Share

Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api
Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api
Author: Embunayu

Chapter 1: SENDIRI

Author: Embunayu
last update Last Updated: 2024-11-15 19:20:32

Suara teriakan Karna menggema di tengah hutan akibat tamparan yang pria itu terima dari adiknya, Sisupala. 

Kekuatan penuh tenaga dalam itu membuat tubuh Karna terhuyung ke depan dan memuntahkan seteguk darah dari mulutnya. 

Kepalanya terasa berputar dan tubuhnya lemas. 

Berburu di hutan merupakan kegiatan rutin yang dimaksudkan untuk berlibur dari latihan ketat para murid. Namun, Karna tak menyangka kalau dia akan dijadikan sebagai samsak hidup oleh adiknya sendiri.

Karna berusaha melawan dengan menggerakkan tangannya ke sana kemari, tapi tubuhnya terkunci dan tak bisa melakukan apa-apa. 

Sebab, beberapa rekan seperguruannya yang juga teman dekat Sisupala memegangi tangan dan pundaknya dengan tenaga dalam yang mereka kuasai.

“Lepas!!” 

Tak adanya hasil membuat Karna menggeram.

Meski dia bisa membela diri dengan kekuatan fisik yang mumpuni, tapi dia tetap tak bisa mengimbangi kekuatan mereka yang masing-masing sudah mencapai tingkat kanuragan menengah.

Di saat-saat seperti ini, Karna sangat membenci diri sendiri karena tidak memiliki tenaga dalam sama sekali.

Tak hanya perciknya, inti tenaga dalamnya saja tidak ada!

“Kau tahu apa yang paling memalukan dalam hidupku? Itu adalah saat aku harus berbagi darah dengan orang sepertimu! Jangan pernah sekalipun kau berani menyebut dirimu kakakku—aku tak sudi!!”

Sisupala memandang benci ke arah Karna yang telah tersungkur dengan mulut penuh darah.

Karna adalah anak pertama dari Raja Durwasa dan Bunda Ratu Maharani, yang dipandang sebelah mata oleh orang tuanya. Tubuh lemah dan tanpa tenaga dalam, adalah sebab dimana dia dicap ‘Pangeran Sampah’.

Pemandangan buruk yang sering dilihat oleh anak- anak yang lain, tapi tidak ada satupun anak yang berani untuk berteman dengan Karna. Sebab, tenaga dalam yang dimiliki Sisupala merupakan salah satu yang istimewa.

Sebagai putra kedua yang berbakat, dia diperlakukan lebih istimewa dari Kakaknya. Bahkan, bakat alami dalam dirinya membuat Sisupala berhasil mendapatkan gelar Putra Mahkota meski dia merupakan anak yang lahir setelah Karna.

“Apapun sebabnya, kamu tetap lebih muda dariku, Sisupala! Kamu tidak pantas melakukan ini!” Karna mencoba membela harga dirinya meski sudah terinjak lebih dari ribuan kali.

“Tak peduli berapa umurmu, hanya orang kuat yang bisa menjadi pangeran dan diakui keberadaannya sebagai manusia! Kamu tak lebih dari sekedar onggokan daging yang hidup!!” 

Usai berkata demikian, Sisupala mengunci lengan Karna dan memutarnya ke atas dengan tenaga dalam yang ia punya. 

Penuh kebencian.

Tindakan itu membuat tangan Karna patah dan terputar dengan bentuk yang tak normal.

AAARRGGHHHH!!!

Teriakan Karna kembali menggema dan membuat burung-burung merpati yang hinggap diatas pohon berterbangan. Seakan menyiratkan sakit yang dirasakan olehnya.

Sisupala mengambil keris kecil di samping pinggangnya Kemudian menyayat tangannya dengan sengaja dan berkata,

“Kita lihat bagaimana nasibmu setelah ini, Karna. Apa kamu masih bisa hidup? Apalagi setelah menyerang Putra Mahkota sepertiku!”

