"Cih begini balasanmu sebagai adik? Kau adik durhaka!" teriak Maya
Maya meludah tepat di hidung adiknya yang masih ber make up cantik tersebut.
Agung tidak terima istri yang baru dinikahi beberapa menit yang lalu diperlakukan seperti itu. "Biad*b kau Maya!" ujarnya. seraya mendorong Maya hingga jatuh. Untung jatuh ke kasur, sehingga tidak sakit.
Agung meraih kotak tisu di meja. Dibersihkan wajah Sarah dengan tisu tersebut. Seakan dengan sengaja memamerkan kemesraan di hadapan Maya .
"Kamu tidak apa -apa Sayang? Sebaiknya kita keluar saja," ujarnya pada Sarah.
"Mbak memang sudah kesetanan. Kita keluar saja biar nggak ketularan gila," kata Sarah pada suaminya.
Belum sempat mereka keluar Sumirah masuk. Ia mendengar keributan yang terjadi di kamar itu. "Ada apa Maya? Baru datang sudah bikin keributan dengan adik sendiri. Apa ngga malu dilihat tamu?" tanya ibu.
"Seharusnya dia yang malu Bu. Masak pacar mbaknya sendiri diembat. Adik macam apa itu?" balas Maya balik bertanya .
Ibunya hanya menggeleng. "Ini ceritanya tidak sesepele itu Maya. Adikmu sudah mengandung benih Agung. Jadi mereka harus menikah. Mengertilah," jelas ibu.
"Apa? Benar -benar tidak bermoral kalian semua. Pergi sana dari kamarku. Najis!" usir Maya yang kalap. Beberapa barang dilemparkan dengan asal.
Tidak mau terjadi apa-apa, ibu mengajak sepasang pengantin untuk pergi meninggalkan kamar Maya. "Sudah kita keluar dulu. Mungkin Maya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu," ujar ibu berusaha mendinginkan suasana.
Sarah dan suaminya ikut mengekor saja. Sementara Maya menatap nanar ketiganya dan penuh amarah.
Tidak lama kemudian bulik Sarmi datang. Membawa air putih dan sepiring nasi. "Makanlah Maya, biar lebih tenang," ujar Bulik Sarmi
Maya menurut. Tapi ia hanya meminum air putih di gelas itu beberapa teguk saja. Nasi rawon di piring hanya dipandanginya sekilas. "Aku masih kenyang Bulik. Nanti saja makannya," kata Maya.
Ia termenung. Memandang luar jendela yang sudah cukup panas. Semilir angin hampir tidak berembus. Pepohonan juga tidak seberapa rindang di musim kemarau ini. Cuaca memang sepanas harinya.
"Bersabar ya Maya. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodohmu yang lebih baik," nasehat Bulik Sarmi.
Maya menangis tergugu. "Kalau misalnya ibu atau siapapun mengabari sejak awal, mungkin tidak sesakit ini Bulik. Dan aku tidak akan pulang. Agar tidak menyaksikan semua drama ini. Kontrakku akan diperpanjang," ucap Maya dengan berlinang air mata.
"Semua pasti ada hikmahnya. Pokoknya kamu yang sabar saja, Nduk," ujar bulik Sarmi.
Maya hanya mengangguk. Kadang kata-kata tidak semudah penerapannya. "Setidaknya ada yang masih mau peduli di rumah ini padaku," batinnya.
Selepas para tamu pulang rencananya, Maya ingin menemui ayahnya. Ia ingin mengetahui lebih pasti mengapa hal ini terjadi. Kok sampai Sarah mengandung anak Agung, yang dulu pacar Maya.
Masing ingat saat Maya akan berangkat bekerja sebagai TKI di Hongkong. Agung adalah orang pertama yang mendukungnya. Tapi kini?
"Mas, aku berangkat untuk masa depan kita. Mas sendiri juga belum punya pekerjaan yang tetap. Aku juga tidak bekerja. Kalau aku jadi TKI kita bisa mengumpulkan uang untuk bikin rumah atau buat usaha," ujar Maya waktu itu. Tiga tahun yang lalu.
