Mereka berdua saling bertatapan. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya, namun suasana di sekitar mereka tampak begitu tegang. Semua orang tampak terdiam, karena Ardi secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak senangnya kepada Kurniawan.Keheningan di meja itu baru pecah ketika salah seorang tamu undangan mulai berbicara dan menawarkan Kurniawan untuk bergabung. Akan tetapi, Kurniawan malah menolak dan memilih untuk duduk di meja lain; tentunya, senyuman licik di wajahnya tersebut masih di pertahankannya.Setelah Kurniawan pergi, Cynthia mendekatkan dirinya ke Ardi dan berbisik. “Tahan sedikit emosimu,” dia tidak lupa untuk tetap mempertahankan senyuman di wajahnya.Ardi tetap tidak menghilangkan kerutan di keningnya saat ini. Walau sudah tidak segamblang tadi, wajahnya masih saja menunjukkan perasaan tidak senang.Untungnya, orang lain yang semeja dengan mereka tampak tidak terlalu peduli dengan kejadian barusan.Namun momen damai tersebut tidak berlangsung lama, sebab saat mer
Berulang kali Cynthia menyalakan dan menghidupkan layar handphonenya, menunggu pesan atau panggilan dari Ardi. Sudah sekitar 3 hari lamanya semenjak mereka bertengkar di atas pesawat waktu itu. Ardi belum juga menghubunginya semenjak saat itu. “Hebat juga lu, padahal seingat gua lu baru baca itu naskah 2 hari yang lalu kan?” Kamila yang baru saja kembali untuk membeli makanan, langsung bertanya kepada Cynthia yang sedang beristirahat di dalam mobilnya di sela-sela jeda pembacaan naskah pertama. “Im-pro-vi-sa-si!” Cynthia berusaha menjawab tanpa menunjukkan kegalauannya.“Tapi lu tetap harus waspada, penulisnya dikenal cukup galak dalam pemilihan pemeran. Kalau ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, lu bisa diganti di tengah jalan,” ujar Kamila. “Ah, yang cewek kacamata dengan rambut di kuncir kebalakng itu ya?” Cynthia teringat dengan salah satu perempuan yang duduk di kursi penulis saat sesi pembacaan naskah. “Tapi kok ngak kelihatan galak sama sekali ya?” “Yup.” Kamila k
Cynthia langsung menjatuhkan handphonenya. Dia berlari menuju mobilnya.“Ke Polres xxxx sekarang!” dia langsung memerintahkan sopirnya begitu kakinya menginjak lantai mobil.“Kenapa? Ada apa?” Kamila tampak kebingungan.Namun Cynthia tidak menjawab sama sekali. Dia dengan segera langsung menghubungi Pak Dwi terlebih dahulu; sebab pikirannya langsung teringat dengan chip canggih yang pernah di ceritakan Ardi.“Halo pak, tolong lacak keberadaan Ardi sekarang juga!”“Tapi..”“Ini Darurat!” Cynthia berseru dengan suara yang cukup keras dan membuat Kamila semakin kebingungan.“Sebenarnya ada apa?” Kamila kembali bertanya begitu Cynthia mengakhiri panggilan singkatnya dengan Pak Dwi dan lanjut untuk menghubungi Joe.Tapi sekali lagi, Cynthia tetap tidak menjawab dan terus fokus dengan usahanya untuk mengatur cara untuk menemukan Ardi secepat mungkin.&ldqu
Alih-alih menjelaskannya secara langsung. Pak Dwi mengajaknya ke dalam sebuah tempat yang penuh dengan rak-rak server dan pipa-pipa di atas mereka; yang kalau dia harus menebak, kemungkinan adalah pipa untuk mengalirkan cairan untuk mendinginkan semua server di dalam ruangan tersebut. Mereka lalu berhenti di depan salah satu rak server yang penutupnya di buka.“Ini adalah server khusus yang di gunakan untuk menyimpan semua data yang dikirimkan oleh chip dalam pergelangan tangan Ardi.” Pak Dwi mulai berbicara sembari mengetikkan sesuatu di laptop yang terhubung dnegan server via kabel. “Dan semenjak sehari yang lalu, tidak ada downlink atau uplink dari chip tersebut.” Pak Dwi menunjukkan data terbaru dari chip Ardi yang memang paling atas hanyalah data kemarin pagi. “Lalu, saat peretasan waktu itu, kami tidak mengetahui kalau data penelitian dan design teknologi untuk chip generasi pertama juga ikut di retas.” Pak Dwi melanjutk
