Share

Percakapan Selepas Isya

Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama.

"Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang.

"Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam dalam perjalanan hidumu kelak, Nak," jelas Dahnunir dengan suaranya yang tenang.

"Amak juga minta maaf Nak, sebagai seorang Ibu seharusnya tidak egois, sehingga memaksa kamu menikah dengan seseorang yang tidak baik adapnya," sambung Lastri, membuat Nina terharu, hatinya menjadi lebih tenang, tetapi juga gugup karena teringat persetujuan dengan Zul tadi sore.

"Terimakasih Ayah, Amak karena sudah memahami maksud Nina menolak perjodohan dengan Badrul kemarin. Dan, Nina juga minta maaf atas tindakan kasar tadi siang. Jujur, Nina sama sekali tidak bermaksud durhaka kepada Amak,” jelas Nina penuh penyesalan di dalam dirinya.

Ibu dan anak itu akhirnya kembali ke dalam frekuensi yang sama. Permasalahn yang menggantung sudah selesai, tetapi Nina masih saja terlihat gusar, dan tentu saja terlihat jelas oleh Dahnunir.

"Kamu kenapa, Nak? Kenapa terlihat gusar begitu?” tanya Dahnunir, matanya mampu menyelidik ke dalam bola mata Nina.

Gadis yang ditanyai terlihat semakin tegang. Tatapannya berusaha lari dari tatapan Ayahnya. Tangan berjari pendek dengan telapak tangan lebar miliknya mulai memelintir ujung baju, menandakan bahwa dirinya benar-benar sedang risau. Setelah beberapa detik, Nina berusaha mengambil napas panjang, kemudian menghembuskan secara perlahan, berusaha mencari ketenangan di dalam dirinya.

"Ni-Nina ingin menanggapi ucapan Ayah tadi, tentang segera menemukan seorang imam,” ujar Nina ragu.

Kening Dahnunir dan Wati serentak mengernyit. Mereka berdua menyadari ada sesuatu yang aneh dari ucapan Nina barusan, tetapi bukan tentang sesuatu yang buruk atau penolakan lagi.

Nina kembali mengambil napas panjang dan mengeluarkan secara perlahan. “Jika boleh memilih dan mengambil keputusan, Nina berniat untuk … untuk—“

“Untuk?” Serentak Dahnunir dan Lastri, tubuh mereka sedikit condong ke arah Nina karena suara anak itu terdengar semakin kecil.

 “U-Untuk menikah dengan Zul," ucap Nina cepat, matanya terpejam menahan rasa takut jika kedua orang tuanya menolak niat baik ini.

"Masyallah Nak? Kamu sedang tidak bercanda kan?" tanya Lastri antusias, tangannya segera meraih tangan Nina dan menggenggam erat.

"I-insyaallah Mak. Tadi sore Zul memberi tahu Nina niat baik tersebut, dan Aku menyetujuinya. Apakah Ayah dan Amak setuju jika Nina bersama dia?" tanya Nina gugup.

"Tentunya kami ikut setuju Nina, kamu tahu mana yang terbaik bagimu, dan Zul adalah pemuda yang baik untuk dijadikan imam. Benarkan Wati?" tanya Dahnunir meminta persetujuan istrinya.

Wati mengangguk dengan semangat, matanya berlinang, tangannya segera menarik tubuh Nina untuk mendekapnya. "Terimakasih Nak, Amak bahagia atas pilihanmu."

Tak jauh berbeda dengan Wati, Nina pun ikut memeluk erat tubuh Amaknya. Air mata gadis itu ikut turun beriringan dengan rasa bahagia dan haru atas kabar baik ini. "Iya Mak, Nina harap ini juga pilihan terbaik dan diridhoi Allah."

