Share

Perjalanan Menjadi Yang Terkuat
Perjalanan Menjadi Yang Terkuat
Author: Sandoos

Takeshi

Di sebuah desa kecil yang terhampar di lereng gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Takeshi. Dari kecil, Takeshi telah dibesarkan di Dojo kecil yang bernama "Byakko Battodo"di desa itu. Aliran Dojo yang mengutamakan kecepatan dan kekuatan, dengan gerakan-gerakan yang terinspirasi oleh harimau putih, simbol kekuatan dan keberanian. Takeshi bermimpi untuk menjadi seorang pendekar pedang yang hebat, seperti yang sering digambarkan dalam cerita-cerita legendaris yang didongengkan oleh orang tua desa.

Takeshi adalah sosok yang teguh dan bersemangat, meskipun sering dianggap terlalu naif oleh rekan-rekannya yang lebih tua. Wajahnya yang penuh dengan semangat dan mata yang berbinar-binar ketika mendengar kisah-kisah pahlawan zaman dulu menjadi ciri khasnya. Namun, di balik keberaniannya, Takeshi masih belum memiliki keterampilan yang cukup untuk dianggap serius sebagai seorang pendekar.

Di Dojo, Takeshi sering menjadi sasaran cemoohan dari rekan-rekannya yang lebih mahir dalam seni bela diri. Mereka meremehkan tekadnya yang kuat, menyebutnya sebagai "pemimpi bodoh" yang tidak mampu menghadapi kenyataan kejam dunia luar. Meskipun begitu, Takeshi tidak pernah kehilangan semangatnya. Baginya, impian menjadi seorang pendekar pedang bukanlah sekadar fantasi kosong, tetapi tujuan hidup yang sesungguhnya.

Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Takeshi memiliki keyakinan bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan jalan menuju kehebatan yang dia idamkan. Dan inilah kisah awal dari perjalanan seorang pemuda desa yang ingin menjadi pendekar samurai legendaris.

Di pagi yang cerah itu, ketika berumur 12 tahun, Takeshi memasuki halaman Dojo dengan semangat yang membara. Namun, senyumnya memudar saat dia melihat sekelompok rekan-rekannya sedang berkumpul di pojokan, dengan tatapan yang penuh dengan celaan dan sindiran.

"Hah, lihat si pemimpi bodoh datang lagi," kata Kaito, salah satu murid yang sering membuat kelompok lain tertawa. "Apa yang kau impikan hari ini, Takeshi? Mungkin kau berharap tiba-tiba menjadi pendekar pedang dalam semalam?"

Takeshi menahan diri untuk tidak merespon dengan marah. Dia telah terbiasa dengan perlakuan seperti ini, tetapi itu tidak membuatnya lebih mudah untuk ditanggung.

"Sudahlah, biarkan dia," ujar Hiroshi, seorang murid lain yang agak lebih bijaksana. "Mungkin dia akan belajar bahwa impian itu tidak cukup untuk bertahan hidup di dunia ini."

Takeshi memilih untuk berjalan melewati mereka tanpa berkata apa-apa, tetapi hatinya terasa berat. Dia ingin membuktikan bahwa mereka semua salah tentang dirinya, tetapi kadang-kadang rasa putus asa hampir mengalahkan semangatnya.

Setelah latihan pagi selesai, Takeshi duduk sendirian di sudut Dojo, memperhatikan latihan sesi lain yang sedang berlangsung. Dia berpikir tentang apa yang bisa dilakukannya untuk meningkatkan keterampilannya, tetapi setiap ide yang muncul terasa begitu tidak memadai.

Tiba-tiba, suara gemuruh dari luar memecah keheningan. Takeshi melihat keluar dan melihat sekelompok anak desa lainnya sedang bermain dengan riangnya di luar Dojo. Mereka tertawa dan berlari-larian, tanpa beban yang membebani seperti yang dirasakannya.

'Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?' gumam Takeshi dalam hati. 'Kenapa aku harus menjadi bahan tertawaan?'

