Share

Chapter 50

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-07-03 10:46:01

Setelah puas menatap Arthur terkapar, darah menetes di pelipis, mulutnya komat-kamit meracau tak jelas. Nafas Juliete masih memburu, detak jantungnya memekakkan telinga. Dia berbalik tak ingin membuang waktu untuk melarikan diri. Juliete kemudian menarik pintu kamar dengan kasar, lalu berlari. Kaki telanjangnya beradu dengan lantai marmer lorong panjang.

Dia bahkan tak sudi menunggu lift. Tangga darurat di ujung lorong jadi satu-satunya pilihan. Juliete menuruni anak tangga dengan kaki gemetar, nyaris tergelincir di beberapa anak tangga licin. Satu tangan berlumur darah menempel di pagar besi, meninggalkan bekas merah.

Lantai dasar mansion akhirnya terhampar di hadapannya. Sepi dan terlalu sunyi untuk bangunan sebesar ini. Sejak tiba, Juliete sadar mansion ini bukan sekadar rumah. Ini perangkap. Arthur membawanya ke tempat di mana tak ada siapapun. Agar pria itu bisa dengan leluasa berbuat apapun padanya. Mansion sengaja di biarkan sepi, tanpa seorang pelayan pun. Tapi mungkin pri
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 90

    Juliete turun dari mobil dengan langkah ragu, diikuti Oliver yang setia membayanginya dari belakang. Di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan berlampu temaram, Bar Diamon—persis seperti yang Joane katakan. Siang itu suasana tenang, namun Juliete bisa merasakan firasat yang tak menyenangkan. Ia menghela napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu melangkah perlahan menuju pintu masuk bar. Namun belum sempat kakinya benar-benar melewati ambang pintu— BRAK! Suara tembakan meletus tajam. Seketika suasana berubah menjadi neraka. Dari kejauhan, tiga mobil hitam meluncur berhenti mendadak di depan jalan. Pintu-pintunya terbuka nyaris bersamaan, dan belasan pria bersenjata keluar dengan kecepatan terlatih. Dor! Dor! Dor! Tembakan dilepaskan membabi buta ke arah Juliete. Oliver bergerak lebih cepat dari kilat. Tubuhnya melindungi Juliete tanpa ragu, membentangkan dirinya sebagai tameng hidup. “Awas, Nona!” serunya, seraya menarik Juliete ke belakang tiang beton di depan bar. A

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 89

    Sudah ada belasan panggilan tak terjawab ketika Juliete melirik ponselnya. Ia baru saja selesai mandi, bathrobe putih masih menggantung longgar di tubuhnya, rambut basahnya menjuntai lembut di pundak. Tentu saja, ia bukan gadis polos yang tidak mengerti maksud tersembunyi di balik ajakan mandi bersama dari Jaiden tadi. Dan kini, akibatnya, ponselnya nyaris meledak oleh notifikasi yang menumpuk. Semua panggilan itu berasal dari satu nama—Joane. Juliete mengerutkan dahi. Bukankah hari ini Sabtu? Seharusnya ia bebas dari segala urusan pekerjaan, meski memang ada satu sengketa tanah yang belum rampung. Tapi jika Joane menelepon sebanyak ini, mungkin ada hal mendesak yang terjadi. Ia pun menekan tombol “panggil balik”. “Halo, Joane?” Suara di seberang terdengar serak. Napas tersendat, sesenggukan. Juliete segera menyadari, Joane sedang menangis. “Ada apa, Joane?” tanyanya cepat, nada suaranya berubah khawatir. “Itu… itu pasti ulah suamimu!” geram Joane di tengah isak tangisny

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 88

    Rasanya Juliete baru saja memejamkan mata ketika suara gaduh dari luar membangunkannya. Malam tadi, ia baru tidur sekitar pukul dua pagi—salahkan saja Jaiden. Pria itu berkali-kali menariknya dalam pelukan panas, menyatukan tubuh mereka tanpa ampun. Seolah menyentuh Juliete sekali saja tak pernah cukup baginya. Dengan malas, Juliete terduduk di tempat tidur, mengucek matanya pelan. Cahaya matahari menyeruak masuk lewat celah tirai jendela, menyerang matanya yang masih sayu. Tapi, ah… inilah musik musim semi yang indah—seindah suasana hatinya pagi ini. Masih jelas dalam ingatan ketika semalam Jaiden akhirnya mengucapkan pengakuan cinta itu. Kupu-kupu di perut Juliete langsung berhamburan, melayang dan menggelitik hingga ke ujung nadi. Sialnya, ia menyukai perasaan itu. Masih mengenakan gaun tidur hitam yang tipis dan jatuh, Juliete melangkah keluar kamar. Begitu daun pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Jaiden berdiri di depan jendela besar di ruang tengah. Namun, ada yan