‘No one is perfect’Kata-kata tersebut sepertinya juga berlaku bagi Ardi. Dia berusaha untuk tidak tertawa saat mendengar suara Ardi. Walau kemampuan bermain musiknya sangat bagus, namun hal itu tidak berlaku bagi suaranya.“Don’t laugh,” dia bergumam dalam hatinya.Pada akhirnya dia berhasil menahan dirinya untuk tidak tertawa hingga lagu yang dinyanyikan oleh Ardi hingga selesai. Tapi kejutan yang ada tampaknya tidak sampai di situ saja, sebab sekarang ini Ardi sedang berjalan menuju ke arahnya sembari membawa setangkai bunga dan sebuah kotak kecil.Jantungnya berdegup semakin kencang ketika Ardi semakin mendekat. “Lu kenapa sih jantung?” dia bertanya kepada dirinya sendiri. “Lu ngapain sih?” dia kembali bertanya secara langsung ke Ardi yang tiba-tiba berlutut di depannya.Akan tetapi, Ardi tampak tetap tersenyum lalu membuka kotak yang di bawanya. Tebak apa yang ada dalam kotak tersebut. Sebu
“What? Kau sudah gila ya? Kau itu seorang artis besar, bahaya kalau keluar sendirian.” sesuai dengan dugaannya, Kamila pasti akan marah-marah saat mendengar kalau dia akan mencari Ardi ke suatu tempat yang jarang di ketahui orang lain.Tapi bagaimanapun juga, Kamila tidak akan bisa melarangnya sekarang; setidaknya tidak saat 10 menit menjelang dia harus boarding.“Ya sudah, nanti aku kabarin lagi ya kak, bye.” Dia mengakhiri percakapan tersebut dengan cepat saat dia mendapatkan telepon dari Pak Dwi. “Halo, bagaimana dengan lokasi yang saya kirimkan?”“Cukup sulit untuk di katakan. Jika dilihat menggunakan satelit, tempat itu seperti mempunyai semacam blind spot dimana kamera satelit tidak akan berfungsi di sana.” Pak Dwi menjelaskan. “Dan untuk apa yang kau sampaikan soal Ardi. Dia memang betul pernah ke daerah itu sekitar sehari yang lalu. Kami tidak bisa melacaknya lebih jauh karena kurangnya kamera cctv ya
“Selamat Pagi,” seorang perempuan memakai keja putih di balut dengan jas hitam menyambutnya begitu mobil yang dia kendarai sampai di tempat yang tampaknya merupakan pintu masuk utama ke dalam hunian yang tampak mewah tersebut.Dia menatap perempuan di depannya ini dengan penuh curiga semenjak turun dari mobil. Siapa yang tidak akan curiga bukan jika tahu-tahu langsung di sambut begitu saja dengan senyuman, seolah kedatangannya memang sudah di tunggu-tunggu.“Maaf, tapi pemilik rumah ini siapa ya?” dia bertanya saat mereka berjalan melewati sebuah ruangan yang tampaknya adalah ruangan tengah; karena terdapat sofa besar dan sebuah perapian.Tapi perempuan itu tampak tidak menjawab sama sekali dan terus mengantarnya melewati berbagai ruangan yang di penuhi dengan barang-barang pajangan berupa patung maupun lukisan besar yang tampaknya cukup mahal.Mereka lalu berhenti di depan sebuah pintu besar yang berwar
“Mana anak itu!!” dari dalam ruangan yang biasa digunakannya untuk berkonsentrasi dengan naskahnya, dia bisa mendengar suara Kamila yang terdengar sedang marah-marah. Padahal, ruangan ini termasuk ruangan yang mempunyai fitur kedap suara. Tidak ingin di marahi terlalu lama, dia menaruh naskahnya dan tiduran di sofa; berpura-pura seperti orang yang sedang galau. “Dasar anak ini...” begitu pintu terbuka, Kamila langsung termakan jebakannya; raut wajahnya langsung berubah dari yang cemberut menjadi orang yang berempati. “Hei, kau ngak apa-apa?” rasanya dia ingin tertawa saat melihat raut wajah khawatir yang di tunjukkan oleh Kamila saat ini. Tapi di satu sisi, dia juga terharu saat melihat Kamila yang kalau di depan orang luar selalu bersifat tegas, namun saat menyangkut dirinya, pasti akan menjadi seorang kakak sekaligus ibu yang begitu perhatian. Dengan perlahan—seperti orang yang betul-betul sedang lesu—dia bangun dan duduk di sofa. “Kak,” dia mengubah suaranya seperti orang yang