"Tapi… bagaimana cara membukanya?" tanya Dan yang melihat pintu tanpa gagang lagi. Area sekitar pintu sudah ia periksa, tapi tidak ada tombol apapun yang ia temukan. "Ruangan tertius benar-benar membingungkan... " gumamnya menghela napas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membatalkan rencana dadakannya itu. Namun, ketika hendak membuka pintu keluar, ia teringat akan suatu hal.
Gawat! Aku tidak tahu cara mengembalikan rak bukunya!
***
Drap.. drap.. drap…!
“Huff… Huff…”
“Dan? Lama sekali baru sampai?” tanya Mister Hollen yang sudah duduk di kursi utama ruang makan.
Karena butuh waktu setengah jam untuk mengetahui cara menutup rak bukunya! “I-iya, dad. Aku keramas dulu tadi…” jawab Dan yang masih ngos-ngosan. “Ah, ibu!” sahutnya pada sang ibu yang tersenyum ke arahnya.
Sudah lama sekali kita tidak makan bertiga bersama! Tapi…
“Ibu sedang merasa kurang sehat? Wajah ibu terl
Terimakasih telah membaca chapter <#22 Namanya... (bagian 3)> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
-Blok H7, Primus, Lantai 138- Bruk! "Huff…" Sepertinya ini yang terakhir… pikir Dan setelah meletakkan satu buah dus besar di lantai depan ruangannya. "Apa anda yakin untuk meletakkan barang-barangnya disini, tuan muda?" tanya seorang pria yang bekerja dibawah perintah ayah tirinya. "I, iya." jawab Dan. Ia masih tidak terbiasa dipanggil sebagai tuan muda oleh siapapun selain Tebi. "Baiklah. Tujuh kardus sudah selesai dipindahkan. Sebelum saya undur diri, tuan besar menitipkan kami untuk memberikan ini kepada anda." lanjut pria itu tanpa bergerak sama sekali dari berdirinya. "Eh? Menitipkan ap-" Din din! Sebuah sekuter model terbaru diantar sampai ke depan pintu ruangannya. Dan dan para tetangga yang menyaksikan itu ternga-nga. "Silahkan letakkan kedua telapak tangan anda di sini, tuan." ujar petugas yang mengantar sekuternya. Dan pun mengikuti. "Silahkan genggam masing-masing s
Subjek 3 yang telah dikremasi tanggal 20 itu… Benar-benar adalah ayah ya…. Kedua tangan dan kakinya yang gemetaran. Ia jatuh berlutut membelakangi rak buku yang baru saja tertutup itu. Pikirannya campur aduk. Ia berusaha memastikan kembali kalimat terakhir dalam laporan tersebut yang sempat dibaca olehnya sebelum meninggalkan ruangan. Pukul 06.06 malam, jenazah dikremasi bersama dengan jenazah sang istri sesuai dengan permintaan terakhir Alm. Neva Olana. "A-aahh… akh…" suaranya tercekat. Pandangannya memburam. Matanya berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, seakan-akan ada sebuah beban yang mengekang di sekelilingnya. Di benaknya, ia menyesal. Mengapa dia tidak memberanikan diri untuk turun menghampiri ayah dan ibunya saat itu? Mengapa dia tidak mengunjungi tempat itu ketika ia memiliki waktu? Mengapa ia bersikap dingin setiap kali bertemu dengan ibunya? Mengapa ia tidak meminta ibunya untuk menceritakan apa yang selama ini dikhawatirkan olehnya? Sebenarnya kenapa ayah bisa ada di sit
-Lantai 30, Kediaman Brown- Kricing… kricing… Bunyi mainan bayi yang digerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri. Melihat tawa dari cucu keduanya tersebut, hatinya menjadi terasa sejuk, seperti ketika berdiri di pesisir pantai dan melihat tenggelamnya matahari di ufuk barat. “Ah… aku berasa lebih muda sepuluh tahun…” gumamnya. 'Nyonya, 86 hari lagi anda akan merayakan ulang tahun anda yang keenam puluh delapan." ujar salah seorang asisten rumah tangganya. "Nima berisik! Mulutmu mau dibisukan ya?" "Eh? Ti, tidak nyonya! Tidak mau!" teriak Nima panik. Ditutupinya rahang buatannya itu dengan telapak tangan yang buatan juga. Ya, Nima adalah seorang AMAH. Dia telah bekerja untuk keluarga Brown, sebagai asisten pribadi Sharon Brown, sejak masih berusia remaja. Namun, sewaktu didiagnosis mengidap kanker paru-paru di usia keempat puluhnya, Sharon langsung membiayainya melakukan operasi menjadi seorang AMAH. "Hahaha! Aku hanya ber
Dari kejauhan, Rosa terus mengikuti manusia hologram itu secara diam-diam. Ia masih tidak percaya kalau yang dilihat dengan kedua matanya itu sejatinya adalah seorang manusia asli. Yaah… tapi mengingat teknologi sekarang, tidak mustahil juga sih…. Ah, dia berjalan lagi! Manusia hologram itu berbelok dan masuk ke sebuah ruangan. Toilet umum, demikian tulisan yang terdapat pada papan di atas pintunya. Dia bisa ke toilet? batin Rosa yang memutuskan untuk menunggu di luar ruangan. Ia membayangkan akan jadi seperti apa hasil ekskresi dari tubuh hologram itu. "Halo?" terdengar suara dari dalam, sepertinya itu suara manusia tersebut. "Aku lagi di lantai 86-, eh maksudku, avatar-ku sedang di lantai 86." lanjut suara itu. Merasa memiliki kesempatan yang bagus, Rosa pun berjalan masuk dan berpura-pura hendak ke toilet juga. Tap… tap… Baru dua langkah memasuki ruangan, kedua pasi mata langsung bertatapan. Eh... dia… Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Gawat!!! Rosa langsung berbalik da