Agung juga sangat setuju. Bahkan dia juga ingin mendaftar sebagai TKI namun tidak boleh sama ibunya karena dia anak tunggal. Ayahnya sudah meninggal. Sehingga ibunya hanya sendirian.
"Tapi jangan lama-lama ya Sayang. Aku ingin kita segera menikah," ujar Agung waktu itu.
Lalu Agung sendiri melamar di beberapa perusahaan. Ia diterima sebagai karyawan di bagian produksi karena hanya berijazah SMA.
"Bulik keluar dulu ya Maya. Kamu sebaiknya beristirahat saja. Kamu pasti capek setelah perjalanan jauh," ucap bulik Sarmi mengagetkan Maya dari lamunannya
Maya hanya mengangguk. Merebahkan diri di kasur. Memandang langit-langit kamar yang sudah mulai rapuh. Beberapa bagian tampak menghitam. Mungkin bekas air hujan yang bocor. Mencoba memejamkan mata, namun beragam kejadian barusan yang dialaminya membuat matanya enggan untuk terpejam.
Ia akhirnya memilih keluar kamar. Ingin berbicara empat mata dengan ayahnya. Dari anggota keluarga intinya, hanya ayahnya yang belum diketahui sikapnya.
Maya menoleh sejenak ke beberapa arah Mencari di mana sosok ayahnya berada. Ternyata, sedang duduk sendiri di terop. Para tamu sudah pulang. Untuk acara resepsi masih nanti malam. Sehingga siang ini masih ada jeda untuk beristirahat.
"Ayah," ujar Maya seraya mencium tangan ayahnya.
"Kapan pulang?" tanya ayah Sutrisno.
"Barusan tadi pagi," ujar Maya.
"Kamu tidak usah mempermasalahkan pernikahan adikmu lagi ya," ujar Sutrisno.
"Kenapa Yah?" tanya Maya kaget.
"Itu sudah jodohnya," jawab ayah singkat. Sambil mengusap rokoknya dalam-dalam.
"Tapi kan aku yang sejak dulu pacaran dengan mas Agung, Ayah," protesku.
"Sudah jangan banyak protes kamu," tukas ayah.
Maya langsung menangis. Sosok yang diharapkan bisa berempati padanya ternyata zonk. Lalu kepada siapa ia akan mengadu. "Kenapa semua keluargaku sudah tidak peduli denganku? Mereka hanya mau uang yang aku kirim tiap bulan!" teriak Maya sambil menangis.
"Trus aku disuruh membatalkan pernikahan adikmu begitu?" bentak ayah.
"Bukan. Aku juga sudah tidak sudi menerima Agung sebagai pacarku. Aku hanya ingin tahu bagaimana ini terjadi. Mengapa? Mengapa Ayah?" sanggah Maya.
"Karena kamu bukan anakku!" tegas Sutrisno sambil berdiri.
"Apa?" tanya Maya tidak percaya.
"Lalu aku anak siapa? Bukankah dulu ayah yang memandikan aku? Menyuapi aku makan? Mengantarku ke sekolah. Mengajakku bermain di lapangan? Kalau bukan ayahku, lalu apa namanya?" tanya Maya sambil menangis lagi. Lebih keras dari sebelumnya.
Berkelebat dalam mengingat masa kecilnya yang indah. Saat dia masih satu-satunya anak di keluarga ini. Semua perhatian keluarga memperhatikannya. Ia mengibarat porsi yang tidak semua orang boleh menyentuhnya. Semua orang menjaga dengan sangat hati-hati agar dia tidak terjatuh. Masa-masa terindah dalam hidupnya.
Mendengar janji ayah dan anak, ibu datang. "Ada apa ini kok Maya masih menangis?" tanya Sumirah.
Ayahnya tidak bergeming. Masih merokok asap rokoknya dalam-dalam. Lalu membawanya ke udara. “Maya anak siapa Bu? Kata ayah, Maya bukan anak ayah?” tanya Maya pada ibunya.