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 87

    Tubuhnya masih menempel padaku ketika pistol itu jatuh, menghantam lantai dengan suara berat yang menandai satu hal—bahwa Juliete telah menyerah, atau mungkin… memutuskan untuk ikut tenggelam bersamaku. Aku menariknya lebih erat. Tanpa berkata sepatah kata pun, kuangkat tubuhnya dalam pelukanku. Dia memukul dadaku pelan, tapi tidak benar-benar berniat melawan. Tangan-tangannya mencengkram kerah kemejaku bagai menyimpan kebencian yang berubah menjadi ketergantungan brutal. Kami memasuki kamar dengan langkah besar. Pintunya tak sempat kututup sempurna, hanya terbanting setengah. Aku menjatuhkannya ke tempat tidur. Matanya masih terbuka, menantangku, tapi napasnya sudah tercekat. Aku berdiri di ujung ranjang, menatap tubuhnya yang terengah dengan bibir merah dan rambut acak-acakan. Kancing bajuku kulepas perlahan, satu per satu, sementara matanya mengikutiku… tak berkedip. “Masih ingin membunuhku, Mrs. Cavendish?” suaraku rendah, nyaris seperti geraman. Juliete menatapku dala

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 86

    “Bisakah aku mempercayai ucapanmu itu?” Juliete menyemburkan kalimatnya seperti racun. “Setahuku, kau selalu menganggap semua orang hanyalah pion. Siapa yang menjamin kalau aku bukan bagian dari permainanmu juga?” Tatapannya masih menyala. Belum ada sedikit pun tanda bahwa penjelasanku menyentuh hatinya. Dan itu menyulut api di dalam dadaku. “Sampai detik ini pun kau masih tak percaya padaku?” suaraku meninggi, tak bisa lagi kucegah. “Aku suamimu, Juliete! Aku melakukan semuanya untukmu! Apa kau buta melihat itu?!” Dia tidak mundur. Bahkan mendekat. “Bagaimana aku bisa mempercayai seorang iblis sepertimu, hah?” katanya tajam. “Mulai dari Isabella… dan entah siapa lagi!” Nama itu—Isabella—menusuk tepat di titik yang paling dalam. Kupikir masalah itu sudah selesai, tapi nyatanya tidak. Begitulah wanita, selalu mengingat satu kesalahan hingga seumur hidup. Nafasku langsung berubah. Dan sebelum aku bisa berpikir panjang, tanganku sudah mencengkeram lengannya. Kuat. Kasar. Tapi

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 85

    Juliete duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat sehelai pakaian dalam yang masih ia pegang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meskipun amarahnya masih mendidih di balik dada. Pikirannya berputar cepat. Ini bukan saatnya tenggelam dalam emosi. Dia harus bertindak—sekarang. Dengan sigap, ia mengambil ponselnya, memotret pakaian dalam itu tanpa ragu, lalu mengirimkannya pada Jaiden. Hanya satu kalimat menyertainya. “Apa ini juga bagian dari ‘meeting’-mu?” Tak sampai lima menit, ponselnya berdering. Nama Jaiden muncul di layar. Juliete mengangkatnya tanpa basa-basi. “Apa kau menuduhku, baby?” suara Jaiden terdengar tajam, sedikit lebih tinggi dari biasanya. Terdengar jelas ketidaksenangan dalam nada suaranya. Bukan karena pesan itu semata, tapi karena datang dari istrinya sendiri. “Aku hanya ingin tahu kebenaran. Di mana kau? Kita perlu bicara. Sekarang,” ujar Juliete dengan suara dingin dan tegas, tanpa memberi ruang untuk alasan. “Aku sedang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status