Setelah itu mereka di beri pelajaran tentang moral oleh guru mereka bernama Katsuo, dia berkata. "Seni pedang bukanlah mainan, Ini adalah tanggung jawab yang besar dan berat."

"Kami mengerti guru," jawab para murid dengan semangat.

Katsuo mengangguk dengan tenang. "Baiklah, jika kalian memang bersungguh-sungguh ingin menjadi pendekar pedang, ingatlah, seni pedang bukan hanya tentang memotong atau menusuk. Itu tentang kebijaksanaan, keberanian, dan menghormati kehidupan."

Selama bulan-bulan berikutnya, para murid termasuk Takeshi menjalani pelatihan yang intensif dengan Katsuo. Mereka berlatih di pagi buta dan malam hari, di bawah sinar matahari yang menyengat dan langit yang berbintang. Setiap gerakan, setiap kata yang diucapkan oleh Katsuo, ditelan dengan rakus oleh Takeshi.

"Saat kau menggenggam pedang, kau juga harus menggenggam tanggung jawabmu," kata Katsuo, sambil menunjuk ke arah langit yang biru. "Kekuatanmu bukanlah untuk mempertahankan kepentingan dirimu sendiri, tetapi untuk melindungi yang lemah dan menegakkan keadilan." Takeshi menatap mata gurunya dengan penuh penghormatan. "Saya akan mengingat itu selamanya, guru," katanya dengan tulus.

Malam itu, suasana Dojo terasa sunyi ketika Takeshi tinggal untuk latihan tambahan. Dalam keheningan malam, dia berlatih keras, mencoba melupakan kata-kata pedas yang terus-menerus menghantui pikirannya. Dia berlatih teknik teknik yang diajarkan gurunya. Namun, keteguhan hatinya diuji ketika sekelompok rekan-rekannya tiba-tiba memasuki ruangan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Takeshi?" tanya Kaito, suaranya penuh dengan cemoohan. "Apakah kau berpikir bahwa dengan lebih banyak latihan, kau akan menjadi lebih kuat? Ha! Kamu selalu akan menjadi pemimpi bodoh."

Takeshi menahan diri untuk tidak merespon. Dia terus berlatih, mencoba memusatkan pikirannya pada gerakan-gerakan yang harus dia kuasai.

"Hentikan itu! Aku bosan melihatmu berpura-pura menjadi seorang pendekar!" bentak Kaito dengan suara yang keras.

Tanpa aba-aba, Kaito dan teman-temannya mendekati Takeshi dan merampas pedang kayu dari tangannya.

"Jangan lakukan ini, Kaito," ucap Hiroshi dengan nada khawatir. "Ini tidak benar."

Kaito hanya tertawa sinis. "Apa yang tidak benar? Kau ingin dia menjadi seorang pendekar, bukan? Nah, mari kita lihat seberapa tangguh dia sebenarnya."

Dengan cepat, mereka memegang Takeshi dan mengepungnya di tengah dojo. Dengan cemoohan dan tawa keras, mereka mulai memukulinya dengan pedang kayu yang mereka rampas. Setiap pukulan membuat Takeshi tersungkur ke lantai kayu, tapi dia tetap mencoba bangkit kembali.

"Sudahlah, kalian sudah cukup!" teriak Hiroshi, mencoba untuk menghentikan mereka. Tapi usahanya sia-sia, karena Kaito dan teman-temannya terus menghujani Takeshi dengan pukulan.

Takeshi tidak menyerah kepada keputusasaan, sorot matanya memperlihatkan keteguhan tekadnya. Saat tubuh Takeshi semakin lemah, dia memusatkan pikirannya pada cita-citanya. Dia bertekad untuk tidak menyerah, meskipun pukulan demi pukulan menghantam tubuhnya. Dia tahu bahwa dalam kegelapan malam ini, semangatnya akan menjadi satu-satunya cahaya yang memandunya keluar.

