Asta merebahkan tubuh di teras setibanya mereka di homestay. Kaos Boss hitamnya sudah basah dipenuhi peluh. Rambutnya berantakan. Usianya yang menjelang tiga puluh, ditambah bobot tubuhnya yang nyaris menyentuh angka delapan puluh, membuatnya lelah lebih cepat. Apalagi setelah pulang dari ERU tadi, Bli Toni masih mengajak mereka mampir ke satu tempat budidaya lebah madu trigona milik warga. Kini betisnya jadi terasa sedikit berdenyut.
"Olahraga makanya," kata Gavin, menyandarkan tubuh ke tembok di sebelah Asta. "Punya sepeda mahal-mahal nggak di pake."
"Belum, bukannya nggak." Asta membela diri. "Lo juga mulai jarang nge-gym gue perhatiin."
"Jogging sekarang. Lagi males nge-gym."
"Kenapa?"
"Di godain om-om." Gavin tertawa.
Asta terbahak-bahak.
Diantara tiga pria ini, Gavin memang yang terbilang punya gaya hidup paling sehat. Ia tidak minum kopi jika benar-benar ingin, tidak merokok, jarang mengkonsumsi junk food dan rutin minum vitamin. Tingginya mungkin tiga centi dibawah Sal, tapi postur tubuhnya jauh lebih tegap dan terbentuk secara proporsional akibat nge-gym seminggu sekali. Perutnya six pack, setidaknya itu satu hal yang membuat Sal iri pada Gavin. Tubuh atletisnya bahkan didukung oleh wajahnya yang maskulin. Rahang yang tegas, alis yang menonjol, mata tajam yang teduh, juga senyum yang menawan. Tak ayal, Gavin sebenarnya punya potensi untuk digilai para wanita. Meski aspek itu juga yang membuat kaum hawa mundur lantaran Gavin terkesan cuek dan dingin pada pertemuan pertama.
"Itu anak cepet banget akrabnya, ya?" kata Sal tiba-tiba. Matanya lurus mengamati Raya yang tengah asik berbincang dengan Bli Yudha dan tiga orang backpacker di halaman.
Gavin bersedekap. "Beda jam terbang, Sal."
"Nggak usah heran deh. Raya sih, ditinggal di hutan juga bisa temenan sama harimau Sumatera." Asta menimpali. Bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di sebelah Gavin.
Sal melirik teman-temannya. "Emang biasa begini?"
"Ketemu orang baru, ngajak ngobrol, nyambung, tukeran nomor, bikin grup jalan bareng. Jangan kaget di Jakarta temennya cuma kita. Diluar kota, kenalannya dimana-mana," jawab Gavin enteng.
"Nggak kambuh?"
"Jadi manik, iya. Tapi better ketimbang depresif, kan? Dia kuat nyetir sendirian berjam-jam juga gara-gara ini.”
Benar juga. Asal tidak berlebihan, Raya selalu bisa diandalkan jika maniknya kumat. Terakhir episode maniknya mencapai diluar batas itu, enam bulan lalu saat ayahnya wafat. Setelah lima hari mengurung diri di apartemennya, tau-tau gadis itu kembali ke kantor dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia habiskan seluruh pekerjaan untuk satu minggu dalam dua hari, menginap di kantor meski saat weekend, dan tidak tidur dalam dua pekan berturut-turut. Makan seadanya, minum seingatnya, bulak-balik ke proyek tanpa lelah, mendatangi workshop kesana kemari, sampai menggantikan Asta rapat dengan klien-klien penting. Jangan tanya berapa kali mereka mengingatkan gadis itu untuk beristirahat. Sampai bosan mereka mendengar kata ‘nanti dulu’ atau ‘sebentar lagi’ dari Raya. Ujung-ujungngnya, di hari ke dua puluh, saat Raya sudah berniat pergi keluar kota, ia jatuh pingsan karena kelelahan dan terindikasi maag akut.
Sore lantas berganti malam. Dua meja kayu panjang di bawah pohon kamboja di halaman dijadikan satu dan diisi oleh berbagai panganan khas Pulau Dewata. Teras homestay yang luas beralih fungsi sebagai panggung dadakan. Di awali dengan tari pendet yang dibawakan oleh penari setempat, hingga lagu-lagu yang dinyanyikan bergantian oleh para rombongan. Sal juga tak mau kalah, gitar yang sudah ia bawa jauh-jauh dari Jakarta ia turunkan hanya untuk menyanyikan Bitterlove-nya Ardhito Pramono.