Sama halnya dengan suasana di rumah Zul, kini anak laki-laki pertama dari tiga bersaudara itu tengah duduk bersama Ibu, Ayah, dan dua adik perempuannya. Berbincang selepas sholat Isya juga menjadi kebiasaan keluarga ini, Ayah Zul—Ridwan—pasti selalu bertanya tentang keseharian anak-anaknya atau sekedar memberikan nasihat tentang hidup. Namun, malam ini lebih menegangkan dari malam-malam sebelumnya, Zul yang meminta untuk segera berkumpul masih bergeming sembari menunduk di ruang tengah rumahnya.

"Ada masalah apa Nak?" tanya Upiak—Ibunya Zul.

Zul segera menaikkan pandangannya, matanya menatap mata Upiak yang teduh. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu masih menunggu anak sulungnya untuk menjawab.

"Awak ingin menyampaikan kabar baik kepada Ibu, Ayah, dan si Kembar," ucap Zul memulai percakapan malam ini.

"Kabar baik apa Yuang [panggilan anak laki-laki Minang]?" Kali ini Ridwan yang angkat bicara, rasa penasaran terlihat di sorot mata laki-laki berusia lima puluh tahun itu, sebab tak biasa Zul meminta berkumpul. Sangat berbeda dengan anak kembarnya—Dina dan Dini—yang setiap hari ada saja masalah yang diceritakan, padahal masalah yang mereka anggap penting hanya perihal kegalauan remaja berusia lima belas tahun tentang Nak Bujang ganteng dari desa sebelah.

Berbeda dengan Ayah mereka, Dina dan Dini malah terlihat berbisik seperti tahu apa yang akan dibicarakan Udanya. Mata kedua gadis itu bergantian melirik Zul yang ikut menatap mereka dengan aneh.

"Jadi begini, Awak sudah hendak menikah dan—”

"Nah! Kan, betul kita!" ucap Dina dan Dini serentak, memotong ucapan Uda mereka. Gadis-gadis tersebut terlihat sangat heboh dan antusias sampai-sampai  sang Ayah melirik mengisyaratkan agar segera diam.

"Apakah kamu sudah ada calon Yuang?" tanya Upiak pelan. Suaranya yang lembut menjadi pelengkap jiwa keibuan yang menjadi ciri khasnya.

"Sudah Bu, Awak hendak menikahi Nina dan sudah Awak utarakan tadi," jawab Zul tanpa ada sedikit keraguan di dalam dirinya.

"Nah! Benar lagi!" Serentak si Kembar membuat suasana serius di rumah menjadi lebih hangat.

Zul tak bisa menahan senyum melihat tingkah adiknya, kepala laki-laki itu menggeleng. "Kalian pasti mendengar percakapan Uda dan Uni Nina tadi ya?" terka Zul membuat kedua adiknya cengengesan.

"Dasar kalian," ucap Zul, tak bisa berkata apa-apa lagi dengan dua adik ajaib bertingkah unik ini. Untung saja dia berteman dengan Nina dari dulu, sehingga tidak terlalu terkejut menghadapi kedua adiknya.

"Bagaimana Ibu, Ayah? Apakah Awak mendapatkan restu?" Ekspresi wajah Zul berubah menjadi serius.

Ridwan dan Upiak saling menatap lalu tersenyum hangat. Merek berdua mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ dari pertanyaan Zul.

"Nina adalah pilihan yang tepat untuk kamu, Yuang," ucap Upiak.

"Benarkah, Bu?"

"Iya Yuang, perempuan dengan pemikiran terbuka seperti dia akan memberikan perubahan yang besar nantinya, dan Ibu juga sudah menduga kamu menaruh hati kepadanya sejak dulu," goda Upiak.

Zul tersipu malu ketika perasaan yang selama ini disembunyikannya malah terang-terangan dibongkar oleh Ibu sendiri. Namun, dia juga merasa bahagia bahwa kedua orang tua bahkan adiknya setuju dan juga menyukai Nina.

---

Sadaqallahul azim ...

