Terimakasih telah membaca chapter <#51 Pertemuan di Kuartus (bagian 2)> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
Ceklek! Krriiiieeettt…. Dengan perlahan aku mendorong pintu kayu yang sudah tua itu. “Permisi…” ucapku. Namun tidak ada balasan. Aku pun berjalan memasuki ruangan. Tidak lupa untuk menutup pintu. “Huu.. huu huu huu…” “Astaga!” Aku dikejutkan dengan seekor burung hantu yang sedang bertengger di atas sebuah tiang yang terletak persis di sebelah kiri pintu. Bulunya putih seperti salju. Matanya yang hitam bundar membuat keberadaannya menjadi menakutkan. Aku langsung menjauhkan diri darinya. Setelah berjarak kurang lebih lima langkah besar, mata burung hantu itu perlahan terpejam. “Dia… tidur?” Merasa sedikit aman, aku mulai melihat-lihat sekeliling ruangan. Sebagian besar isi ruangan tersebut ialah… buku. Sisanya hanyalah rak buku, kedua pintu, tiang beserta burung hantu itu, dan… aku. Tidak ada jendela satupun. Aku mendongak untuk melihat satu-satunya penerangan di ruangan itu. “Lah.. dimana atapnya..?” Ak
Taman Air Mancur, nama dari ruangan seluas 418 meter itu. Bentuknya setengah lingkaran dan jarak antara lantai ke atap kira-kira delapan meter. Puluhan lampu menyinari seisi ruangan. Sesuai namanya, di pusat ruangan berdiri sebuah air mancur besar yang khas. Memang tempat yang tepat untuk bermain dan menghirup udara segar. Banyak anak-anak berkunjung ke tempat ini bersama dengan orang tua atau pengasuh mereka. “Satu…dua…tiga…” “Aah! Mama ngintipp! Ulang itungnya!” teriak seorang anak perempuan yang usianya masih bisa dihitung dengan jari. “Iya.. Iya.. ulang nih ya..? Satu.. dua.. jangan jauh-jauh nyumputnya! Empat..” ujar wanita muda yang merupakan ibu kandung dari anak tersebut. Kalo ga jauh, nanti cepet ketauan lah! balas anak itu dalam hati sambil berlari. Melewati jalan setapak berkelok-kelok, ia berhasil menemukan tempat persembunyiannya, di balik semak-semak. Satu menit.. dua menit.. tiga menit.. Hihihi.. mama pasti
Namanya Dan. Orang pertama yang kutemui ketika berhasil sampai di lantai ini. | “Kkhh!” Satu per satu tetesan darah jatuh ke lantai. Gapapa.. ini ga sakit.. ini.. ga.. sakit.. Ditekannya kuat-kuat tangan kanannya itu dengan kain. “Darahnya akan berhenti.. darahnya pasti berhenti..” gumamnya hingga kain yang ia gunakan itu memerah hampir seluruhnya. Krriett… Perlahan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Klak! Lampu pun menyala, menerangi seisi ruangan, termasuk dirinya dan seorang lelaki yang baru saja masuk itu. “Ha?” ucap lelaki itu dengan wajah bingungnya. Ah.. Apakah aku akan mati..? Penglihatannya menggelap dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, samar-samar ia mendengar sebuah suara memanggil namanya. *** “Haa… pada akhirnya garam kita gabisa diambil lagi…” gumam Dan
Tap.. tap.. tap.. Daritadi dia ga merespon apa-apa… ucap Dan dalam hati sambil melirik ke arah kanannya beberapa kali. Membawa Lizo yang masih tidak sadarkan diri, Dan dan Visera telah sampai di lorong penghubung Primus dengan Secundus. Dia terlihat seperti sudah tahu cara untuk menghentikan Kak Goden tadi itu. Aku yakin tadi itu… dia mengetahui sesuatu.. dia pasti mengetahui sesuatu! Apa… dia pernah ketemu AMAH yang menggila seperti Kak Goden tadi? Dan melirik kanan-nya lagi. Kalau dipikir, aku masih tidak tahu apapun tentangnya... Tentang perempuan ini... yang tiba-tiba muncul hari itu entah darimana. | Tingtung tingtung tingtung..! “Kak..! Kak..!” teriak Dan di depan pintu ruangan J3. Dododok! Ceklek.. “Kau mau menghancurkan bel dan pintuku?” Seorang wanita dewasa yang mengenakan piyama muncul dar