"Lega?" tanya Raya sembari menepuk bangga pundak Sal yang baru turun dari panggung.
Sal nyengir. "Bagus nggak?"
"Oke juga," puji Asta. Satu tangannya memegang sate lilit. "Nggak malu-maluin amat lah kalo MC tiba-tiba nyuruh lo nyanyi di nikahan gue."
"Kampret." Sal menimpuk Asta dengan tisu bekas.
"Lo nggak mau nyanyi, Ra?" tanya Gavin menyela pertengkaran teman-temannya.
Raya geleng-geleng kepala. "Lo ngeledek?"
"Suara lo bagus, kok. Gue iringin deh. Mau lagu apa? D'Masiv? Vierra? Andra and The Backbone?"
Raya tergelak. Tak bisa berkata-kata dengan pilihan musik-musik Sal barusan. “For real? Sal?”
"Yee, jujur, lo suka dengerin itu kan tahun 2010-an?"
"Sori, masa remaja gue nggak diisi sama lagu cinta-cintaan."
“Terus, lagu apa dong?”
"Raya sih taun segitu lagi dengerin Mamah Dedeh. Ceramah tentang cara berbakti sama orang tua. Ya, kan Ra?" Asta berseloroh, tak berniat serius sama sekali.
"Pantesan tahan lo tinggal lama sama nyokap. Ikut pengajian Mamah Dedeh ternyata.” Sal geleng-geleng kepala, pura-pura takjub. Membuat Raya makin keras tertawa.
“Sialan.”
Tak ada yang berbicara lagi setelah itu. Masing-masing mereka asik menyantap hidangan yang tersedia di atas meja. Disela-sela lagu Cantik-nya Kahitna yang dibawakan dengan apik oleh rombongan mahasiswa IPB, Gavin berdeham.
"Nyokap lo apa kabar, Ra?"
Raya mengangkat wajah, menjawab tanpa ekspresi. “Baik.”
"Kapan terakhir kesana?"
"Empat bulan lalu."
“Nginep?”
“Enggak.”
“Baik-baik aja, kan?”
Gavin tau persis ia tak seharusnya membicarakan hal ini. Hanya saja, ia selalu berharap ada perkembangan positif dalam hubungan Raya dengan ibunya. Meski hanya satu persen, atau nol koma sekian persen saja dalam bentuk apapun. Tapi melihat raut wajah Raya yang murung, dan nada bicaranya yang begitu dingin, menyiratkan jarak diantara mereka masih sejauh galaksi andromeda dan bimaksakti. Atau bahkan, lebih jauh lagi.
"Belum banyak berubah. Gue masih ditimpuk piring pas pulang ke rumah."
Sunyi lagi. Sal dan Asta menghujani tatapan 'ngapain-lo-nanya-itu' pada Gavin.
"Mau kemana, Ra?" Sal menahan Raya yang mendadak bangkit.
Gadis itu menepis pelan. "Keliling."
"Minum obat lo dulu, Ra." Asta menambahkan.
Tapi Raya tak peduli, dadanya sudah terlanjur sesak. Tangannya terkepal erat dan ia melangkah dengan cepat keluar dari pekarangan homestay.
Dahi Sal berkerut khawatir. Ia sempat mengekor Raya hingga ke jalan lalu kembali tak lama kemudian. "Itu nggak apa-apa dibiarin gitu?"
“Vin.” Asta meminta bantuan. Tapi Gavin hanya memijat kening dan menggeleng pelan. Kepalanya terlalu pusing untuk bisa mencemaskan Raya.
---
Jam menunjukkan waktu pukul dua pagi saat Gavin terbangun dengan pandangan berputar dan kepala yang berdenyut. Jantungnya berdegup kencang, peluhnya menetes dengan jemari tangan yang sulit digerakkan. Saat penglihatannya semakin jelas, ia menyadari ini bukan kamarnya.
Ruangan ini lebih luas, dengan dua kasur queen size yang dipisahkan oleh nakas kecil di tengah ruangan. Ada lemari kayu tua di samping pintu juga jendela yang mengarah entah kemana. Di kasur sebelah, terbaring pulas Salman dan satu pria jangkung dengan rambut gondrong yang wajahnya terasa familiar. Sementara di sampingnya, Asta tertidur dengan mulut menganga.
Ransel miliknya yang tergeletak di seberang kasur menjadi bukti ia datang kemari atas keinginannya sendiri. Tapi entah mengapa, otaknya tak bisa memproses apapun tentang bagaimana ia bisa berada di tempat ini.