Sumirah sempat memikirkannya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena ini memang faktanya. Memang dia yang mengandung Maya, tapi bukan dari benih Sutrisno. Tapi dengan laki-laki lain yang sudah mempertahankan dirinya.
"Suruh ibumu jawab!" bentak Sutrisno.
"Ibu tolong jawab pertanyaanku," pinta Maya sambil berlutut di kaki ibunya.
"Kamu anak Ibu Nak," jawab Sumirah dengan bibir bergetar.
“Namun dengan laki-laki lain,” sahut Sutrisno sambil meradang.
“Betulkah itu Bu?” tanya Maya.
Sumirah hanya mengangguk. Tidak ada kata pun yang keluar dari mulut.
"Kau sudah tahu kan Maya kalau aku bukan ayahmu? Jadi mulai saat ini kamu tidak usah memanggil ayah lagi," kata Sutrisno yang membuat Maya semakin lunglai.
"Lalu aku harus memanggil siapa?" katanya.
"Terserah! Dan ingat melihatmu mengingatkan aku pada orang yang sudah meniduri ibumu. Tolong enyahlah dari rumah ini," ujar Sutrisno dengan tubuh bergetar menahan emosi.
***
Jonathan kecil tampak begitu bahagia. Dia membalas pelukan papanya dengan erat. "Horee, Papa sudah datang." Teriaknya histeris.Berputar putar mengelilingi toko yang mulai sepi karena hendak tutup. Sedangkan Jonathan besar tanpa menunda langsung memeluk kekasih hatinya itu. Segala rindu dia tumpahkan malam itu Sedangkan Maya awalnya sedikit malu malu dan khawatir dengan status Jonathan. Karena terakhir kali dia mendengar informasi dari satpam bahwa Jonathan sedang dalam persiapan menikah dengan gadis Eropa. "Mas, sudah. Tidak enak dilihat anak-anak. Lagian nanti ada yang cemburu lho," ujar Maya seraya mengurai pelukan Jonathan besar."Siapa yang cemburu? Apakah kamu sudah memiliki pacar?" tanya Jonathan sedikit ragu. Kalau suami, dari informasi yang dia dapatkan, Maya tidak sedang menikah dengan siapapun. Namun bisa jadi dia sedang menjalin hubungan dengan laki-laki lain untuk me jadi ayah tiri buat Jonathan yunior. Hal ini yang tidak dia pikirkan selama ini. Jonathan hanya berpik
"Tolong dikirimi list foto-fotonya ya," jawab Jonathan.Tidak beberapa lama kemudian belasan foto contoh buket bunga dikirim ke nomor Jonathan. Jonathan sendiri bingung mana yang harus dia pilih. Karena menurutnya semua bagus."Apakah semua bunga ini dirangkai sendiri oleh pemilik toko?" tanya Jonathan."Dulu begitu، namun sejak ada pegawai ibu sudah jarang ikut merangkai sendiri. Hanya bantu kalau toko ramai saja," jawab nomor tersebut."Boleh tahu nama pemilik tokonya siapa ya?" tanya Jonathan."Ibu Maya."Deg. Namun Jonathan sendiri tidak tahu nama panjang kekasihnya itu, jadi percuma juga dia menanyakan nama panjang Maya. Malah membuat penyidikannya diketahui saja."Oh ya ya, pernah sekali saya ke toko antar mama pesan bunga. Itu Bu Maya yang sudah memiliki anak laki-laki kecil itu ya?" tanya Jonathan."Anda benar sekali," jawab admin toko."Lucu dan ganteng. Sampai saya pingin mencubit pipinya," kata Jonathan."Banyak customer toko kami yang bilang begitu. Semua gemes gemes sama
Lima tahun kemudian...."Mama, mama belikan es krim itu dong," teriak seorang anak kecil berusia sekitar empat tahun di taman balau kota. "Di rumah kan sudah banyak es krim, mengapa harus beli lagi?" tanya seorang perempuan berusia sekitar 27 tahun yang merupakan ibu dari anak itu Tidak jauh dari ibu dan anak tersebut, seorang laki-laki mengamati dengan takjub. Disampingnya ada perempuan paro baya, yang merupakan ibu dari laki-laki dewasa itu."Mama kok merasa wajah anak kecil itu sangat familier ya. Tapi siapa?" tanya perempuan paro baya yang rambutnya hampir separuhnya beruban.Laki-laki dewasa disampingnya menoleh. Memandang ke arah yang ditunjuk sang mama. Deg.Dia sangat hapal dengan wajah perempuan yang menjadi mama dari bocil imut itu. "Bukankah, bukanlah itu...""Siapa Jo? Kamu mengenalnya?" tanya sang mama."Oh maaf bukan Ma, justru Jo melihat anak kecil itu mirip dengan fotoku saat kecil," ujar laki-laki dewasa yang ternyata adalah Jonathan."Hmm masak sih. Iya juga ya.