Sisupala beranjak pergi setelah meludah sekali tanpa menatap ke tempat Karna yang sudah berguling di tanah dengan tangan kiri yang terkulai.

Di dunia bela diri seperti ini, tenaga dalam adalah kunci dari keberhasilan sekaligus martabat sosial. 

Karna yang terlahir tanpa inti tenaga dalam sudah pasti merasakan perlakuan sosial timpang ini tanpa bisa membalas dengan layak meski kemampuan bela dirinya merupakan salah satu yang terbaik.

***

"Ayahanda, aku benar-benar tidak mengerti kenapa Pangeran Karna tega melakukan ini padaku. Aku hanya mencoba membela diri!" ujar Sisupala dengan suara gemetar. 

Di hadapannya kini duduk dengan agung Ayahandanya, Raja Durwasa, yang memandang mereka tajam.

Sisupala lalu melirik ke arah Karna dengan tatapan penuh rasa sakit, seolah-olah ia adalah korban yang menderita.

"Pangeran Karna tiba-tiba menyerangku di hutan dan berkata bahwa aku telah merebut gelar Putra Mahkota darinya. Aku mencoba menenangkannya, tapi... tapi dia semakin beringas. Padahal semua orang pun tahu kalau Ayahanda adalah orang yang memberikannya padaku." 

Mendengar itu, Karna yang duduk bersimpuh dengan tangan yang di-gips langsung menatap Sisupala dengan tatapan tak terima.

“Itu tidak benar! Ayaha–”

“DIAM, KARNA!”

Raja Durwasa memotong perkataan Karna yang terlihat ingin protes. Ia lalu memandang Sisupala dan mempersilakan pemuda itu berbicara lagi. 

Dalam tunduknya, Sisupala menyeringai sebelum kembali berkata dengan nada memelas. 

"Apabila Pangeran Karna tidak terima, tolong cabut kembali gelar itu, Ayahanda. Aku tak ingin persaudaraan kami berakhir karena masalah seperti ini!!" 

“Ah!” 

Ujar berkata demikian, Sisupala meringis kesakitan karena luka sayatan yang ada di lengan kirinya.

“Sisupala, anakku kau terluka?!” Ratu Maharani berlari mendekat dan memegang tangan Sisupala cemas. “Keterlaluan!!! Karna! Bisa-bisanya kamu melukai adikmu seperti ini? Dia adalah Putra Mahkota!!” 

Ibu Ratu marah sambil menunjuk-nunjuk Karna. 

Dengan masih merasakan sakit yang tidak dapat digambarkan lagi, Karna berusaha untuk menyelamatkan diri. Sebab, perkataan Ibunya itu jelas mempertegas fakta bahwa dia telah menyerang calon raja.

“Ayahanda, semua yang dikatakan oleh Pangeran Sisupala itu tidak benar! Dialah yang lebih dulu–”

“Aku tidak mau dengar penjelasan apapun lagi. Dari dulu kamu memang selalu berusaha untuk mencelakai Sisupala, tapi sekarang kondisinya berbeda. Dia adalah Putra Mahkota! Penerusku di kerajaan ini!”

Raja Durwasa tidak mau lagi mendengar apapun dari Karna. “Kamu yang merupakan seorang Pangeran pasti tahu apa hukum menyakiti Putra Mahkota, Karna.!”

“Tidak, Ayahanda! Kamu sudah ditipu olehnya!” 

Mendengar perkataan itu, Karna membelalak dan kini tubuhnya sudah bergetar hebat. Hatinya sakit, apa dia memang harus berakhir seperti ini?

Perdana Menteri dan para tetua yang melihat ini segera bangkit berdiri untuk melindungi Karna. 

Sebab, mereka juga tahu apa hukuman yang akan diterima Karna di balik benar atau tidaknya perkataan Sisupala itu.

Hukuman mati.

Perdana Menteri Danutra maju selangkah,“Mohon ampun, Tuanku Raja. Seberat apa pun perlakuan Pangeran Karna, dia masihlah darah daging Tuanku Raja. Dia adalah Pangeran. Tidak baik apabila Kerajaan menghukum mati pangeran sendiri, Tuanku!!”

