เข้าสู่ระบบSeeyana Amaranth sangat yakin, cinta bisa menahan segala badai. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, meski Ravent—suaminya— mulai berubah dan mulai pengabaian itu terus menyakiti hatinya. Rumah yang dulu hangat berubah jadi penjara sunyi yang membuatnya merasa begitu kesepian, bahkan saat pria itu ada di depannya. Seeyana berusaha bertahan melewati badai pertengkaran. Namun, semakin ia diam, semakin banyak yang ingin menjatuhkannya—termasuk mereka yang seharusnya menjadi keluarganya sendiri. “Apa perlu mempertahankan rumah tangga yang hanya kamu perjuangkan seorang diri?”.
ดูเพิ่มเติมJam dinding di ruang tamu sudah melewati pukul sebelas malam ketika Seeyana akhirnya berhenti menatap pintu. Suara detiknya terdengar terlalu keras di rumah kecil itu, seolah sengaja mengingatkan bahwa ia kembali menunggu sendirian.
Meja makan sudah rapi sejak dua jam lalu. Dua piring terletak berhadapan, salah satunya tetap kosong. Nasi yang tadi masih mengepul kini dingin, mengering di pinggir piring. Seeyana menarik napas pelan, lalu bangkit untuk mematikan kompor. Sup bening yang ia hangatkan kembali untuk ketiga kalinya tak lagi ia sentuh.
Ponsel di tangannya bergetar.
Bukan panggilan. Hanya satu pesan singkat.
Lembur. Pulang agak malam.
Tidak ada kata maaf. Tidak ada penjelasan. Tidak ada janji jam pulang.
Seeyana menatap layar itu lama, hingga cahaya ponsel meredup sendiri. Dadanya terasa sesak oleh perasaan yang tak ia beri nama. Ia ingin membalas, ingin bertanya, ingin sekadar didengar. Tapi jarinya berhenti di udara. Akhir-akhir ini, setiap pertanyaan selalu berakhir sama—Ravent lelah, Ravent sibuk, Ravent merasa disudutkan.
Ia meletakkan ponsel di meja, lalu duduk kembali. Kursi di seberangnya tetap kosong.
Rumah ini tidak besar. Dindingnya mulai pudar, sofa di sudut ruang tamu sudah agak kendur, dan lantainya berderit jika diinjak terlalu keras. Tapi dulu, tempat ini terasa hangat. Setiap pulang kerja, Ravent akan menyapa, bertanya apa yang Seeyana lakukan seharian, kadang bercanda soal masakannya yang terlalu asin atau kurang pedas.
Dulu.
Kini, yang tersisa hanya kebiasaan menunggu.
Pintu depan akhirnya terbuka hampir tengah malam. Seeyana refleks berdiri. Tubuhnya lelah, matanya perih, tapi ia tetap melangkah mendekat.
Ravent masuk tanpa senyum. Jas kerjanya langsung ia gantung sembarangan, tas dilempar ke sofa. Aroma asing campuran rokok dan parfum yang bukan miliknya ikut terbawa masuk.
“Kamu belum tidur?” tanya Ravent singkat, seolah heran.
Seeyana menelan ludah. “Aku nunggu kamu. Aku masak.”
Ravent menghela napas, membuka kancing kemejanya. “Aku udah makan di luar. Sama anak kantor.”
Kalimat itu jatuh begitu saja, ringan, tanpa rasa bersalah. Seeyana merasakan dadanya mengencang. Ia mengangguk pelan, berusaha tersenyum.
“Oh… ya sudah.”
Ia berbalik ke dapur, membereskan piring tanpa suara. Tangannya sedikit gemetar saat mencuci, tapi ia menahannya. Ia tak ingin pertengkaran malam ini dimulai. Ia terlalu lelah untuk itu.
Ravent masuk ke kamar tanpa menoleh lagi.
***
Pagi datang terlalu cepat.
Seeyana duduk di tepi ranjang, menatap lemari kecil tempat mereka menyimpan pakaian. Sebagian besar bajunya sudah lama—warna-warnanya pudar, modelnya sederhana. Ia tidak pernah keberatan. Sejak awal, ia memang memilih hidup seperti ini. Hidup yang tenang, jauh dari sorotan, jauh dari kemewahan yang pernah ia kenal.
Di meja rias, secarik kertas tergeletak.
Untuk belanja.
