Share

Chapter 49

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-07-02 20:59:08

Mayat sang supir tergeletak di lantai beton ruang bawah tanah Blackvale Manor. Genangan darah merah gelap merembes, membentuk pola tak beraturan di bawah lampu redup yang menggantung di langit-langit batu tua. Bau besi, tembakau, dan amarah memenuhi ruangan sempit itu. Jaiden benci kesalahan sekecil apapun. Terlebih supir ini membuat Jaiden kehilangan calon pengantinnya.

Jaiden duduk di kursi kayu yang sudah tak lagi pantas disebut kursi—bercak darah di kaki-kakinya membuktikan betapa sering benda itu jadi saksi luapan murka sang tuan rumah. Di tangan Jaiden, senjata api masih hangat. Di jari satunya, sebatang rokok perlahan terbakar di sela bibirnya. Hisapan pertama mengalirkan nikotin ke pembuluh darahnya yang mendidih.

Di balik asap rokok tipis, langkah kaki menuruni tangga besi terdengar. Benjamin muncul di anak tangga paling atas—jas hitamnya masih rapi meski napasnya memburu sedikit. Anak tangga yang panjang seperti ular batu itu, menarik suara sepatu menggaung ke dinding.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 95

    “Kau hanya anak muda yang terlalu sombong, kau pikir hanya kerja kerasmu yang membangun ini semua? Alih-alih kau merasa bangga, Cavendish sudah berdiri sejak abad ke 18, tanpa campur tanganmu pun, nama ini adalah sejarah kau tau…?” “Kalau memang seperti itu, aku akan dengan sukarela membuang nama belakangku ini… aku bahkan tak sudi memiliki darah dari seorang pria busuk sepertimu. Dan sejak awal aku hanya anak tangga untuk semua kepentinganmu kan!” Jaiden menggeram kini langkahnya mendekat ke arah sang kakek. Berdiri tepat di seberang meja kerjanya. Mereka kini berhadapan. Saling menatap dalam sejurus pandangan tajam. August tak bergeming. Wajah tuanya tetap keras, nyaris angkuh. Ia tak pernah takut pada siapapun—termasuk cucunya sendiri. “Kau hanya anak kecil yang mudah terbakar emosi. Tak tahan sedikit tekanan, lalu menyalahkan orang lain atas semua nasib burukmu.” Suaranya masih datar, tapi dalam. Jaiden tertawa kering, menyeringai seperti binatang terluka yang kehilangan

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 94

    Jaiden berdiri di hadapan Joane, tubuh wanita itu terikat kuat di kursi logam, rambutnya berantakan dan wajahnya penuh luka. Tidak sulit menangkap wanita ini—Joane sudah bersiap melarikan diri sejak kabar tentang hilangnya Juliete tersebar. Tapi bukan Jaiden Cavendish namanya jika ia tidak bisa menyeret siapa pun ke nerakanya sendiri. “Di mana kalian menyembunyikan Juliete?” desis Jaiden dingin, mencengkeram dagu Joane dengan keras, membuat wanita itu terpaksa mendongak menatapnya. Namun Joane malah menyeringai kecil, seolah tak takut pada ancaman kematian di depan matanya. “Oh… jadi kau kehilangan istrimu?” ejeknya pelan, penuh sindiran, membuat rahang Jaiden mengeras. PLAK! Tamparan keras mendarat telak di pipi Joane. Kepala wanita itu terlempar ke samping, darah merembes dari sudut bibirnya, tapi senyum itu belum hilang sepenuhnya. Para bodyguard di ruangan itu diam. Mereka tahu aturan: jika Jaiden marah, jangan ikut campur—bahkan Daniel pun tak bergerak. Daniel yang pe

