Mayat sang supir tergeletak di lantai beton ruang bawah tanah Blackvale Manor. Genangan darah merah gelap merembes, membentuk pola tak beraturan di bawah lampu redup yang menggantung di langit-langit batu tua. Bau besi, tembakau, dan amarah memenuhi ruangan sempit itu. Jaiden benci kesalahan sekecil apapun. Terlebih supir ini membuat Jaiden kehilangan calon pengantinnya. Jaiden duduk di kursi kayu yang sudah tak lagi pantas disebut kursi—bercak darah di kaki-kakinya membuktikan betapa sering benda itu jadi saksi luapan murka sang tuan rumah. Di tangan Jaiden, senjata api masih hangat. Di jari satunya, sebatang rokok perlahan terbakar di sela bibirnya. Hisapan pertama mengalirkan nikotin ke pembuluh darahnya yang mendidih. Di balik asap rokok tipis, langkah kaki menuruni tangga besi terdengar. Benjamin muncul di anak tangga paling atas—jas hitamnya masih rapi meski napasnya memburu sedikit. Anak tangga yang panjang seperti ular batu itu, menarik suara sepatu menggaung ke dinding.
Begitu Arthur menutup pintu kamar tamu, meninggalkan keheningan di belakangnya, Juliete langsung meraih ponselnya lagi. Tangannya gemetar, jemarinya bahkan terasa beku meski pemanas di kamar sudah menyala. Ia menarik napas panjang, menahan sesak di dadanya, lalu menekan nama yang paling dia percaya di daftar kontaknya. Olivia. Satu dering, dua dering—lalu sambungan terhubung. “Julie?” suara Olivia terdengar di seberang, hangat, seperti secercah cahaya kecil di tengah ribuan bayangan yang memburu Juliete. “Oliv… tolong dengarkan aku. Aku…aku kabur dari Blackvale. Dari Jaiden,” suara Juliete nyaris pecah di tengah deru napasnya. Ia bicara cepat, menahan tangis, menceritakan semuanya—tentang diary Margaret, rencananya kabur, bagaimana dia menipu supir Jaiden, hingga kini bersembunyi di mansion milik Arthur. Di seberang, Olivia terdiam cukup lama, hanya terdengar tarikan napas terputus-putus, tanda ia benar-benar tercengang. “Ya Tuhan, apa yang terjadi Julie…” Olivia bertanya he
Sepeninggal Jaiden, Juliete masih berdiri mematung beberapa detik, membiarkan ciuman dingin di keningnya memudar, berganti dengan panas di dadanya menjadi panas amarah, panik, dan setitik nyali gila yang mendesis pelan di otaknya. Dia harus pergi. Sekarang atau tak pernah. Tentang kontrak? Persetan. Tentang ancaman Jaiden? Biar saja. Kalau tetap di sini, cepat atau lambat dia benar-benar akan kehilangan semua akalnya. Dalam benaknya, Juliete merangkai rencana secepat napasnya yang masih memburu. Ia melirik ke arah Jenny yang sibuk merapikan catatan desain. Dengan senyum tipis, Juliete mendekat, memerhatikan coat hitam tebal yang terlipat rapi di sandaran sofa. “Jenny, boleh pinjam coat-mu? Coat-ku tadi kena tumpahan kopi,” katanya pelan, berusaha terdengar selembut mungkin. Matanya membulat sedikit, menambah dramatisasi kepura-puraannya. Jenny menatapnya, tapi Juliete sudah meraih lengan coat itu dengan gerakan cepat. Jenny tak mungkin menolak keinginan calon istri tuan Jaiden
Jaiden perlahan menurunkan resleting di punggung Juliete. Suara itu terdengar jelas di antara napas mereka yang terengah—membelah keheningan ruang VIP. Kain gaun bergeser, sebagian dadanya nyaris terbuka di depan pantulan cermin, hanya terhalang jemari Jaiden yang menelusur kulitnya. Tapi Juliete segera menahan tangan Jaiden, suaranya bergetar menahan malu dan panik. “Kita… kita tidak bisa melakukan ini di sini…” Geram pelan terdengar dari tenggorokan Jaiden. Dengan gerakan kesal tapi terkendali, dia menarik kembali resleting gaun Juliete hingga rapat, lalu merapikan kainnya—kecuali sorot matanya di cermin yang tak pernah benar-benar jinak. “Lalu di mana? Di rumah?” Jaiden mencondongkan kepalanya ke samping telinga Juliete, suaranya pelan. “Baik… tunggu aku malam ini kalau begitu…” gumamnya, disertai seringai yang memantul di kaca. Juliete mengatupkan bibirnya, berusaha mengusir panas di pipinya. Tapi kata-kata yang membeku di kepalanya akhirnya pecah juga. “Kau selalu mempe
Jaiden perlahan mengangkat tangannya, jemarinya bergerak menelusuri lengan Juliete. Sentuhan dingin itu merambat pelan ke kulitnya, merayap naik melewati bahu, lalu berhenti di punggung di balik kain tipis gaun. Di depan cermin, Juliete melihat segalanya—bagaimana mata Jaiden menatapnya, bagaimana tatapannya tak pernah sekadar menilai gaun, tapi juga menelanjangi segala lapisan pertahanan di dalam diri Juliete. “Ini terlalu sederhana,” gumam Jaiden pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan angin musim dingin di balik tengkuknya. Nafasnya menyentuh kulit Juliete, membuat bulu kuduknya meremang tanpa bisa ia kendalikan. “Untuk pengantinku yang cantik…rasanya kau pantas memakai yang lebih dari ini, hm? Kau setuju denganku, Baby?” Juliete menelan ludah, matanya tak berani benar-benar menatap pantulan Jaiden di cermin sebelum ia berhasil menjawab pelan. “Mmm… ya… jika kamu tidak suka, kita bisa coba model lain…” Senyum tipis terbit di sudut bibir Jaiden, cukup samar untuk me
Juliete duduk diam di jok belakang mobil mewah milik Jaiden. Hujan salju baru saja reda, meninggalkan sisa putih membungkus trotoar, atap, dan pepohonan di sepanjang jalan yang kini perlahan dibuka kembali untuk umum. Siang ini, Juliete harus melakukan fitting gaun pengantin mereka, gaun putih yang kelak akan memenjarakannya seumur hidup, entah sebagai istri, entah sebagai tawanan. Alice memberitahunya saat sarapan pagi tadi. Jaiden sudah menunggunya di butik. Maka sekarang, di bawah selimut kulit di kursi mobil, Juliete membiarkan pemandangan salju berkelebat di balik kaca jendela. Suara mesin mobil dan denting salju yang meleleh di kaca jadi satu-satunya teman perjalanannya. Pikirannya tak bisa diam. Bagian-bagian Diary Margaret berputar di kepalanya, kata per kata menampar persepsinya sendiri. Ia selalu tahu Jaiden monster—ia sudah melihat sendiri sisi gelap pria itu, merasakan dinginnya tatapannya. Tapi sekarang, monster itu berubah rupa. Di balik keganasan Jaiden, Juliete mel