Suasana di dalam surau tuo mulai terlihat lengang ketika anak-anak yang mengaji sudah asik bermain di halaman surau. Dahnunir terlihat sedang duduk di dekat mimbar tempat berceramah di hari Jum’at, matanya terlihat membaca tafsir qur’an di depannya. Berbeda dengan Zul yang masih sibuk memindahkan meja panjang untuk mengaji ke bagian belakang surau. Setelah meletakkan meja tersebut, Zul segera berdiri tegap menghadap jendela surau yang terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan aliran sungai kecil berjarak 5 meter dari surau.

“Kamu kenapa?”

“WAH!” teriak Zul terkejut mendengar pertanyaan dari Dahnunir yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya.

“Istighfar, bukan ‘WAH’,” ledek Dahnunir.

“I-iya Buya. Astaghfirullah hal ‘azim,” ucap Zul malu, tangannya menggaruk kepala bagian belakang.

“Kamu ada masalah apa? Kenapa terlihat risau dari tadi?” tanya Dahnunir pelan. Matanya memandang dalam ke bolah mata Zul.

Zul tersenyum ketika usahanya untuk terlihat tidak grogi, ternyata terlihat jelas oleh guru mengaji sekaligus guru silatnya ini. “Awak hendak mengajak Buya berbicara tentang masalah yang sangat pribadi bagi awak,” ujar Zul pelan.

Dahnunir tersenyum. “Silahkan bicara kalau begitu.”

“Jadi begini, mungkin … awak terdengar lancang dan terlalu percaya diri, tapi awak memilik niat baik untuk menikahi anak Buya, Nina,” jelas Zul tegas, matanya ikut menatap dalam ke bola mata Dahnunir.

Dahnunir tersenyum tipis, tangannya masih terlipat di belakang punggung. “Apa alasanmu ingin menikahi Nina?”

Zul terdiam untuk beberapa detik, matanya melirik ke arah kanan menandakan sedang berpikir. Perlahan kepalanya kembali tegak, dan tatapan matanya kembali terarah kepada Dahnunir.

“Apakah mencintai seseorang butuh alasan Buya?” tanya Zul sedikit bingung.

“Menurut kamu bagaimana?” tanya Dahnunir, mengembalikan pertanyaan tadi kepada pemuda di hadapannya.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Zul terlihat lebih yakin. Matanya menatap tegas Dahnunir. “Menurut awak … mencintai sesorang itu tidak perlu alasan. Cinta adalah perasaan murni dan suci yang difitrahkan kepada manusia, jika itu memiliki alasan berarti bukan cinta, hanya sekedar hawa nafsu belaka. Dan, jika cinta memang harus memiliki sebuah alasan, bukankah ketika alasan itu sudah terpenuhi, maka cinta akan hilang?”

Dahnunir cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan Zul. Senyumnya semakin melebar. Tangan kekar milik guru ngaji utama itu sudah berada di pundak Zul. Menggenggam dengan penuh keyakinan.

“Dan alasan kamu ingin menikahi Nina?” tanya Dahnunir dengan suara yang tegas.

“Karena saya ingin hidup bersamanya, dan … saya mencintainya karena Allah,” jawab Zul sama tegasnya.

Genggaman tangan Dahnunir mulai melunak. Tubuhnya kembali tegak dengan tatapan yang lebih rileks kepada Zul. “Baiklah, kalau begitu beritahu keluarga dan Mamakmu bahwa Sabtu besok saya dan Mamaknya Nina akan datang untuk melaksanakan lamaran dan prosesi batuka tando. Saya memberikan restu atas pilihanmu dengan Nina.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Zul merasakan bahagia bercampur haru yang luar biasa. Senyumnya terbentang lebar mendengar jawaban dari Dahnunir.

“Baiklah, terimakasih Buya,” ucap Zul pelan, sembari menahan air mata yang tergantung di kelopak matanya.

Dahnunir tersenyum, tangannya segera merangkul Zul dengan erat dan hangat. “Saya percaya denganmu, Nak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status