Perdana Menteri Danutra adalah anak dari Raja sebelumnya dengan seorang selir. Kebijaksanaan dan kepandaiannya amat diperlukan untuk keseimbangan Pemerintahan Kerajaan.

“Tidak, Tuanku Raja! Tindakan Pangeran Karna memang sudah keterlaluan! Jika dibiarkan, bisa saja dia akan kembali membahayakan lagi Pangeran Sisupala! Hukuman mati adalah yang terbaik untuknya!” 

Adipati Situmba, paman dari Karna dan Sisupala berkata sambil melirik Karna dengan sinis.  

Situmba adalah kerabat Ratu Maharani yang sangat menyayangi Sisupala. Dia adalah salah satu pihak yang mendukung Sisupala untuk menjadi Putra Mahkota.

“Sudah cukup! Sampai kapan pun, hukuman mati terhadap putra-putri Raja memang sebaiknya tidak dilakukan, Tuanku Raja! Namun, agar tindakan ini tak terjadi lagi, sebaiknya  Pangeran Karna menerima hukuman dengan pergi meninggalkan istana!!”

Salah seorang Tetua membungkuk dalam ke arah Raja Durwasa. Sebab, sudah tugasnya melindungi darah Raja demi kestabilan perusahaan.

“Baiklah! Demi kestabilan Kerajaan Karmapura dan keselamatan penerus raja, Pangeran Karna akan diperintahkan untuk pergi dari istana dan jangan pernah kembali!” ucap Raja Durwasa.

Perkataan Raja yang mutlak membuat beberapa orang prajurit segera menarik Karna dan membawanya pergi dari kerajaan.

"Aku harus kemana sekarang?"

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
tutut h
rekomendeddd
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 62 : BAYI YANG LAHIR DARI KETAKUTAN

    Karna terdorong mundur. Nafasnya berat. Tubuhnya seolah membeku saat serangan Sindu menghantam tepat di atas dadanya.Tapi luka itu bukan sekadar fisik. Ada sesuatu yang terbangun—sebuah rasa yang selama ini ia pendam tanpa nama.Dunia di sekitarnya memudar. Suara gemuruh pertarungan menghilang.Lalu... muncullah sekelebat cahaya. Hangat, tapi juga menyakitkan. Karna mencoba menahan pelipisnya, kini sebuah ingatan yang bukan miliknya,perlahan terbuka.---Dua puluh tahun lalu.Langit pagi yang menyala redup.Di dalam kamar kerajaan yang luas tapi sepi,Ratu Maharani duduk sendirian di tepi ranjang.Tangannya menyentuh perutnya yang baru mulai membesar.Ia seharusnya bahagia.Ia mengandung anak pertamanya. Anak dari seorang raja.Tapi entah mengapa, sejak hari itu… hatinya gelisah.Sudah tiga malam ia bermimpi.Mimpi yang terasa begitu nyata, sampai ia tak bisa membedakannya dari kenyataan.Dalam mimpi itu, ada seorang lelaki—tinggi, tak bisa dilihat wajahnya dengan jelas. Tapi tatapa

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    CHAPTER 61 : SEGEL TERAKHIR

    Sindu—pria bertopeng yang menyimpan dendam membara terhadap garis keturunan Karmapura—mengangkat satu tangannya, dan seketika para anggota Bayang Niraka mengepung dari segala arah. Matanya yang tersembunyi di balik topeng memantulkan hawa haus kekuasaan. Ia bukan hanya dalang dari kehancuran masa lalu, tapi juga pengatur napas kekacauan saat ini.Tanpa aba-aba, serangan pertama datang dari arah kiri. Karna menebas cepat dengan pedang apinya, membelah serangan sembari bergerak memutar, melindungi Rushali di belakangnya. Kilatan cahaya dari senjatanya menyapu udara, menciptakan percikan api yang menyilaukan. Nafasnya berat, tapi fokusnya tak tergoyahkan.“Beraninya kau memaksakan pilihan padaku!” bentak Karna sambil menangkis serangan berikutnya. Trang !Trang !“Rushali bukan pusat dari semua ini! Langkahi aku dulu, kalau kau berani!” Tangan Karna mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih, dan satu sabetan telak menghempas musuh ke tanah.Sindu melangkah pelan, tenang namun men

