Share

Bab 2

"Cih begini balasanmu sebagai adik? Kau adik durhaka!" teriak Maya 

Maya meludah tepat di hidung adiknya yang masih ber make up cantik tersebut.

Agung tidak terima istri yang baru dinikahi beberapa menit yang lalu diperlakukan seperti itu. "Biad*b kau Maya!" ujarnya. seraya mendorong Maya hingga jatuh. Untung jatuh ke kasur, sehingga tidak sakit.

Agung meraih kotak tisu di meja. Dibersihkan wajah Sarah dengan tisu tersebut. Seakan dengan sengaja memamerkan kemesraan di hadapan Maya .

"Kamu tidak apa -apa Sayang? Sebaiknya kita keluar saja," ujarnya pada Sarah.

"Mbak memang sudah kesetanan. Kita keluar saja biar nggak ketularan gila," kata Sarah pada suaminya.

Belum sempat mereka keluar Sumirah masuk. Ia mendengar keributan yang terjadi di kamar itu. "Ada apa Maya? Baru datang sudah bikin keributan dengan adik sendiri. Apa ngga malu dilihat tamu?" tanya ibu.

"Seharusnya dia yang malu Bu. Masak pacar mbaknya sendiri diembat. Adik macam apa itu?" balas Maya balik bertanya .

Ibunya hanya menggeleng. "Ini ceritanya tidak sesepele itu Maya. Adikmu sudah mengandung benih Agung. Jadi mereka harus menikah. Mengertilah," jelas ibu. 

"Apa? Benar -benar tidak bermoral kalian semua. Pergi sana dari kamarku. Najis!" usir Maya yang kalap. Beberapa barang dilemparkan dengan asal.

Tidak mau terjadi apa-apa, ibu mengajak sepasang pengantin untuk pergi meninggalkan kamar Maya. "Sudah kita keluar dulu. Mungkin Maya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu," ujar ibu berusaha mendinginkan suasana.

Sarah dan suaminya ikut mengekor saja. Sementara Maya menatap nanar ketiganya dan penuh amarah.

Tidak lama kemudian bulik Sarmi datang. Membawa air putih dan sepiring nasi. "Makanlah Maya, biar lebih tenang," ujar Bulik Sarmi 

Maya menurut. Tapi ia hanya meminum air putih di gelas itu beberapa teguk saja. Nasi rawon di piring hanya dipandanginya sekilas. "Aku masih kenyang Bulik. Nanti saja makannya," kata Maya.

Ia termenung. Memandang luar jendela yang sudah cukup panas. Semilir angin hampir tidak berembus. Pepohonan juga tidak seberapa rindang di musim kemarau ini. Cuaca memang sepanas harinya.

"Bersabar ya Maya. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodohmu yang lebih baik," nasehat Bulik Sarmi.

Maya menangis tergugu. "Kalau misalnya ibu atau siapapun mengabari sejak awal, mungkin tidak sesakit ini Bulik. Dan aku tidak akan pulang. Agar tidak menyaksikan semua drama ini. Kontrakku akan diperpanjang," ucap Maya dengan berlinang air mata.

"Semua pasti ada hikmahnya. Pokoknya kamu yang sabar saja, Nduk," ujar bulik Sarmi.

Maya hanya mengangguk. Kadang kata-kata tidak semudah penerapannya. "Setidaknya ada yang masih mau peduli di rumah ini padaku," batinnya.

Selepas para tamu pulang rencananya, Maya ingin menemui ayahnya. Ia ingin mengetahui lebih pasti mengapa hal ini terjadi. Kok sampai Sarah mengandung anak Agung, yang dulu pacar Maya.

Masing ingat saat Maya akan berangkat bekerja sebagai TKI di Hongkong. Agung adalah orang pertama yang mendukungnya. Tapi kini?

"Mas, aku berangkat untuk masa depan kita. Mas sendiri juga belum punya pekerjaan yang tetap. Aku juga tidak bekerja. Kalau aku jadi TKI kita bisa mengumpulkan uang untuk bikin rumah atau buat usaha," ujar Maya waktu itu. Tiga tahun yang lalu.

Agung juga sangat setuju. Bahkan dia juga ingin mendaftar sebagai TKI namun tidak boleh sama ibunya karena dia anak tunggal. Ayahnya sudah meninggal. Sehingga ibunya hanya sendirian. 

"Tapi jangan lama-lama ya Sayang. Aku ingin kita segera menikah," ujar Agung waktu itu.

Lalu Agung sendiri melamar di beberapa perusahaan. Ia diterima sebagai karyawan di bagian produksi karena hanya berijazah SMA. 

