"Alia, maaf mengganggumu dihari libur. Kalau ada waktu bisa ketemu dengan ibu ya, ada yang mau dibicarakan hari ini?"
Suara di ujung telpon adalah milik CEO Destanto."Baik Pak, kalau boleh tahu mengenai apa yang akan dibicarakan ini?" Tanyaku penasaran."Rencana tahlilan almarhum bapak tiga hari lagi, kamu bisa datang hari ini atau besok di jam kerja?""InsyaAllah siang ini, Pak." Kusanggupi permintaannya."Baiklah, terimakasih. Kami tunggu," terdengar nada suara lega. Lalu telpon di tutup menyusul dikirim mapp lokasi kediaman yang nantinya kutuju.Hari masih pukul delapan, di depan rumahku suster membawa baby Ghaazi sarapan, bergabung dengan para tetangga komplek yang penampakannya hanya terlihat di hari minggu.Pada jam segini ada warga yang lalu lalang baru selesai berolah raga pagi, ada pula yang menemani anak bermain sepedaan, atau sekedar bersih-bersih pekarangan. Semua itu menggantikan suasana lenggang yang bTak kukira akan bertemu Restu di pelaksanaan tahlilan, sepupu Erland itu ternyata diundang langsung oleh CEO Destanto."Erlan tidak kau undang?" Tanya Restu."Dia tidak bisa datang, kesibukannya mulai padat menjalankan kembali bisnis milik Tyas." Sahutku sebagaimana kenyataannya. Erland tidak menjanjikan bisa hadir sewaktu kemarin kusampaikan bahwa bu Retno juga mengundang keluargaku ke acara ini. "Sepertinya aku masih sibuk menyelesaikan pekerjaan pada jam itu." Jawaban Erland kuartikan sebagai keengganannya untuk datang.Terlebih tahlilan almarhum Pak Amirudin dilaksanakan ba'da Ashar, sepertinya Erland memilih berkutat di kantornya daripada datang ke sini demi memantaskan hubungan baik semata.Rivana yang datang mewakili keluargaku, dan sekaligus mendampingi suaminya yang juga masuk di panitia kecil.Rangkaian acara pengajian Ayat Suci Alquran dan Dzikir Tahlilan berlangsung tepat waktu dan lancar karena Sholat Asha
Undangan Desta pada acara tahlilan empat puluh hari mendiang bapaknya, mempertemukanku lagi dengan Alia. Walaupun aku mengetahui kepindahannya ke Jakarta sudah hampir dua minggu, tak ada alasan tepat aku pergi menemui Alia. Terlebih ia disibukkan dengan profesi baru di Bthree Group milik teman baikku.Erlan tidak kau undang?" Tanyaku begitu kami bertemu sebelum acara tahlilan berlangsung"Dia tidak bisa datang, kesibukannya mulai padat menjalankan kembali bisnis milik Tyas." Alia tampak berusaha jujur, kedua bola matanya yang indah menghindar dari tatapan ingin tahuku."Aku permisi ke dalam, Res? Di dalam juga ada Rivana" ujarnya sebelum berlalu. "Rivana, putrinya om Rudi?" cegahku penasaran."Iya, suaminya Dipo juga bekerja di Bthree Group." Aku mengangguk paham dan membiarkan Alia berlalu. Nampaknya para wanita dan kerabat dekat keluarga Desta berkumpul di ruang keluarga rumah kediaman ini.Aku terpekur duduk di antara tamu undangan yang berdatangan. Wajah cantik Alia berkelebat.
Dengan bantuan om Rudi aku memperoleh jasa pengacara untuk mengurus perceraian. Tak memakan waktu lama untuk menyiapkan berkas, kuserahkan lebih lanjutnya pada pengacara untuk mengajukan sidang.Benar kata Restu, pihak keluarga besarku sudah sangat memahami sejak tujuh bulan lalu. Dukungan terutama dari Rivana, juga Kak Ciko yang memberiku semangat dan meyakinkan pasti ada hikmah di balik semua ini.Hari sabtu Erland datang dan kumanfaatkan momen itu untuk bicara dari hati ke hati."Aku minta maaf sekali lagi, Mas. Senin depan berkas perceraian kita sudah diajukan ke pengadilan agama." Kata-kata itu terucap pelan, tapi mampu merenggut denyut jantungku sendiri hingga serasa berhenti.Erland berpaling ke arahku, tatapan matanya berkilat terluka. Tanpa kuduga ia kemudian berjalan mendekat, lalu menarikku dalam pelukan yang kuat."Aku tahu kau tersiksa menjalani rumah tangga kita, Al. Kau berhak mengambil jalan ini untuk merasa lebih bahagia?"Ya, Allah. Kenapa hatiku sangat sakit menerim
"Pergi ke Riau dengan bos-CEO? Baguslah, anggap saja kamu sedang healing?" Lontar Rivana tersenyum menggoda. Pagi ini kami bertemu secara tak sengaja. Aku mengantar suster dan baby Ghaazi untuk menginap di tempat orangtua Rivana sampai lusa. Besok ayah dan bunda juga akan datang ke sini menemani cucu mereka."Aku terpaksa diminta ikut, Va. Investor asing perlu penterjemah waktu dialog dengan pihak pemerintah daerah." kilahku berdalih."Nikmati saja, Al. Kurasa Pak Destanto bukan cuma membutuhkanmu di lapangan, tapi dia bermaksud supaya kamu sedikit melupakan perkara perceraian itu." Pungkas Rivana."Ngaco kamu ah, kemarin saja aku ditegur. Disarankan ambil cuti gegara ketahuan melamun?" Sergahku meringis."Haa...itu namanya bos-CEO menaruh perhatian padamu. Peduli dengan yang kamu sedang hadapi, betul gak?!" Rivana mengedipkan sebelah mata. Aku tak menggubrisnya lagi. Bisa jadi apa yang dikatakan Rivana benar, tapi bisa pula keliru. Mana bisa kutebak dengan pasti apa saja dipikiran l