Sementara itu di Jerman, Jonathan uring-uringan. Dia mulai merasakan bahwa papanya sengaja mengirimnya ke Jerman untuk dijodohkan dengan Caroline. Bahkan Caroline sendiri tampak aktif untuk mendekati Jonathan."Ma, maksud papa ini apa sengaja menjebak saya untuk dijodohkan dengan Caroline. Jo tidak mau Ma. Jo sudah punya pacar," kata Jonathan saat menelepon mamanya. "Jo, dengarkan dulu. Tidak ada ceritanya orang tua yang ingin menjebak anaknya. Semua orang tua itu ingin memulihkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk untukmu. Apalagi kamu anak tunggal," jawab mamanya di tanah air."Ingat Ma, kalau untuk urusan kerja,oke. Tapi kalau untuk perjodohan,no way" tegas Jonathan sambil menutup panggilan telepon.Nyonya Mulia sedang sarapan pagi dengan suaminya saat Jonathan telepon. "Ada apa dengan Jonathan, Ma?" tanya Tuan Mulia."Biasa curhat," jawab Nyonya Mulia. Dia tidak ingin Jonathan akan terlalu dipaksa dalam perjodohan yang memang sudah mereka rencanakan ini.Memang Nyonya Mulia jug
Maya menyeret kopernya keluar unitnya. Dia membuka pintu dan mengunci dari luar. Sesaat dia memandang dari luar, menitikkan air mata. Tempat yang membuat dirinya sempat melambung, namun kini terhempas ke dasar lembah yang paling dalam."Selamat tinggal," bisiknya lirih.Surat pengunduran diri dan surat untuk Adel sudah dia letakkan di atas meja makan. Agar Adel dengan mudah menemukan. Setelah mengunci apartemennya, dia menuju lift dan turun ke loby. Dia menuju ke resepsionis untuk menitipkan kartu masuk unitnya di sana. Sebab, apartemen tersebut adalah fasilitas perusahaannya. Sehingga pastinya cepat atau lambat akan diminta kembali perusahaan, seiring dengan kepergian dirinya. Dengan pengunduran dirinya."Mbak nitip kartu akses ya. Mungkin nanti akan ada temanku yang mengambilnya," kata Maya.Setelah itu dia memesan taksi online yang akan membawanya ke stasiun terdekat. Maya sudah memiliki kota tujuan yang ingin dia datangi. Yakni Kota Baru Malang. Di sana merupakan kota wisata. Ud
Mobil taksi online segera meninggalkan rumah tersebut. Maya memandang sekilas rumah yang dulu pernah dia tinggali sebulan. Berharap bisa melihat Jonathan di sana. "Sekuriti tersebut tidak berbohong, pasti saat ini Jonathan sedang berbahagia menyambut hari pernikahannya bersama gadis bule," batin Maya. Dadanya terasa sesak mengingat itu. Sampai taksi yang dia tumpangi sampai di bundaran air mancur di tengah tengah perumahan itu. Posisi taman air mancur tersebut memang di tengah tengah perumahan, sehingga siapapun yang masuk ke perumahanku itu akan melewatinya. Demikian juga saat keluar nanti."Pak, boleh berhenti beberapa menit di sini,"ujar Maya masih dengan suara habis menangis.Tanpa menjawab sopir taksi tersebut menepi dan mobil benar-benar berhenti. Maya tidak keluar, tapi hanya memandang air mancur tersebut dari mobil. Kaca jendelanya dia buka. Sehingga dia bisa menghirup udara segar dibawah rerimbunan pohon yang tumbuh sepanjang jalan. Pohon trembesi. Yang terkenal mampu mengi