Dan ketika kesadarannya mulai memudar, Takeshi merasakan kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. Kekuatan yang tidak bisa dia jelaskan, tetapi membuatnya bertahan meskipun dalam kondisi terpuruk.

Pada akhirnya, para pelaku perundungan itu bosan dan meninggalkannya terkapar di lantai Dojo.

"Takeshi, kau bisa bangun?" ucap Hiroshi dengan nada panik membantu Takeshi duduk. "Maafkan aku, aku tidak bisa menghentikan mereka." lanjutnya dengan raut wajah sedih.

"Tidak apa apa Hiroshi, mereka memang tidak pernah mendengarkan orang lain," jawab Takeshi dengan nada rendah dan wajah yang terlihat menahan sakit. "Lebih baik kau jangan ikut campur lagi, nanti kau jadi seperti ku." tambahnya.

Hiroshi dengan sedikit tersenyum berkata. "Aku akan melakukan apa yang ingin aku lakukan, jangan khawatir. saat aku ingin menolong mu aku akan tolong dan saat aku tidak ingin menolong mu aku tidak akan menolong." katanya.

Takeshi tertawa mendengar itu, dia menyadari kalau Hiroshi berbohong. Takeshi selalu mengamati Hiroshi, ketika dia di bully Hiroshi tidak pernah mengabaikan sekalipun. Takeshi dan Hiroshi melaporkan kejadian itu tapi guru di Dojo mereka selalu mengabaikan laporan itu dan malah menyuruh Takeshi yang meminta maaf.

Takeshi, meskipun terluka dan lemah, masih hidup dan penuh dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Dia tahu bahwa meskipun langkah-langkahnya menuju kehebatan mungkin penuh dengan rintangan, dia tidak akan pernah menyerah. Karena di dalam dirinya, terdapat api yang tak terpadamkan dari seorang pendekar sejati.

Hari-hari berlalu di dojo dengan Takeshi terus menerima perlakuan kasar dan perundungan dari rekan-rekannya. Namun, meskipun tubuhnya sering kali terluka dan hatinya terasa hancur, Takeshi tidak pernah menyerah pada impian dan tekadnya. Dia terus berlatih, meskipun kemampuannya masih biasa-biasa saja.

di usianya yang ke 15 tahun, Takeshi menghabiskan waktunya untuk belajar teori. Hanya sesekali dia latihan pedang, dia membaca buku buku yang berada di Dojo, buku buku yang sudah ada sejak dulu yang membuat para pendekar pedang sekarang berhasil menjadi pendekar pedang. Hal itu juga lah yang membuat Takeshi semakin di bully, dia dianggap menyerah akan mimpinya untuk menjadi pendekar pedang menjadi tukang buku. Ketika usianya mencapai 16 tahun dia kembali latihan keras, untuk menyusul ketertinggalan nya selama kurang lebih 1 tahun.

Suatu hari, Dojo mengadakan latihan tanding antar murid, Takeshi melawan Kaito. Guru Dojo sengaja memasangkan Takeshi dengan Kaito karena tau hubungan Takeshi dengan Kaito tidak akur.

Hiroshi dengan keheranan menegur guru Dojo, Dia berkata. "Guru, kenapa anda memasangkan Takeshi dengan Kaito? Anda tau sendiri kan hubungan mereka seperti apa." Katanya dengan nada sedikit tinggi .

"Diam lah Hiroshi," jawab guru itu, dengan tatapan tajam dia menatap Hiroshi. "kau tidak tau apa apa." Lanjutnya.

Pertarungan pun di mulai dengan aba aba yang di berikan oleh guru. Kaito segera meluncur maju dengan cepat menyerang Takeshi, tapi bisa di tangkis dengan mudah olehnya. Mereka saling bertukar serangan dan saling menghindar, membuat Kaito sedikit terkejut karena tidak menyangka kalau Takeshi sedikit lebih hebat dari dugaannya. Pertarungan di akhiri dengan pedang kayu Takeshi terlempar jauh, lalu Kaito memukul kepala Takeshi dengan keras.

