Langit mendung sore itu terasa seperti cermin muram dari amarah Jaiden yang sudah mendidih sejak menerima kabar keberadaan Juliete. Mobilnya berhenti mendadak di depan gerbang utama perkebunan Walter—atau lebih tepatnya, apa yang tersisa darinya. Asap tebal masih membumbung dari bangunan yang nyaris tinggal rangka. Api mungkin sudah padam, tapi panasnya masih terasa. Bau daging hangus dan besi terbakar menyergap tajam ke hidung Jaiden saat ia melangkah keluar dari mobil. “Astaga…” gumam Oliver yang menyusul di belakang. Luka tembak di bahunya belum pulih, namun ia memaksa ikut—tak rela hanya diam sementara nyonyanya belum ditemukan. Tak ada satu pun penjaga. Tak ada mayat, hanya abu dan puing. Semuanya hancur. “Henry?” tanya Jaiden dingin pada salah satu pasukannya yang mulai menyisir reruntuhan. “Tidak ditemukan, Tuan.“ Jaiden mengerutkan kening. Rahangnya mengeras. “Juliete?” “Tidak ada jejak. Tapi… ini, kami menemukan cincin pernikahan milik Nyonya Juliete. Dibuang
Henry mendekat perlahan. Nafasnya berat, penuh hasrat menjijikkan yang tak lagi disembunyikan. Ia berjongkok di depan Juliete yang masih terikat, lalu meraih wajahnya dengan kasar. “Sekarang… kita akan bersenang-senang, Nyonya Cavendish,” desisnya, menampar pipi Juliete tanpa ampun. Juliete menjerit pelan, darah meresap di sudut bibirnya. Tapi matanya masih menyala dengan kebencian. “Dasar pengecut,” gumamnya pelan. Henry tak suka ejekan itu. Ia meraih kerah baju Juliete, menariknya kasar, hingga sebagian tubuh Juliete terangkat dari lantai. Jari-jarinya mulai menjamah dengan paksa dan kini, ketakutan itu nyata menyergap Juliete. Dia berontak, tapi ikatan di tangan dan kaki membuatnya nyaris tak berdaya. “Lepaskan aku!” teriak Juliete, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ini bukan karena lemah, ini karena marah. Henry menamparnya sekali lagi. Dia mulai meraba tubuh Juliete, membuka paksa kancing kemeja wanita itu. Namun, bukan Juliete namanya jika tak melawan. Bersus
Samar-samar, Juliete mendengar suara—sayup, jauh, seperti gema dari lorong. Kelopak matanya terasa berat saat perlahan terbuka. Pandangannya kabur. Semuanya buram. Ia mengerang pelan, beringsut sedikit… dan menyadari dirinya terbaring di lantai dingin yang kasar. Bau amis menusuk hidung, lembab, seperti aroma besi karat dan darah. Juliete menoleh pelan, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Tempat ini… gelap, sempit, dan nyaris tanpa jendela. Seperti ruang bawah tanah—mirip dengan sel gelap di Blackvale yang pernah diceritakan Jaiden. Pelan-pelan, potongan ingatan mulai kembali. Tembakan. Jeritan. Todongan pistol di kepalanya. Dan Joane. Wanita itu. Juliete menggeretakkan giginya. Joane telah membohonginya sejak awal. Berpura-pura bersahabat, lalu menyeretnya ke dalam jebakan. Juliete masih ingat betul—saat di dalam mobil, Joane sendiri yang menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Setelah itu… gelap. Kini ia terbangun dalam entah tempat apa, dengan tangan dan kaki terikat. Sendiri.
Juliete turun dari mobil dengan langkah ragu, diikuti Oliver yang setia membayanginya dari belakang. Di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan berlampu temaram, Bar Diamon—persis seperti yang Joane katakan. Siang itu suasana tenang, namun Juliete bisa merasakan firasat yang tak menyenangkan. Ia menghela napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu melangkah perlahan menuju pintu masuk bar. Namun belum sempat kakinya benar-benar melewati ambang pintu— BRAK! Suara tembakan meletus tajam. Seketika suasana berubah menjadi neraka. Dari kejauhan, tiga mobil hitam meluncur berhenti mendadak di depan jalan. Pintu-pintunya terbuka nyaris bersamaan, dan belasan pria bersenjata keluar dengan kecepatan terlatih. Dor! Dor! Dor! Tembakan dilepaskan membabi buta ke arah Juliete. Oliver bergerak lebih cepat dari kilat. Tubuhnya melindungi Juliete tanpa ragu, membentangkan dirinya sebagai tameng hidup. “Awas, Nona!” serunya, seraya menarik Juliete ke belakang tiang beton di depan bar. A
Sudah ada belasan panggilan tak terjawab ketika Juliete melirik ponselnya. Ia baru saja selesai mandi, bathrobe putih masih menggantung longgar di tubuhnya, rambut basahnya menjuntai lembut di pundak. Tentu saja, ia bukan gadis polos yang tidak mengerti maksud tersembunyi di balik ajakan mandi bersama dari Jaiden tadi. Dan kini, akibatnya, ponselnya nyaris meledak oleh notifikasi yang menumpuk. Semua panggilan itu berasal dari satu nama—Joane. Juliete mengerutkan dahi. Bukankah hari ini Sabtu? Seharusnya ia bebas dari segala urusan pekerjaan, meski memang ada satu sengketa tanah yang belum rampung. Tapi jika Joane menelepon sebanyak ini, mungkin ada hal mendesak yang terjadi. Ia pun menekan tombol “panggil balik”. “Halo, Joane?” Suara di seberang terdengar serak. Napas tersendat, sesenggukan. Juliete segera menyadari, Joane sedang menangis. “Ada apa, Joane?” tanyanya cepat, nada suaranya berubah khawatir. “Itu… itu pasti ulah suamimu!” geram Joane di tengah isak tangisny
Rasanya Juliete baru saja memejamkan mata ketika suara gaduh dari luar membangunkannya. Malam tadi, ia baru tidur sekitar pukul dua pagi—salahkan saja Jaiden. Pria itu berkali-kali menariknya dalam pelukan panas, menyatukan tubuh mereka tanpa ampun. Seolah menyentuh Juliete sekali saja tak pernah cukup baginya. Dengan malas, Juliete terduduk di tempat tidur, mengucek matanya pelan. Cahaya matahari menyeruak masuk lewat celah tirai jendela, menyerang matanya yang masih sayu. Tapi, ah… inilah musik musim semi yang indah—seindah suasana hatinya pagi ini. Masih jelas dalam ingatan ketika semalam Jaiden akhirnya mengucapkan pengakuan cinta itu. Kupu-kupu di perut Juliete langsung berhamburan, melayang dan menggelitik hingga ke ujung nadi. Sialnya, ia menyukai perasaan itu. Masih mengenakan gaun tidur hitam yang tipis dan jatuh, Juliete melangkah keluar kamar. Begitu daun pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Jaiden berdiri di depan jendela besar di ruang tengah. Namun, ada yan