Share

Bab 3

Maya menatap ibunya untuk mencari jawaban sekaligus perlindungan. Namun, yang ditatap malah melengos ke arah lain. Tampak tetes air mata ibunya menggenang di pipi. 

Melihat drama itu, Maya tidak punya pilihan lain. Ia berlari ke kamarnya. Membereskan beberapa barang yang sudah sempat ia keluarkan dari koper. Dia masukkan ke koper kecilnya. Sedangkan koper besar akan dia tinggal. Karena hampir semuanya berisi oleh-oleh. Dan rasanya akan sulit bergerak kalau dia pergi dengan membawa koper sebesar itu.

Selang beberapa waktu dia memesan aplikasi ojek online yang akan mengantarnya ke terminal. Dia masih belum tahu ke mana tujuannya saat ini. 

Tidak lama, tukang ojek online yang dipesannya sudah tiba. Maya menyeret kopernya keluar. Tidak lupa ia menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di teras. Ia mencium tangan ibunya tanpa berkata-kata. Ibunya juga tidak berkata sepatahpun. Kemudian memeluknya sesaat. Tidak berusaha untuk mencegahnya. 

"Mari Pak kita berangkat," ujar Maya seraya naik di ojek online. Koper kecilnya ia pangku di depan. 

"Tujuan sesuai aplikasi ya Mbak?" tanya bapak ojek 

"Iya Pak," jawab Maya.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang saling bicara. Maya masih belum bisa menerima kejadian bertubi yang menimpanya. Kenyataan pacarnya menikahi adiknya sendiri karena hamil. Kenyataan keluarganya tidak ada yang peduli. Kenyataan dia bukan anak kandung ayahnya. Dan yang tragis kenyataan bahwa dia diusir dari rumah yang dibangun dengan uang yang dikirimkannya setiap bulan, selama tiga tahun.

"Kita sudah sampai Mbak," ujar tukang ojek tersebut.

"Makasih ya Pak sudah diantar," ujar Maya.

Sesampainya di dalam terminal, Maya memilih bus yang akan membawanya ke ibukota.

Selama perjalanan Maya mulai merancang hidupnya ke depan. Rencana ia akan mencari kost pinggir kota yang murah. Setelah itu dia akan melamar untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan berbekal ijazah SMA dia bisa bekerja di pabrik, kantor atau setidaknya di rumah makan atau penjaga toko. 

Selama belum mendapatkan pekerjaan dia akan menggunakan tabungannya untuk membiayai hidup. 

Atau kalau rencana pertama belum membuahkan hasil Maya menyiapkan rencana kedua. Yaitu, dia akan berjualan atau membuka usaha sendiri dengan modal yang ada. Namun untuk usaha apa, Maya belum memiliki ide. Ia akan melihat peluang dulu.

Nah, masih ada rencana ketiga. Yakni ia akan kembali lagi ke Hongkong sebagai TKI. Dia akan melupakan Indonesia dan keluarganya.

"Turun mana Mbak?" tanya seorang perempuan paruh baya yang duduk di sampingnya. 

"Ibukota Bu," jawab Maya sopan.

"Sama dong," ujar ibu tersebut yang bernama bu Anggi.

Namun karena rasa kantuk yang berlebih, ia pamit bu Anggi untuk tidur. Karena perjalanan masih panjang. Sekitar delapan jam lagi. "Maaf ya Bu, saya mengantuk sekali. Saya tidur dulu ya," ujarnya.

"Ya Nak, beristirahat saja," jawab bu Anggi.

Tidak beberapa lama Maya terlelap dalam tidurnya. 

Lewat tengah malam bus yang mereka tumpangi sampai di terminal. Para penumpang turun dengan antri.  Bu Anggi ternyata dijemput oleh anak mantunya dengan mobil yang bagus.

"Ayo nak Maya, bareng saya saja. Kita searah kok," ujarnya menawari Maya 

"Terima kasih Bu. Tapi saya sedang menunggu jemputan kakak saya yang sudah menuju kemari," jawab Maya berbohong. Iya tidak ingin merepotkan orang lain.

"Oh ya sudah kalau begitu. Saya berangkat dulu," ujar bu Anggi sambil melambaikan tangan.

Maya membalas dengan lambaian tangan juga. Kemudian ia mencari tempat duduk di ruang tunggu seperti penumpang yang lain.

Hampir satu jam Maya duduk di situ. Para penumpang sudah dijemput oleh keluarga masing-masing. Sedangkan dia masih belum tahu harus ke mana. 

"Kenapa aku tidak cari penginapan yang murmer dulu barang semalam. Biar bisa istirahat. Baru besok pagi dari kost," ide Maya baru muncul di benaknya.

Belum sempat ia bangun dari duduknya, seorang laki-laki muda menghampirinya. "Mbak mau ke mana?" tanyanya sopan.

"Mau cari penginapan Mas," jawab Maya. 

"Banyak kok di sekitar sini. Kalau mau saya bisa antar," ujarnya. 

"Boleh," jawab Maya. Lumayan ada yang menjadi petunjuk jalan, pikirnya.

 "Mbak ikuti saya ya," ujarnya seraya berjalan mendahului. 

Saat berjalan melewati jalan raya yang sepi, sebuah motor memepet Maya. Sejurus kemudian tas selempang yang dibawa Mata ditarik talinya hingga putus. Kemudian motor yang dikendarai dua orang tersebut tancap gas. Kabur membawa tas Maya.

"Copet copet!" teriak Maya.

Ada beberapa orang yang lalu lalang, namun tidak menghiraukan teriakan Maya. Juga pemuda yang berjalan di depan Maya sama sekali tidak menoleh.