-Lantai 146, Kawah Pemurnian- Jgrek! Drrkkk…. Untung saja di jalan ketemu ini tadi… batin Rosa yang mendorong sebuah troli belanjaan yang ia temukan di tempat pembuangan sampah dekat ruangannya. Terbentang selimut bergambar kartun seorang anak kecil perempuan dengan teman beruangnya pada bagian atas troli. Orang-orangpun tidak ada yang curiga kalau isi dari troli itu adalah seorang jenazah yang sudah dikafani. Namun, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, tetap saja baunya akan tercium juga. Pip pip..! Pip pip..! Pip pip..! Alarm berbunyi begitu troli memasuki ruangan. Bersamaan dengan itu, dua orang AMAH yang entah berasal darimana telah muncul di sebelah kanan dan kiri troli. Satu dari mereka merendahkan tubuhnya dan menggerakkan kepalanya dari atas ke bawah, sedangkan satu yang lainnya tetap berdiri dan menggerakkan kepalanya dari kiri ke kanan. Cimottt!!!! teriaknya yang mulai panik dalam hati. “Tenanglah. Itu hanya pemeriksaan biasa.” jawab suara tanpa raga. Walau kamu bilang
Tuk! Drrr… tep! “Haa… hampir saja…” gumam Rosa ketika berhasil menangkap botol kaca yang terjatuh dari atas meja. Di seberangnya, duduk seorang Barrelth yang sudah terlelap. “Hmph, lemah!” ujar Rosa pada lawan minumnya itu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjingkat secara perlahan, menghindari terinjaknya barang-barang yang keras, hingga sampai di ambang pintu sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu. “Halo~?” sapanya pada ruangan yang penuh dengan peralatan komputer itu. Sebuah kursi beroda menarik perhatiannya. Brugh! Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi berbantal tersebut dan mulai berputar. Hmmm… nyaman sekali… Duak! Tak sengaja kaki kirinya menendang pinggiran meja. Rosa buru-buru menghentikan putarannya dan langsung melirik ke arah meja makan. Barrelth yang masih terlelap memutar wajahnya menuju ke arah yang berlawanan. Merasa lega, Rosa pun menghela napas. “Hampir saja jantungku copot…” gumamnya mengelus dada. Eh, aku kan sudah tidak punya jantung lagi… batinya girang
-Lantai 40, pusat restoran- Kenapa ketemu dia lagi…?!!!! batin Visera berteriak dari balik pintu masuk begitu menyadari keberadaan Rosa yang sedang melayani para pengunjung. “Hm..? Kenapa, Sangria?” ujar rekan kerja di sampingnya yang memiliki rambut berwarna hijau fluorescent meskipun dirinya sendiri dipanggil dengan kode nama ‘Fuchsia’. “Tidak… apa-apa. Ayo kita masuk…!” jawab Visera melangkah duluan. Selama berjalan melewati barisan meja depan, ia terus berkomat kamit dalam hatinya. Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! “Fiuh…” ujarnya merasa lega setelah berhasil masuk ke ruang VIP dan duduk di kursinya tanpa gangguan. Dia melirik ke arah luar kaca. “Woah… pertama kali aku melihat seseorang yang memilih untuk mewarnai rambutnya menjadi putih…” gumam rekan kerja yang duduk di samping kirinya. “Dia tidak takut cat-nya luntur apa ya…” tambah Fuchsia yang menengok ke belakang. “Atau pakai wig?” Mendengar itu, Visera teringat akan percakapan merek
“Surat perjanjian itu… kamu setujui ya.” Keesokan harinya, tepatnya ketika aku baru saja sampai di lantai medis setelah susah payah menanjak mengendarai sekuterku selama kurang lebih 3,5 jam, aku mendapat kabar kalau Lizo telah sadar dari komanya. “Uwoohh!! Rasanya memang agak asing… tapi ini keren sih, keren banget!” teriak Lizo kegirangan sambil menggerak-gerakkan tangan, kaki, beserta tubuh barunya itu. Kuakui suara barunya juga terdengar sama persis seperti suara aslinya. “Dan, dan, coba pukul aku!” “Ehhh? Untuk apa??” “Haish, kamu ini…” Buk! Lizo meninju pipinya sendiri. “Wah, benar-benar tidak terasa sakit…” lanjutnya. “Hey bocah, walaupun tidak terasa sakit tapi bukan berarti tangan barumu itu tidak bisa copot!” ucap Kak Megan. Kemudian tidak berapa lama sampai-sampai si dokter koplak yang satu itu datang bersama dengan…. aku tidak yakin, tapi sepertinya kemarin paman itu dipanggil ‘Sean’? Seperti yang kuantisipasi, pria berpakaian formal itu lalu mewakili atasannya, Miste