Sepulang dari mendampingi kunjungan lapangan, aku jatuh sakit. Keletihan perjalanan darat hari kedua yang menguras tenaga ditambah hari-hari sebelumnya mentalku cukup tertekan setelah mengajukan berkas cerai ke pengadilan agama.Dengan tubuh meriang, aku bahkan tidak bisa melepaskan rindu pada baby Ghaazi. Tante Fifi melarangku langsung menemui putraku, terlebih karena aku baru datang dari daerah. Beliau khawatir masih tersisa penularan virus penyebab pandemi selama dua tahun lalu."Kamu sakit, Al?" Erland yang sore ini mengira baby Ghaazi sudah kubawa pulang ke rumah Citraland, terkejut mendapatiku demam. Aku yang tadinya meringkuk di tempat tidur mau tak mau membuka pintu yang sudah kukunci. Wajah yang pucat dan tubuh berlapis sweater tebal, mendorongnya secara otomatis meletakkan punggung tangan di dahiku."Egha dimana?" Tanyanya menyadari rumah yang sepi."Tante Fifi melarangku singgah untuk membawanya pulang, Mas. Di bandara tadi ak
Aku harap-harap cemas, semoga penghulu yang ditugaskan menolak pernikahan ini. Hatiku berdebar-debar menunggu, sudah sepuluh menit sejak Penghulu diminta bicara empat mata oleh Om Rudi. Sebenarnya bukan empat mata, karena di ruang keluarga itu ada ayah-bundaku, Tante Fifi, istrinya Om Rudi, dan aku juga sempat melihat kakakku Ciko menyusul di panggil ke sana.“Alia….” Tante Fifi menghambur masuk mendekatiku, sedangkan di belakangnya Bunda menyusul dengan tatapan lekat memindai wajahku. Dan satu sosok di balik tubuh Bunda membuatku membuang muka.“Lia, Erland mau bicara berdua dengan Kamu dulu, sayang? Pernikahan akan dilanjutkan, bapak penghulu bersedia menikahkan secara siri, nanti administrasi disusulkan secepatnya.” Kata-kata Tante Fifi membuatku lemas, doaku tidak terkabul!Kamar pengantin yang dihias cantik begitu rupa terasa menyesakkan bagiku, terlebih sekarang lelaki muda itu duduk di hadapanku. Bunda, tante Fifi dan tiga orang tim MUA sudah mening
Tamu undangan resepsi sudah berangsur sepi, Aku gelisah merasa sesak oleh gaun pengantin warna off white yang membalut tubuh sepanjang lima jam ini.Kulirik Erland yang sedang berdiri, berbincang dengan kawannya. Lelaki itu tidak mengenakan stelan jas, melainkan set pakaian pengantin bergaya maroko dengan atasan model tunik beskap, lengkap dengan kalungan bunga melati.“Setelah dari sini, bisa nggak kita langsung ke rumah Citraland?” Aku meluncurkan pertanyaan yang membuat Erland mengerutkan kening. Lelaki itu kembali duduk di kursi pelaminan begitu kawannya pamit setelah sebelumnya meminta foto bersama kami.“Aku ingin cepat istirahat, dari sini langsung ke sana saja,” desakku lagi. Erland tak menjawab, tangannya melambai membalas salam pamit beberapa kerabat yang sudah melangkah menuju pintu keluar ballroom.“Setidaknya kita pamit dulu ke rumah Om Rudi, sekalian mengambil koper pakaianmu,”“Please….itu bisa minta antarkan sopir saja?” Aku memohon tak peduli bujukannya.Saat ini kein
“Alia…” Panggilan Erland terdengar bersama suara langkah mendekat. Harum aroma sabun mandinya langsung menyerbu indra pencumanku. Tetap saja kupejamkan mata sambil berbaring miring dan menahan selimut hingga ke leher.“Kamu pura-pura tidur? Bukannya kamu bilang sangat gerah dengan gaun itu, kenapa sekarang bergelung selimut hmh?”Astaga. Aku memang bodoh sekali. Memaksa Erland segera pulang ke rumah ini, tapi mandi pun bahkan tak bisa karena koper pakaianku masih belum tiba. Dan Kamar tidur tamu yang rencananya kujadikan privacy, atau tepatnya persembunyian itu pun malah kosong melompong.Sreeet! Selimut ditarik hingga melorot ke betisku. Sontak aku bangun duduk dengan mata melotot.“Er….?”“Mandi lah, kau bisa menggunakan jubah mandi ini."“Nanti saja,” Aku berpaling dengan jengkel, lelaki itu kini tersenyum dan duduk di tepi tempat tidur. Kulit wajahku terasa menghangat, matanya menyapu penampakanku yang tak karuan.Gelungan rambutku yang oleh MUA ditata cantik sudah kulepaskan tap