"Bulik keluar dulu ya Maya. Kamu sebaiknya beristirahat saja. Kamu pasti capek setelah perjalanan jauh," ucap bulik Sarmi mengagetkan Maya dari lamunannya 

Maya hanya mengangguk. Merebahkan diri di kasur. Memandang langit-langit kamar yang sudah mulai rapuh. Beberapa bagian tampak menghitam. Mungkin bekas air hujan yang bocor. Mencoba memejamkan mata, namun beragam kejadian barusan yang dialaminya membuat  matanya enggan untuk terpejam. 

Ia akhirnya memilih keluar kamar. Ingin berbicara empat mata dengan ayahnya. Dari anggota keluarga intinya, hanya ayahnya yang belum diketahui sikapnya.

Maya menoleh sejenak ke beberapa arah  Mencari di mana sosok ayahnya berada. Ternyata, sedang duduk sendiri di terop. Para tamu sudah pulang. Untuk acara resepsi masih nanti malam. Sehingga siang ini masih ada jeda untuk beristirahat.

"Ayah," ujar Maya seraya mencium tangan ayahnya. 

"Kapan pulang?" tanya ayah Sutrisno. 

"Barusan tadi pagi," ujar Maya.

"Kamu tidak usah mempermasalahkan pernikahan adikmu lagi ya," ujar Sutrisno.

"Kenapa Yah?" tanya Maya kaget.

"Itu sudah jodohnya," jawab ayah singkat. Sambil mengusap rokoknya dalam-dalam.

"Tapi kan aku yang sejak dulu pacaran dengan mas Agung, Ayah," protesku.

"Sudah jangan banyak protes kamu," tukas ayah.

Maya langsung menangis. Sosok yang diharapkan bisa berempati padanya ternyata zonk. Lalu kepada siapa ia akan mengadu. "Kenapa semua keluargaku sudah tidak peduli denganku? Mereka hanya mau uang yang aku kirim tiap bulan!" teriak Maya sambil menangis. 

"Trus aku disuruh membatalkan pernikahan adikmu begitu?" bentak ayah.

"Bukan. Aku juga sudah tidak sudi menerima Agung sebagai pacarku. Aku hanya ingin tahu bagaimana ini terjadi. Mengapa? Mengapa Ayah?" sanggah Maya.

"Karena kamu bukan anakku!" tegas Sutrisno sambil berdiri.

"Apa?" tanya Maya tidak percaya. 

"Lalu aku anak siapa? Bukankah dulu ayah yang memandikan aku? Menyuapi aku makan? Mengantarku ke sekolah. Mengajakku bermain di lapangan? Kalau bukan ayahku, lalu apa namanya?" tanya Maya sambil menangis lagi. Lebih keras dari sebelumnya.

Berkelebat dalam mengingat masa kecilnya yang indah. Saat dia masih satu-satunya anak di keluarga ini. Semua perhatian keluarga memperhatikannya. Ia mengibarat porsi yang tidak semua orang boleh menyentuhnya. Semua orang menjaga dengan sangat hati-hati agar dia tidak terjatuh. Masa-masa terindah dalam hidupnya.

Mendengar janji ayah dan anak, ibu datang. "Ada apa ini kok Maya masih menangis?" tanya Sumirah. 

Ayahnya tidak bergeming. Masih merokok asap rokoknya dalam-dalam. Lalu membawanya ke udara. “Maya anak siapa Bu? Kata ayah, Maya bukan anak ayah?” tanya Maya pada ibunya.

Sumirah sempat memikirkannya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena ini memang faktanya. Memang dia yang mengandung Maya, tapi bukan dari benih Sutrisno. Tapi dengan laki-laki lain yang sudah mempertahankan dirinya. 

"Suruh ibumu jawab!" bentak Sutrisno.

"Ibu tolong jawab pertanyaanku," pinta Maya sambil berlutut di kaki ibunya.

"Kamu anak Ibu Nak," jawab Sumirah dengan bibir bergetar.

“Namun dengan laki-laki lain,” sahut Sutrisno sambil meradang.

“Betulkah itu Bu?” tanya Maya.

Sumirah hanya mengangguk. Tidak ada kata pun yang keluar dari mulut. 

"Kau sudah tahu kan Maya kalau aku bukan ayahmu? Jadi mulai saat ini kamu tidak usah memanggil ayah lagi," kata Sutrisno yang membuat Maya semakin lunglai.

"Lalu aku harus memanggil siapa?" katanya.

"Terserah! Dan ingat melihatmu mengingatkan aku pada orang yang sudah meniduri ibumu. Tolong enyahlah dari rumah ini," ujar Sutrisno dengan tubuh bergetar menahan emosi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status