Aula masih mematung di tempatnya dengan dada yang mendadak sesak. Juna yang melihatnya pun memeluk Aula begitu erat, tapi Juna sendiri ikut mematung mendengar apa ni yang diucapkan oleh para rentenir. Untuk sesaat, Selina sendiri juga mematung di sana, tapi ia luar biasa kesal dengan para rentenir itu sampai Selina pun menyambar lampu mejanya dan mulai menyerang para rentenir itu. "Berani sekali kalian mengatakan hal itu pada ibuku! Padahal aku sudah bilang akan ikut dengan kalian kan? Sekarang aku sudah tidak mau ikut lagi! Pergi kalian! PERGI!" Buk!Selina memukul dengan sekuat tenaga sampai salah satu pria mengangkat tangannya untuk melindungi diri. Namun, pukulan Selina terlalu tepat dan melukai tangan pria itu. "Auw, Wanita Sialan!" "Sudah kubilang pergi dari sini! Pergi dan jangan mengganggu kehidupanku!" teriak Selina sambil memukulkan lagi lampu mejanya berkali-kali ke arah para pria itu. Para pria itu ada yang mundur, tapi ada yang melawan dan Selina pun terus memukul
"Apa, Dhexel? Ibu Selina masuk rumah sakit?" Rebecca memekik kaget pagi itu. Dhexel memang tidak pulang rumah semalam karena menemani Selina di rumah sakit. Karena itu, Rebecca bertanya apa yang Dhexel lakukan dan Dhexel memberitahu tentang kondisi ibu Selina. Rebecca sendiri sudah tahu dari Heidy bahwa keluarga Selina punya banyak hutang ke rentenir dan Rebecca sudah menanyakannya pada Dhexel. Dhexel pun membenarkan semuanya, hanya saja Dhexel tidak memberitahu tentang pekerjaan penipu yang selama ini Selina lakukan. "Bu Aula terkena serangan jantung, Ma." "Ya ampun, bagaimana kondisinya, Dhexel?" "Katanya subuh tadi Bu Aula sudah sadar, tapi belum bisa dijenguk. Selina dan adiknya pun masih berjaga di rumah sakit.""Mama juga harus ke sana, Dhexel. Bahkan Mama belum sempat berkenalan dengan ibunya Selina. Mama harus menjenguknya." Darrel tidak ikut kali ini karena Darrel sedang pergi dengan Dexter ke luar kota. Karena itu, Darrel tidak bisa terus mengawasi apa yang Heidy laku
"Halo! Halo! Jangan main-main denganku, Brengsek!" Selina berteriak dengan gemetar mendengar suara Bos Besar di teleponnya. Namun, setelah mengatakan pesan singkat itu, Bos Besar langsung menutup teleponnya. Selina pun berusaha menelepon balik, tapi ponsel Juna sudah tidak aktif. Selina langsung mencari nomor Bos Besar dan meneleponnya, tapi Bos Besar juga tidak mengangkat teleponnya. "Ah, sialan! Sialan!" pekik Selina dengan tangisan yang sudah terburai. "Apa, Selina? Apa yang dia katakan? Apa Juna bersamanya?" Suara Bora ikut gemetar. "Mereka menculik Juna. Bos Besar memintaku datang sendirian untuk menjemput Juna." Bora yang mendengarnya pun menahan napasnya sejenak. "Kita harus melaporkan semuanya pada polisi, Selina. Sudah cukup kau menahannya. Mengapa kau tidak mengijinkan Pak Dhexel melaporkannya ke polisi?" "Jumlah mereka sangat banyak, Bora, sangat banyak dan ada di mana-mana. Aku hanya tidak mau mencari masalah yang lebih parah atau bahkan sampai Dhexel ikut terliba
Dhexel menghentikan mobilnya begitu saja begitu ia tiba di markas rentenir. Bora memberitahu alamat dengan detail sampai Dhexel bisa dengan mudah menemukannya. Selain itu, gerbang tinggi dengan banyak penjaga di sana membuat Dhexel langsung mengenali tempat itu sebagai markas rentenir. Dhexel pun mengirimkan posisinya pada Marlo yang menyetir mobil lain, sebelum Dhexel turun dari mobil dan berlari masuk ke gerbang yang memang tidak tertutup rapat itu. Dengan cepat, Dhexel pun langsung disambut beberapa anak buah. "Siapa kau? Mau apa?" "Di mana Selina dan Juna?" seru Dhexel yang masih berusaha bersikap tenang. "Apa maumu mencari mereka?" "Aku harus membawa mereka keluar dari sini, jadi biarkan aku masuk!" Para anak buah hanya saling melirik dan tertawa sebelum salah satu anak buah mengenali Dhexel. "Hei, bukankah pria ini adalah pria yang membuat kita gagal menculik Selina waktu itu?" "Kau benar! Haha, kebetulan sekali kau datang kemari. Ayo kita bermain sedikit, Pria Sialan!