Di bawahnya, selembar uang. Jumlahnya tak sampai yang ia harapkan.
Seeyana menghitung cepat di kepalanya. Uang itu harus dibagi untuk beras, lauk, gas, listrik, dan air. Belum lagi kebutuhan mendadak. Napasnya tertahan.
Saat Ravent keluar kamar, Seeyana memberanikan diri bicara.
“Ven… uang belanja bulan ini kayaknya kurang.”
Ravent berhenti sejenak, menatapnya lewat cermin. “Kurang gimana? Aku baru kasih.”
“Listrik sama gas naik. Aku cuma bilang supaya kamu tahu.”
Nada Seeyana lembut, hampir memohon. Tapi Ravent mendengus kecil.
“Yan, kamu harus belajar ngatur. Aku kerja juga nggak gampang. Jangan tiap kali minta.”
Kalimat itu seperti air dingin yang disiramkan ke dadanya. Seeyana terdiam. Ia ingin berkata bahwa ia sudah berhemat sebisa mungkin. Bahwa ia tak pernah membeli apa pun untuk dirinya sendiri. Tapi semua itu terasa percuma.
“Iya,” katanya akhirnya. “Maaf.”
Ravent mengambil tasnya. “Aku berangkat.”
Pintu tertutup. Tanpa pamit. Tanpa menoleh.
Seeyana berdiri di ruang tengah lama setelah suara langkah itu menghilang. Rumah kecil itu terasa terlalu sunyi untuk disebut rumah.
Ia duduk di kursi makan, menatap piring sarapan yang ia siapkan dengan rapi. Tidak disentuh. Lagi.
Siang harinya, Seeyana menghitung uang di dompet sambil duduk di lantai dapur. Jumlahnya menipis. Ia mencoret-coret daftar belanja, menghapus beberapa item. Telur bisa ditunda. Daging minggu depan saja. Ia menghela napas panjang.
Sesaat, ingatannya melayang ke masa lalu.
Rumah besar dengan lantai marmer dingin, meja makan panjang yang selalu penuh hidangan, lampu kristal yang menyala bahkan di siang hari. Di sana, ia tak pernah menghitung uang belanja. Tak pernah memikirkan harga gas atau listrik.
Ia menggeleng pelan, menepis bayangan itu.
Ia memilih ini. Ia memilih Ravent. Ia memilih cinta yang sederhana.
Dulu, Ravent menggenggam tangannya dan berkata, “Aku mungkin nggak kaya, tapi aku bakal bikin kamu bahagia.” Kata-kata itu ia pegang erat, seperti janji suci.
Sekarang, ia bertanya-tanya, kapan janji itu mulai kehilangan maknanya.
***
Malam kembali turun. Hujan rintik membasahi jalanan di depan rumah. Seeyana duduk di ruang tamu dengan lampu redup, ponsel di tangan. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.
Hampir pukul sebelas, suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Jantung Seeyana berdegup lebih cepat. Ia berdiri, melangkah ke jendela, dan mengintip lewat sela tirai.
Di bawah payung hitam, Ravent berdiri. Di depannya—seorang perempuan.
Mereka terlalu dekat. Terlalu akrab untuk sekadar rekan kerja. Perempuan itu tersenyum, menepuk lengan Ravent, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Ravent ikut tersenyum kecil.
Dunia Seeyana seperti berhenti berputar.
Tangannya refleks menutup mulut. Napasnya tercekat. Ia mundur selangkah, punggungnya membentur dinding. Hujan di luar semakin deras, tapi tak cukup menenggelamkan suara detak jantungnya sendiri.
Ponselnya bergetar.
Pesan dari nomor tak dikenal.
Masih percaya dia lembur?
Seeyana menatap layar itu dengan mata membesar. Jari-jarinya gemetar. Ia mengangkat kepala lagi ke arah jendela—dua sosok di bawah payung itu sudah menghilang.
Hanya halaman basah yang tersisa.
Ia duduk perlahan di lantai, punggung bersandar pada dinding. Air matanya jatuh tanpa suara. Untuk pertama kalinya sejak menikah, ia merasa asing di rumahnya sendiri.
Rumah ini masih berdiri. Dindingnya masih sama. Meja makannya masih ada. Tapi kehangatannya perlahan menghilang.
Dan malam itu, Seeyana sadar ada rumah yang masih berdiri,
namun tak lagi menjadi tempat pulang.Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak
Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak
Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb
Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.