak bisa mengingat hal-hal kecil atau di mana menyimpan benda yang rutin di keseharian. Lalu mulai lupa alamat rumah, kalau keluar rumah mentok satu tujuan. Agenda lain terlupakan, ...""Dia juga melupakan hubungan denganmu?" kejarku jadi ingin tahu perspektif Arumi terhadap kisah cintanya dengan Erland."Orang-orang terdekatnya tetap utuh dalam memorinya Al, tapi kesulitan Arumi adalah menghubungkan antar memori yang membuat ingatannya timbul tenggelam. Hal-hal kecil bagai runtuh, padahal seringkali hal k
"Arumi sakit parah, tentu saja Erlan tidak bisa meninggalkannya? Informasi kawanku sebatas itu, lalu kutanyai Erlan sehari sebelum pernikahan. Dia bilang iya, terus katanya komitmen dan perasaan itu dua hal yang berbeda," Rivana menjawab ketika kutanya sejauh mana dia mengetahui perihal sakit Arumi."Arumi terkena Alzheimer, Va? Erland memenuhi permintaanku untuk dipertemukan dengannya," Hahh, Arumi gegas menghela lenganku ke kamarnya, menutup pintu dan menatapku setengah tak percaya.'Terus gimana? Lanjutin cerita Al,"Kusampaikan situasi pertemuan di kamar Arumi, sikap om Jiwo dan tante Mia, juga penuturan suamiku malam itu."Jadi rivalmu sekarang penderita penyakit langka?" "Issh, jahatnya kamu Va?" Kumelotot mendengar lontarannya."Kapan Erlan belajar mencintaimu bila terus saja terlibat dengan Arumi? Sori ya Al, aku ngomong apa adanya...""Setidaknya dia mencintai anak kami, Va?" tukasku menundu
Pradugaku tak pernah terbukti, meski sangat nyata besarnya cinta Arumi pada Erland dan respek keluarganya pada suamiku itu. Aku terkadang malu dengan rasa syukurku yang amatlah tipis, mudah robek tergores rasa cemburu. Hari demi hari kesehatan Arumi semakin menurun, tak jarang setiap berita dari kediaman keluarga Arumi seolah mimpi buruk yang menghantui. ""Al, nanti siang bersiap ya? Om Jiwo meminta kita datang," Erland menelpon saat masih berada di kampus. "Ini masih ada keperluan dengan dosen pembimbing Er, mungkin aku tidak sempat berganti pakaian? Tidak apa-apa kita langsung ke sana?" sahutku sambil menelisik diri sendiri, outfitku hari ini bukan untuk acara formal tapi cukup membuatku percaya diri dengan kondisi hamil tujuh bulan.Di seberang sana suamiku menyahut bahwa tak masalah dengan penampilanku, yang penting bisa memenuhi hajat om Jiwo dan tante Mia.Apakah kondisi Arumi memburuk? Aku cukup lama tidak mengunjunginya, bebera
Hampir tak kupercaya, keluarga Erland boyongan ke kota kami. Mertuaku pindah menempati sebuah rumah kediaman yang cukup besar berlantai dua dengan halaman belakang yang luas dan rindang oleh pepohonan."Rumah ini dibeli oleh papanya Feysa dan Restu. Investasi buat salah satu dari mereka bila ingin mencoba usaha di kota ini?" ujar mama Netty yang memang merencanakan pindah satu minggu sebelum perkiraan hari melahirkan "Iya sih ma, aset property sebagus ini nggak rugi dibeli." aku mengiyakan, surprais dengan kedatangan beliau. Hari ini aku berkunjung saat rumah pun masih berantakan habis pindahan. "Maunya ngontrak di sini selama satu tahun biar puas menyongsong cucu mama, tapi mana boleh sama tante Moza-mu? Jadi disuruh menempati aja sepuas mama sampai bayimu nanti bisa benar-benar mengenali omanya ini?""Mama niat banget ya, sampai sudah bawa bibik segala?" Aku menunjuk wanita berumur empat puluhan yang tadi dipanggil dengan nama Bik Inah.
Putraku hadir di dunia melalui proses kelahiran normal, sosok mungilnya yang didekatkan padaku segera saja membayar ribuan gelombang rasa sakit yang tadi menghantam. Rasa perih yang tersisa di jalan lahir pun terabaikan, kuresapi kebahagiaan ketika kulit bayiku menempel di dada saat IMD Senyum tulus Erland mengembang saat berkali-kali membisikkan terima kasih, berulang pula kecupannya lembut menyentuh keningku. "Setahun yang lalu kamu menjadikanku sebagai seorang suami, dan hari ini statusku lengkap menjadi seorang ayah. Terima kasih, sayang?" Dibelainya wajahku dengan tatapan memuja. Biasanya suamiku tak berlama-lama menautkan mata, perasaannya padaku lebih banyak disampaikannya melalui sentuhan saja.Mata adalah jendela hati, mungkin Erland takut aku bisa mengintip sebesar apa cinta bertahta untuk Arumi. Tapi di hari kelahiran anak kami, lelaki ini tak ragu bertahan lama menatap mataku. "Wajah bayi kita mirip sekali dengan wajahmu, Al. Aku ng
Aqiqahan Atthaya Ghaazi digelar di rumah tante Moza yang sekarang ditinggali oleh mertuaku. Rumah yang berhalaman luas itu disulap oleh jasa tim dekor, menjadi jauh lebih semarak dan hangat dibanding melaksanakan dengan Fullday di hotel. Pada hari lahirnya ke empatpuluh keluarga besar suamiku menyambut hadirnya putra kami, kecuali Feysa yang sedang studi di luar negeri. Melewati waktu zhuhur tamu undangan yang menyaksikan acara pokok aqiqah dan pemberian nama sudah pulang, hanya tamu keluarga dari pihak Erland dan keluarga-kerabatku yang masih mengalir, juga beberapa rekan kerja suamiku yang silih berganti.""Boleh ku gendong, Al?" Restu minta izin melihat Atthaya Ghaazi yang nampak anteng dalam gendonganku."Bisa, kamu?" Kutersenyum mencandai, tapi kuulurkan bayiku ke tangan Restu yang menyambutnya sedikit kaku."Dengan Om Restu dulu ya Nak, mama lapar lagi ini," Perutku sudah keruyukan lagi padahal pukul tujuh sudah sarapan,