Bora tidak bisa mengungkapkan rasa leganya saat akhirnya Selina dan Juna kembali ke rumah sakit. Bora pun memeluk keduanya yang memang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri itu. "Selina! Juna! Aku takut sekali tadi. Maafkan, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain menelepon Pak Dhexel, Selina! Aku cemas sekali!"Suara Bora begitu sesenggukan sampai Selina ikut menangis melihatnya. Mereka berpelukan begitu lama dengan rasa lega yang sama-sama mereka rasakan. Bora pun begitu kaget saat mendengar cerita dari Selina tentang hutangnya yang akhirnya dilunasi oleh Dhexel. "Aku berhutang banyak sekali padanya, Bora!" "Dia mencintaimu, Selina! Sekalipun dia orang kaya, tapi tidak ada orang kaya yang sebodoh itu rela melunasi hutang orang lain, apalagi yang sebanyak itu. Dia mencintaimu, Selina! Dan itu adalah rejekimu, jodohmu, nasib baikmu! Ayahmu boleh meninggalkan kesulitan yang begitu besar, kau juga boleh menjalani hari-hari yang begitu sulit kemarin, tapi Tuhan akhirnya m
"Ada apa, Selina? Siapa?" tanya Dhexel yang melihat ekspresi ketegangan semua orang. "Itu Ayah, Kak! Itu Ayah, Ayah mau dibawa ke mana?" Tanpa bisa dicegah, Juna pun langsung berlari menyusul brankar milik Janu, sang ayah yang sudah lama menghilang. Aula sendiri tidak mencegahnya, tapi Selina langsung berteriak memanggil adiknya itu. "Juna! Juna! Untuk apa mengejarnya?" seru Selina dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Selina pun berlari menyusul Juna dan Dhexel sendiri juga mengejar Selina, sedangkan Aula tetap tenang di kursinya dengan tatapan yang menerawang. Rebecca yang melihatnya pun ikut tegang karena ia tahu ayah Selina sudah lama menghilang. "Bu Aula!" panggil Rebecca penuh tanya. "Maaf, Bu Rebecca, maaf!" "Ah, iya, tidak apa!" Untuk sesaat, keduanya tetap diam di tempatnya sekalipun mobil Marlo dan satu mobil lain yang disetir oleh sopir Rebecca sudah tiba di depan mereka. Di sisi lain, Juna sudah tiba di samping brankar Janu dan menahannya di sana. "A
Beberapa hari berlalu dan Selina pun akhirnya kembali bekerja di Putra Perkasa. Bora dan Elvan menyambut Selina dengan semangat yang baru. Mereka sudah mengetahui tentang ayah Selina, mereka pun ikut prihatin, dan mendoakan yang terbaik untuk ayah Selina. Aula sendiri akhirnya bisa beraktivitas normal lagi dan Selina pun akhirnya memberitahu tentang hutang mereka yang sudah dilunasi oleh Dhexel. Aula tidak berhenti menangis mendengarnya dan ia minta diantarkan ke rumah Dhexel hari itu juga untuk bertemu dengan Dhexel serta orang tuanya. "Kami tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena itu, aku hanya bisa membawa buah-buahan dan masakanku, semoga kalian menyukainya," seru Aula yang membawa aneka macam masakan untuk keluarga Dhexel. "Kau repot sekali, Bu Aula. Terima kasih banyak," seru Rebecca. "Aku yang seharunya berterima kasih padamu dan keluargamu, Bu Rebecca. Ucapan terima kasih dan masakan apa pun tidak akan bisa membalasnya. Kalau kau mau, aku juga bisa bekerja untukm
"Apa, Marlo? Selina dituduh menggelapkan dana perusahaan?" Dhexel memekik kaget begitu ia mendengar kabar dari Marlo tentang keadaan di Putra Perkasa. "Benar, Bos. Menurut info, karyawan finance sudah curiga sejak beberapa hari, tapi mereka masih menutupinya karena mereka sedang mencari bukti dan baru hari ini mereka menemukan buktinya." "Sial, itu tidak mungkin, Marlo. Aku bisa memastikan bahwa itu tidak mungkin, Marlo! Apa pun yang mereka tuduhkan pada Selina, itu tidak benar!" seru Dhexel dengan penuh keyakinan. "Aku juga percaya pada Selina, Bos! Tapi sepertinya masalah di kantor cukup panas saat ini." "Sial, siapkan tiket pulang, aku akan pulang malam ini juga!"Marlo mengangguk. "Baik, Bos!" Dhexel sendiri langsung menelepon Selina, tapi Selina tidak mengangkat teleponnya. Baru setelah beberapa kali menelepon, Selina pun akhirnya mengangkat teleponnya. "Selina, kau baik-baik saja?" Suara Selina teedengar gemetar saat menjawab Dhexel. "Kau ... kau sudah tahu masalah di k