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 93

    Langit mendung sore itu terasa seperti cermin muram dari amarah Jaiden yang sudah mendidih sejak menerima kabar keberadaan Juliete. Mobilnya berhenti mendadak di depan gerbang utama perkebunan Walter—atau lebih tepatnya, apa yang tersisa darinya. Asap tebal masih membumbung dari bangunan yang nyaris tinggal rangka. Api mungkin sudah padam, tapi panasnya masih terasa. Bau daging hangus dan besi terbakar menyergap tajam ke hidung Jaiden saat ia melangkah keluar dari mobil. “Astaga…” gumam Oliver yang menyusul di belakang. Luka tembak di bahunya belum pulih, namun ia memaksa ikut—tak rela hanya diam sementara nyonyanya belum ditemukan. Tak ada satu pun penjaga. Tak ada mayat, hanya abu dan puing. Semuanya hancur. “Henry?” tanya Jaiden dingin pada salah satu pasukannya yang mulai menyisir reruntuhan. “Tidak ditemukan, Tuan.“ Jaiden mengerutkan kening. Rahangnya mengeras. “Juliete?” “Tidak ada jejak. Tapi… ini, kami menemukan cincin pernikahan milik Nyonya Juliete. Dibuang

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 92

    Henry mendekat perlahan. Nafasnya berat, penuh hasrat menjijikkan yang tak lagi disembunyikan. Ia berjongkok di depan Juliete yang masih terikat, lalu meraih wajahnya dengan kasar. “Sekarang… kita akan bersenang-senang, Nyonya Cavendish,” desisnya, menampar pipi Juliete tanpa ampun. Juliete menjerit pelan, darah meresap di sudut bibirnya. Tapi matanya masih menyala dengan kebencian. “Dasar pengecut,” gumamnya pelan. Henry tak suka ejekan itu. Ia meraih kerah baju Juliete, menariknya kasar, hingga sebagian tubuh Juliete terangkat dari lantai. Jari-jarinya mulai menjamah dengan paksa dan kini, ketakutan itu nyata menyergap Juliete. Dia berontak, tapi ikatan di tangan dan kaki membuatnya nyaris tak berdaya. “Lepaskan aku!” teriak Juliete, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ini bukan karena lemah, ini karena marah. Henry menamparnya sekali lagi. Dia mulai meraba tubuh Juliete, membuka paksa kancing kemeja wanita itu. Namun, bukan Juliete namanya jika tak melawan. Bersus

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 91

    Samar-samar, Juliete mendengar suara—sayup, jauh, seperti gema dari lorong. Kelopak matanya terasa berat saat perlahan terbuka. Pandangannya kabur. Semuanya buram. Ia mengerang pelan, beringsut sedikit… dan menyadari dirinya terbaring di lantai dingin yang kasar. Bau amis menusuk hidung, lembab, seperti aroma besi karat dan darah. Juliete menoleh pelan, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Tempat ini… gelap, sempit, dan nyaris tanpa jendela. Seperti ruang bawah tanah—mirip dengan sel gelap di Blackvale yang pernah diceritakan Jaiden. Pelan-pelan, potongan ingatan mulai kembali. Tembakan. Jeritan. Todongan pistol di kepalanya. Dan Joane. Wanita itu. Juliete menggeretakkan giginya. Joane telah membohonginya sejak awal. Berpura-pura bersahabat, lalu menyeretnya ke dalam jebakan. Juliete masih ingat betul—saat di dalam mobil, Joane sendiri yang menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Setelah itu… gelap. Kini ia terbangun dalam entah tempat apa, dengan tangan dan kaki terikat. Sendiri.

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 90

    Juliete turun dari mobil dengan langkah ragu, diikuti Oliver yang setia membayanginya dari belakang. Di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan berlampu temaram, Bar Diamon—persis seperti yang Joane katakan. Siang itu suasana tenang, namun Juliete bisa merasakan firasat yang tak menyenangkan. Ia menghela napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu melangkah perlahan menuju pintu masuk bar. Namun belum sempat kakinya benar-benar melewati ambang pintu— BRAK! Suara tembakan meletus tajam. Seketika suasana berubah menjadi neraka. Dari kejauhan, tiga mobil hitam meluncur berhenti mendadak di depan jalan. Pintu-pintunya terbuka nyaris bersamaan, dan belasan pria bersenjata keluar dengan kecepatan terlatih. Dor! Dor! Dor! Tembakan dilepaskan membabi buta ke arah Juliete. Oliver bergerak lebih cepat dari kilat. Tubuhnya melindungi Juliete tanpa ragu, membentangkan dirinya sebagai tameng hidup. “Awas, Nona!” serunya, seraya menarik Juliete ke belakang tiang beton di depan bar. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status