Maya memejamkan mata. Namun pikirannya justru melayang kemana-mana. Bahkan dia tidak mandi atau mengganti pakaian kerjanya untuk beberapa saat."Akh, mungkin berendam di air hangat membuat pikiranku lebih fresh," ujar Mata sambil melangkah ke kamar mandi.Benar saja, dia berendam di sana. Dalam waktu yang cukup lama. Bahkan hampir satu jam. Bahkan Adel yang mencari Maya untuk diajak makan malam sempat khawatir sahabatnya itu pingsan di kamar mandi."Maya, kamu di kamar mandi kah?" tanya Adel.Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Barulah panggilan ketiga Maya baru menyahut."Iya, aku di dalam," jawab Maya."Syukurlah. Khawatirnya kamu pingsan lagi."Tidak lama kemudian, Maya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih bugar. "Aku sudah pesan makanan untuk kita berdua," kata Adel."Kamu memang sahabat terbaik.""Aku pesan nasi goreng. Semoga kamu suka," kata Adel lagi."Pasti suka. Kita belum sempat makan sejak siang tadi," kata Maya."Iya, aku sendiri tidak tega meninggalkanmu m
Tidak lama setelah itu, mobil perusahaan disiapkan untuk membawa Maya ke rumah sakit. Bagaimanapun juga kejadian ini terjadi di kantor saat Maya bekerja. Sehingga dihitung sebagai kecelakaan kerja. Adel ikut mengantar Maya ke rumah sakit. Setelah ditangani di UGD lalu dibawa ke ruang perawatan. Di sana Maya baru siuman. Adel ingat saat suster meninggalkan ruangan terserah sempat berpesan, apabila pasien sadar untuk segera menghubungi perawat dengan menekan tombol yang tidak jauh dari tempat tidur Maya. Adel menekan tombol itu.Tidak beberapa lama seorang perawat datang. "Ada yang bisa dibantu?" tanya perempuan berbaju dan rok sebatas lutut berwarna putih itu dengan rambut diikat rapi ke belakang. Di atas rambutnya ada topi kecil. Tampak rapi."Pasien bangun Suster," kata Adel."Syukurlah. Habis ini akan ada dokter jaga yang melakukan visite ke mari. Anda bisa bertanya seputar masalah sakitnya pasien," ujar Suster tersebut kepada Adel."Apa saya tidak boleh bertanya sesuatu Suster?"
Pagi itu Maya bangun dengan malas. Dia merasakan tubuhnya kurang enak badan. Malas beraktivitas dan dada serta perutnya terasa penuh."Apa yang salah denganku?" batinnya.Namun, dia berusaha beranjak bangun dan menuju ke kamar mandi. Menyalakan shower air hangat untuk mandi. Agar tubuhnya bisa kembali bersemangat untuk menjalani aktivitas hari ini.Baru saja dia melepas pakaiannya untuk mandi, perutnya terasa mual. Huek huek huek.Dia menuju wastafel dan menumpahkan isi perutnya di sana. Namun karena belum makan apapun tidak ada yang keluar dari mulut Maya, selain air yang agak berwarna kuning. "Sepertinya aku masuk angin. Maklum cuaca begitu dingin di luar di bulan Juli ini," kata Maya.Usai mandi dan berganti baju, Maya berencana ke dapur. Seperti biasa, dia ingin menyiapkan sarapan pagi. Sebelum itu dia ingin membuat minuman jahe panas agar tubuhnya sedikit hangat. Baru saja dia memanaskan air dan menuang serbuk jahe instan di gelas, perutnya kembali mual. Dia kembali ingin memun