Maya akhirnya terduduk di trotoar yang sepi. Meratapi nasibnya yang begitu malang. Mau ke penginapan ia urungkan. Percuma dia tidak membawa uang sepeser pun. Ponsel yang bisa digunakan untuk membayar dengan dompet digital juga ikut raib.

Dia berencana untuk kembali ke ruang tunggu terminal. Mungkin di sana sudah aman. Saat ia berdiri balik arah, pemuda yang tadi berjalan di depannya tiba tiba datang dan menyergapnya. "Tolooong!" teriak Maya.

Mulut Maya dibekap dengan tangan kiri pemuda tersebut. Kemudian kedua tangan Maya ditarik ke belakang. Seorang pemuda lain datang. Dikira Maya akan menolongnya. Ternyata pemuda tersebut malah ikut mengikat tangan Maya. 

"Tolong lepaskan!" teriak Maya dengan mulut dilakban.Tentu saja tidak ada suara yang keluar. Hanya berupa gumaman yang tidak jelas.

Saat tangan Maya belum terikat sempurna, kaki kanannya menendang pemuda yang baru datang tersebut. Tepat mengenai organ vitalnya. 

"Akhhhhhhhh," erang pemuda tersebut kesakitan. 

Pemuda pertama yang mengajaknya kaget. Hendak menarik tangan Maya yang terlepas. Namun gerakan Maya lebih cepat. Pemuda tersebut juga mendapatkan tendangan yang sama. Di tempat yang sama pula.

"Akhhhhhh," teriaknya pula kesakitan.

Mendapatkan peluang kabur tidak disia-siakan oleh Maya. Ia berlari sekencang-kencangnya. Dengan sisa tenaga yang ada. Sampailah dia di daerah yang banyak warung dan toko-toko di pinggir jalan. "Kalau aku lari terus pasti tidak kuat. Bisa jadi tertangkap. Sebaiknya aku bersembunyi di sela-sela warung yang remang itu," ujar Maya dalam hati.

Ia pun menyeberang jalan dan menuju warung tersebut. Ternyata di antara beberapa warung tersebut ada yang kuncinya sudah rusak. Sehingga tidak dikunci oleh pemiliknya. Maya masuk ke warung tersebut dan menutupnya dari dalam.

Dalam suasana yang gelap Maya tidak bisa meraba apapun. Kakinya sering tersandung meja kursi yang ada. Beruntung ia menemukan kursi panjang yang bisa dua gunakan untuk tidur. Ia merebahkan tubuhnya di tempat itu. "Betapa nyamannya bisa merebahkan badan," ucapnya.

Sayang, kenyamanan tersebut terusik suara dari luar. Dua pemuda yang mengejarnya tadi tampaknya sudah sampai di tempat tersebut. "Tadi aku lihat dia lari ke arah sini," ujar salah satu di antara mereka. 

"Mana mungkin menyeberang jalan," sanggah yang lain.

'Ayo kita periksa dulu di warung-warung tersebut. Siapa tahu dia menyelinap di sana," ujar salah satu di antara mereka.

"Hmm baiklah," jawab satunya.

Deg...dada Maya serasa mau copot. Dia sampai menahan nafas saat dia pemuda tersebut berdiri di depan warung tempatnya bersembunyi. Apalagi saat dua pemuda tersebut berusaha mendorong pintu warung. Untung sudah diselot dan diberi penghalang kursi di belakang pintu. 

"Aku kira dia tidak mungkin masuk sini. Pintunya terkunci gini," kata salah satu 

"Mungkin di warung yang lain. Mari kita periksa satu per satu," usul satunya.

"Baiklah," jawab temannya.

Maya sedikit bernafas lega saat kedua pemuda tersebut meninggalkan warung tempatnya berada. Terdengar keduanya tampak mendorong satu persatu pintu warung di daerah tersebut. Namun usaha mereka gagal.

"Kita istirahat di sini dulu sebentar," ujar salah satu mereka.

"Sebenarnya, kalau kita bisa mendapatkan gadis yang baru datang ini kita bisa untung besar," kara pemuda yang berambut keriting. Ini pemuda yang pertama kali menemui Maya di terminal.

"Ya pastinya. Bos akan mencicipi dulu trus dilempar ke Tante Berlian. Di rumah bordir yang terkenal itu."

"Astaghfirullah," pekik Maya. Untung tidak terdengar dua orang tersebut 

"Atau mungkin bos tidak tertarik mencicipi. Tapi akan menjual keperawanannya dengan harga mahal. Bisa ratusan juta bahkan miliar untuk sekali kencan," jelas yang lain.

Maya hanya bisa mengelus dada. 

"Kita kembali saja ke terminal," ujar penjahat itu.

Tidak beberapa lama keduanya pergi meninggalkan warung tersebut.

Maya kembali bernafas lega. Setidaknya salah satu bahaya yang mengincarnya sudah lewat. Meskipun dia sama sekali tidak memiliki bayangan apapun tentang kehidupannya besok. Di rimba ibukota, tanpa ada yang dikenal, tanpa ada uang sepeser pun, tanpa baju sehelai pun dan tanpa kartu identitas.

Rasa kantuknya yang sangat berat membuat Maya tetap bisa terlelap sampai pagi. Hingga terdengar seseorang yang membangunkan dia.

"Hai bangun bangun! Siapa kau di sini?" teriak seorang wanita sambil menggoyang-goyangkan tubuh Maya. Suaranya melengking keras membuat Maya segera sadar. 

"Mati aku. Apakah ini bagian komplotan penjahat yang mengejar aku tadi malam?" batinnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status