Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak.
"Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima.
"Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya.
"Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu.
"Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat
Aidan sedang tersenyum mendengar reaksi Malikha dari balik telepon. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa Malikha akan semakin berbunga-bunga dan luluh padanya. “Apa kamu menyukai kejutannya?” tanya Aidan begitu suara Malikha terdengar tercekat seakan ia ingin menangis. Malikha tak menjawab, ia sepertinya begitu syok. Aidan masih dengan ekspresi bahagianya karena berhasil membuat Malikha tercekat dan terdengar begitu bahagia. Seandainya saja Aidan bisa melakukannya 12 tahun lebih awal daripada hari ini, ia pasti akan jadi remaja paling bahagia saat ini. Tapi Aidan yang penuh dendam, nyatanya tetap menikmati rona di pipinya sendiri, saat gadis yang disukainya ternyata begitu menyukai kejutan yang ia berikan. Sementara di seberang sana, Malikha masih tertegun sambil mengigit bibir bawahnya. Ia harus menyaksikan sendiri seperti apa Aidan memberikan perhatiannya. Rasanya jantungnya sudah mau copot saat mendengar suara Aidan di sebuah ponsel. Sambil melihat ke se
"Oh ya, kamu datang kemari untuk konferensi apa?" tanya Aidan kemudian mengaduk kopi yang sudah diberi kreamer sebelumnya. "Kesehatan mental, depresi dan social anxiety (kecemasan sosial) pada korban bullying terutama anak sekolah." Aidan menaikkan pandangannya pada Raphael sekarang. Ia sempat terdiam beberapa saat dan sedikit menelan ludahnya. "Apa kalian membahas hal-hal seperti itu di konferensi?" Raphael pun mengangguk dan sedikit tersenyum. Ia terus memperhatikan Aidan yang tiba-tiba tertarik dengan konferensi yang sedang diikutinya. "Kenapa? Apa kamu tertarik?" Aidan menarik napas dan mendenguskannya dengan kuat. "Harusnya masalah seperti itu dibahas sewaktu aku masih SMA. Itu akan sangat membantuku," sindir Aidan dan disambut gelak kecil oleh Raphael. “Apa kamu ikut mengalaminya juga?” Aidan mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya. Raphael ikut mengangguk tak lama kemudian lalu membenarnya. “Pembullyan sudah sangat umum dan s
Aidan benar-benar melesat dari perkiraan dan rencananya. Ia mungkin tak akan menyangka jika membawakan ijazah yang dibutuhkan Malikha bisa membuat hatinya luluh seketika. Sehingga kini Aidan tak perlu capek-capek untuk menjerat Malikha lebih dalam dengan pesonanya. Langkahnya menjadi pahlawan kesiangan adalah hal yang sangat tepat.Fiona yang sesungguhnya telah dikenali Aidan, makin tersenyum saat Malikha membawa seorang teman pria untuk dikenalkan padanya. Firasat hatinya berpendar positif saat melihat Aidan, seolah ia bisa melihat jika Aidan adalah pria yang spesial untuk Malikha. Kebahagiaan di mata Malikha tak bisa ditepis begitu saja."Siapa dia?” tanya Fiona lembut begitu Malikha mendekat dan menarik Aidan bersamanya."Mom ... perkenalkan ini namanya Aidan Orlando," ujar Malikha semringah memperkenalkan Aidan pada Ibunya. Aidan ikut mendekat sama seperti Malikha.Aidan tersenyum tipis dan mendekat. Ia lalu menjulurkan tangan dengan sikap sedikit membungkuk yang sopan."Namaku Ai
"Jadilah kekasihku, Malikha," bisik Aidan kemudian. Aidan perlahan mendekat dan mulai perlahan memegang pipi Malikha. Bibirnya semakin dekat untuk mengecup lembut bibir cantik Malikha perlahan.Aidan tak menahan perasaannya. Ia mengulum dengan lembut dan penuh perasaan bibir Malikha seperti es krim sorbet yang lembut. Aidan tak ingin memperlakukan kasar sama sekali. Setidaknya untuk sekali, ia bisa menikmati rasa yang muncul dari dalam hatinya begitu saja.Ciuman itu adalah yang pertama kali diberikan Aidan pada Malikha selama mereka saling mengenal. Baik ketika dulu maupun ketika sekarang saat hanya Aidan yang mengenali Malikha. Aidan sebenarnya tak berencana sejauh itu ingin mencium bibir Malikha, tapi ia tak bisa menahan perasaannya.Lebih dari itu, hati kecilnya sebenarnya masih menyimpan rasa suka yang sama seperti dulu. Rasa suka itu telah dikubur paksa oleh Aidan akibat kejadian 12 tahun lalu tapi ia sekarang mencoba keluar dari lubang gelap ke permukaan