Share

Perempuan Tanah Adat
Perempuan Tanah Adat
Author: Zuinal 'Aini

Namanya Nina

(1 Juni 1976)

“Bu! Bu Bidan!” 

Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. 

“Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan yang diterbangkan oleh angin. 

“Waalaikumsalam.” 

Akhirnya suara Bu Bidan terdengar juga. Lampu ruang depan yang tadinya gelap, sekarang sudah terang. Suara kunci rumah yang terbuka pun membuat Lastri tak sabar.

“Bu Bidan ... Uni Wati mau lahiran, dia sudah kontraksi sejak setengah jam yang lalu. Tolong Bu Bidan!” papar Lastri terburu-buru, dia tidak ingin mengulur waktu, takutnya terjadi hal-hal buruk terhadap Uni (Kakak perempuan) dan calon keponakannya. Tanpa menunda waktu, Lastri dan Bu Bidan segera berjalan cepat menerpa hujan yang semakin lebat. Kilat sudah tidak ada lagi, tetapi suara gemuruh masih saja bersautan di ujung langit.

“Ayo Wati! Tarik napas lagi ... satu ... dua ... tiga.” 

Instruksi dari Bidan diikuti Wati beriringan dengan rasa sakit yang sedang dia tanggung. Tangan kirinya mencengkram erat tepian dipan tempat dia bersalin, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat tangan Dahnunir, suaminya yang juga terlihat mengikuti intruksi Bu Bidan. Setelah perjuangan yang cukup lama, akhirnya suara bayi perempuan berhasil mengalahkan gemuruh yang masih bersenandung malam itu.

Dahnunir segera meraih bayi perempuannya dari tangan Bidan. Iqomah berkumandang sangat indah di rungan persegi berdinding papan, tempat Wati mempertaruhkan nyawanya selama proses bersalin tadi. Tangisan lantang dari bayi kecil yang diberi nama Nina itu mampu menenangkan perempuan berumur dua puluh satu tahun yang masih terkulai lemas di atas dipan. Air matanya masih saja mengalir membasahi pipi sedari tadi, rasa sakit yang dia terima selama proses persalinan tadi lenyap seketika. Rasa bahagia sangat tergambar dari sorot matanya yang masih terlihat lemah. Senyum paling indah dia hadiahkan kepada dirinya karena sudah menjadi ibu ketika melihat makhluk munyil yang sedang diiqomahkan itu bergelinjat di tangan Dahnunir.

---

“Nina! Turun! Ya Allah Nak ... kau gadih, jan mode laki-laki parangai Nak.” [Kamu anak gadis, jangan bertingkah laku seperti laki-laki] Suara lantang dari Wati di sore hari dekat surau tempat suaminya mengajar mengaji bukanlah hal langka bagi masyarakat sekitar, termasuk Nina yang sudah berusia sepuluh tahun.

Nina tersenyum dari atas pohon jambu biji, menatap Amaknya yang membawa kayu rotan. Cengiran dari bibir tebal milik gadis tomboy itu berhasil membuat hati Wati samakin kesal. 

“Kalau Nina turun, janji dulu jan dilacuik (jangan dipukul),” memelas Nina dengan wajah pucat bercampur cemas. Dia hapal betul, kalau Amaknya sedang marah sambil membawa rotan berarti ada jatah biru di tangan atau kakinya saat itu juga.

Perempuan berumur tiga puluh satu tahun itu menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti kenapa anak gadisnya seperti ini, keras kepala, terlalu bersemangat dengan pikiran-pikirannya, seperti ingin jago silat sehebat Ayahnya yang juga seorang guru silat, ingin merantau ketika sudah lulus sekolah nanti, dan satu dari banyak mimpinya adalah menjadi guru, menjadi seperti Kartini yang hebat dalam membagi ilmu yang ada padanya kepada lingkungan. Mimpi Nina yang seperti itu terlalu bertolak belakang dengan kodratnya sebagai perempuan. Belum lagi dengan prinsip Amaknya yang kental akan adat istiadat. Wati lebih ingin anak perempuannya lebih lemah lembut dan kalem, belajar mengaji sambil belajar memasak dan mengikuti acara-acara adat yang sering diadakan di jorong tempat dia tinggal.

“Nina ... turun Nak,” pinta Dahnunir pelan. 