Beberapa bulan berlalu, pada usianya yang mencapai 17 tahun, Takeshi dengan rambut panjang nya yang di ikat di belakang kepalanya, dia menyadari bahwa dia tidak akan pernah menjadi pendekar yang dihormati jika terus bertahan di lingkungan yang buruk itu. Dengan hati yang berat, dia membuat keputusan untuk meninggalkan dojo dan desanya yang telah lama dia panggil sebagai rumah.

Di suatu malam yang gelap, Takeshi duduk sendirian di sudut dojo yang sepi. Dia memandang langit yang berkilauan dengan bintang-bintang, merenungkan nasibnya yang tak kunjung berubah. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang halus terdengar di belakangnya.

"Hari ini sudah cukup, Takeshi," kata Hiroshi dengan lembut, menyentuh bahunya dengan penuh simpati. "Kau tidak boleh terus menerima perlakuan mereka."

Takeshi mengangguk, tetapi matanya terlihat tegar. "Aku tahu, Hiroshi. Tapi aku tidak bisa lagi bertahan di sini. Aku harus mencari pengalaman di luar sana."

Hiroshi mengerti perasaannya. "Aku mengerti, Takeshi. Tetapi ingatlah, kekuatan sejati bukan hanya tentang kemampuan bela diri. Itu juga tentang hati yang kuat dan tekad yang tak tergoyahkan."

Dengan tatapan yang penuh harapan, Takeshi menjawab, "Aku akan ingat itu, Hiroshi. Aku akan mencari kekuatan sejati di luar sana, dan suatu hari nanti, aku akan kembali ke sini sebagai seorang pendekar yang dihormati.

"Hiroshi tersenyum, merasakan tekad yang menyala di dalam diri Takeshi. "Aku percaya padamu, Takeshi. Semoga keberanian dan kebijaksanaan selalu menyertaimu di setiap langkah perjalananmu."

Dengan perasaan campuran antara rasa sedih dan harapan, Takeshi meninggalkan Dojo dan desanya yang telah lama dia panggil sebagai rumah. Namun, di hatinya, dia membawa tekad yang lebih kuat dari sebelumnya untuk mengejar impian dan menjadi pendekar yang sesungguhnya.

Dan di bawah langit malam yang bercahaya bintang-bintang, perjalanan Takeshi yang legendaris pun dimulai. Dengan hanya membawa sedikit bekal dan pedang kayu kesayangannya, Takeshi memulai perjalanannya sendirian. Dia mengembara dari desa ke desa, mencari pengalaman baru dan pelajaran yang dapat membantunya tumbuh menjadi pendekar yang lebih baik. Dan di bawah langit malam yang bercahaya bintang-bintang, perjalanan Takeshi yang legendaris pun dimulai.

Dengan hanya membawa sedikit bekal dan pedang kayu kesayangannya, Takeshi memulai perjalanannya sendirian. Dia mengembara dari desa ke desa, mencari pengalaman baru dan pelajaran yang dapat membantunya tumbuh menjadi pendekar yang lebih baik.

Di perjalanannya, Takeshi bertemu dengan berbagai macam orang: dari pedagang yang ramah hingga pencuri yang licik, dan dari petani yang tulus hingga samurai yang gagah berani. Setiap pengalaman membawa pelajaran baru baginya, baik itu tentang seni bela diri, kehidupan, atau kekuatan sejati yang terletak di dalam dirinya.

Meskipun kemampuannya masih jauh dari kata sempurna, Takeshi tidak pernah menyerah. Dia terus berlatih, mencoba memperbaiki setiap gerakan dan teknik yang dia pelajari di perjalanan. Meskipun terkadang dia merasa putus asa dan ingin menyerah, tetapi tekadnya yang kuat dan mimpi besar akan menjadi pendekar pedang terus mendorongnya maju.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status