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    BAB 60 : PANGGILAN DARAH

    Dua tahun berlalu dalam bayang-bayang penyamaran, Karna akhirnya berhadapan langsung dengan sosok yang menjadi kunci utama dalam pencarian artefak-artefak itu.Dari balik topengnya, sang pemimpin sekte mencium keberadaan Karna dan Rushali.“Haha... haha…!” Tawanya menggema, mencoba menebar ketakutan.“Bodoh! Kalian pikir hanya karena kalian bersembunyi aku tak bisa merasakannya?”Rushali menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Namun ia sedikit lega.“Dia belum benar-benar melihat kita… syukurlah…” bisiknya nyaris tak terdengar.Pedang Karna bergetar, genggamannya semakin erat.“Arahkan aku pada bola itu, biar aku membantumu mengambilnya,” bisik suara dari senjata itu, menggema dalam benaknya.Seketika, Karna membeku. Ia memusatkan fokus, mengumpulkan energi di tengah gelapnya goa yang berbau belerang, dipenuhi stalaktit yang menggantung tajam di langit-langit.Perlahan, ia mengangkat pedangnya. Energi biru, samar seperti asap, mengalir dari bilah pedang, menyusup di antara udara

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    BAB 59 : ILMU SUKMAVIBHAGA

    Gertakan kasar menggema dari mulut goa.“Serahkan diri kalian sekarang, atau kalian mau mati!”Karna tidak langsung bergerak, dibalik wajahnya yang tegang, Karna menarik nafas—mencoba tenang. Di balik ancaman itu, ia mendengar sesuatu yang lain—suara yang datang bukan dari lawan, sepertinya hanya dirinya yang bisa mendengarkan itu."Pastikan rencana berhasil. Nyawa Karna harus melayang!” bisik suara itu.Suara itu dingin, nyaris seperti bisikan dari tulang belulang. Tapi jelas… itu bukan halusinasi. Tak lama kemudian pedang agungnya berpendar, berbisik kepadanya.“Pangeran, inilah saatnya menggunakan Ilmu Sukmavibhaga!Karna mengerjap. Sebenarnya dirinya masih ragu, ilmu yang belum ada sehari dia kuasai bersama Rushali. “Haruskah sekarang?” tanya Karna didalam benaknya.“Ini bukan saatnya untuk ragu Pangeran! Percayalah bahwa ini saatnya menguji ilmu yang kau pelajari semalaman!”Pandangannya menembus keluar goa, Karna memejamkan mata, tak terasa tangannya pun mengepal. Bagaikan kek

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 58 : PENYATUAN JIWA : KEKUATAN BARU

    Saat energi mereka mulai menyatu, Karna merasakan sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya mengalir dalam dirinya. Pandangannya tak lagi sekadar melihat; ia menangkap getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ketika menatap Rushali, dunia di sekitarnya seolah berpendar—dan sebelum bibir gadis itu bergerak, ia telah mendengar bisikannya. "Kau bisa mendengar ku?" tanyanya pelan. Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga." Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya. "Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya. Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna. Sekejap kemudian, ia muncul kembali di sisi lain, s

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 57 : PELARIAN SEMENTARA

    Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah gravitasi kehilangan kuasanya. Serpihan-serpihan kecil berputar lembut di udara, mengelilingi Rushali seperti tarian cahaya. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh hasrat melindungi Karna. Dengan gerakan refleks, dirinya mengangkat tangan. Saat itu juga, batu-batu besar terangkat tinggi dan menghantam dinding dengan keras, membuka jalur keluar yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, rasa takut perlahan menyusup. “Aku... Aku tidak tahu apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status