Suara hangat Ayahnya mampu membuat wajah cemas tadi langsung berubah ceria, senyum lebar dari bibir Nina memperlihatkan kecantikan alami khas perempuan Minang, turunan Amaknya. Mata gadis itu sayu, tetapi iris mata khas bewarna hitam selalu terlihat tajam. Hidungnya tidak terlalu mancung dan tidak terlalu pesek, cukup membantu Nina kecil agar terelak dari ejekan anak-anak kampung yang sering mengejek hidung pesek bagi pemilik hidung pesek di sana. Alis hitam tegas turunan Ayahnya memperkuat tatapan mata Nina dan rambut hitam pekat lurus serta warna kulit sawo matang membuatnya terlihat akan menjadi salah satu primadona kampung nantinya. Namun, karena sifatnya yang terlalu berani membuat harapan Wati buyar. Teguran para tetangga semenjak Nina kecil untuk mengubah sikap anak semata wayangnya itu semakin membuat Wati tertekan. Bisa-bisa tidak ada Anak Bujang (Laki-laki yang belum menikah) mau menikahinya nanti, begitu bisik tetangga kepadanya.

--- 

“Amak! Ayah! Nina lulus!” Teriakan itu menggema hebat ke seluruh ruangan di rumah gadang ini, mulai dari ruang depan menjalar ke ruang tengah, ruang kamar bahkan dapur yang terletak di belakang rumah.

Wati dan Dahnunir yang tengah bercakap di ruang tengah sembari mendengar lagu dari radio sore itu, ikut tergelenjak ketika deru kaki Nina yang sedang berlari menuju mereka mampu membuat rumah berbahan kayu ini bergetar. Nina yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas beberapa bulan lalu, akhirnya mendapatkan informasi bahwa dia lulus seleksi masuk kuliah jalur PMDK dari surat kabar yang diterimanya hari itu. Sesuai harapan, dia lulus di IKIP Padang (UNP saat ini) dengan jurusan D2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar. 

Dahnunir memandangi anak gadis semata wayangnya penuh bangga. “Alhamdulillah Nak, Ayah bangga sama kamu.” 

Nina mengangguk, menyetujui pernyataan dari Ayahnya. Senyum penuh semangat khas miliknya terbentang dengan sorot mata yang berbinar. Namun, senyum dan sorot mata itu sedikit pudar ketika Nina mendapati Amaknya yang tidak terlalu menyukai kabar baik tersebut.

“Amak? (Ibu?)” panggil Nina pelan.

Sebenarnya suara gadis itu sedikit bergetar menahan tangis melihat ekspresi Wati. Gadis berambut sebahu itu tahu betul bahwa Amaknya masih menentang keras dirinya untuk kuliah dan menjadi guru.

Wati beralih menatap anak gadisnya yang ikut murung melihatnya. “Kamu yakin, Nina? Mau kuliah?” tanya Wati, suaranya lemah mengisyaratkan bahwa dia berharap anak gadisnya mau berubah pikiran.

Mata hitam milik Nina menatap lekat-lekat Amaknya. Sekarang dia sudah berjongkok sembari menggenggam hangat tangan Wati yang mulai keriput. Kepalanya mengangguk pasti. Sorot matanya kembali berbinar. 

“Nina yakin Mak. Amak percaya sama Nina ya? Setelah kuliah ini selesai, Nina akan menikah kok. Sekarang Nina masih sembilan belas tahun, terlalu muda untuk menikah,” papar Nina meyakinkan perempuan paruh baya yang masih terlihat gusar.

“Tapi Nak—“

“Benar kata Nina, Wati.” Kali ini Dahnunir yang angkat bicara. Tatapan hangat dari laki-laki yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun pernikahan, berhasil membuatnya sedikit lebih tenang.

“Anak gadis kita masih terlalu muda untuk dinikahkan, biarlah dia mencari ilmu sebagai bekal untuk menjadi istri dan ibu yang baik nantinya,” jelas Dahnunir. Tangannya yang lebar mengusap lembut pundak istrinya. 

Wati akhirnya mengalah. Pertahanannya kembali runtuh setelah beberapa kali dibujuk suaminya untuk menuruti keinginan Nina. Mulai dari belajar silat, ikut Ayahnya menjadi guru mengaji, ikut seleksi masuk perguruan tinggi, dan sekarang harus mengikhlaskan anaknya merantau ke Padang untuk kuliah, dan akan semakin jauh darinya. Meski berat hati dan harus menebalkan telinga dari omongan tetangga, Wati merasa masih bisa mengubah anak gadisnya menjadi sedikit lebih kemayu, dan selama Nina kuliah, perempuan itu berencana mulai mencarikan jodoh. Berharap Nina bisa merubah pikiran, setidaknya menikah saat masih kuliah bukanlah masalah.

--- 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status