"Ini, dimana?"
Satu persatu kepingan memori tersusun secara acak saat ia membuka galeri ponselnya. Kapal feri, lintas timur Sumatera, Way Kambas, dan Raya yang tengah asik dengan gajah-gajah di ERU.
Tunggu, Raya?!
Sekelebat bayangan gadis itu pergi meninggalkan pekarangan rumah memenuhi kepalanya. Buru-buru ia bangkit dari kasur dan berjalan keluar dari kamar.
Tony's Homestay
sepi. Setidaknya, itu nama yang tersemat pada papan kayu yang tergantung di dinding teras. Ada beberapa pintu di sisi pintu kamarnya yang sepertinya juga mengarah pada kamar-kamar yang lain. Dapur kecil di ujung lorong senyap, mobil-mobil terparkir dengan nyaman di halaman. Jalan di depan gelap gulita. Hanya ada satu lampu yang berpendar remang dipenuhi oleh serangga kecil yang berterbangan.Gavin berjalan gontai. Saat ia turun dari teras, hendak duduk di bangku kayu yang tersedia di halaman, matanya menangkap sosok perempuan sedang duduk bersandar di sisi kanan bangunan homestay yang sedikit tertutup oleh kendaraan. Tangannya memeluk lutut, matanya menatap lekat pada bangunan padmasana yang berdiri kokoh di depannya.
Raya. Dengan laptop yang terbuka dan dua botol obat di sisi tubuhnya.
"Ra?" Gavin berjalan mendekat. Ada perasaan lega yang membuncah saat melihat gadis itu disana.
Raya mengerutkan kening. Ia ubah posisi duduk untuk menerima kehadiran pria itu di sebelahnya. "Gavin? Kenapa? Kok kebangun?"
"Lo ngapain disini?"
"Nggak bisa tidur," jawab Raya. "Lo masih pusing?"
"Gue?" Lagi-lagi, ia tak bisa mengingat dengan jelas kejadian sebelum ia tertidur tadi.
"Lo udah tidur pas gue balik kesini. Kata Sal sama Asta lo pusing."
Gavin terdiam. Benang-benang memori itu perlahan menjahit dirinya sendiri. Mereka menginap disini, makan malam, Raya pergi, dan ia pamit istirahat lebih dulu.
"Udah enakan?" Raya bertanya lagi.
"Gue yang harusnya nanya, lo gimana?"
"Like always. Kesel, minum obat, mendingan, nggak bisa tidur. Bosen juga kan lo dengernya?" Raya tertawa getir.
"Terus lo ngapain disini?"
"Kerja." Raya melirik laptopnya. "Revisi desainnya Pak Samuel, tapi tiba-tiba nggak ada ide."
Seketika Gavin teringat akan percakapannya dengan Bli Yudha siang tadi. Alasan mengapa Raya jarang menggunakan waktu malamnya untuk istirahat, tidak lain karena ia memang tidak bisa melakukan itu. Tubuhnya bisa jadi sangat lelah, tapi kepalanya terlalu berisik untuk bisa terlelap. Alhasil yang ia lakukan hanyalah mencari kesibukan, apapun, asalkan suara-suara itu bisa sejenak tersamarkan dari benaknya.
"Tadi… gue bad dream." Suara Gavin terdengar ragu-ragu. Ia sandarkan kepalanya pada tembok di belakang, dan turut memandangi padmasana di depan mereka.
Raya menoleh. Memberikan perhatian penuh pada Gavin. "Apa?"
"Di mimpi gue, gue lupa ingatan. Lupa sama kalian semua."
“Kok bisa?”
“Nggak tau. Tiba-tiba aja kalian nyamperin gue tapi gue nggak inget nama kalian siapa. Terus gue kabur karena ketakutan.”
"Kayaknya seru."
"Maksudnya?"
"Gue mau lupa ingatan. Ngelupain semua hal-hal buruk sampe nggak ada yang tersisa lagi selain ingatan baik-baik dan kenangan tujuh belas tahun lalu."
Satu alis Gavin terangkat. "Lo mau ngelupain gue?"
"Lo bukan hal buruk, Vin. Lagian, kalo pun bener gue ngelupain lo, emang lo bakal diem aja gitu?"
"Bener juga." Gavin tertawa pelan. "Gue datengin lo tiap hari sampe inget sama gue."
Raya ikut tertawa.
"Tapi Ra, kalau gue beneran lupa ingatan, lo juga bakal ngingetin gue kan?"
Raya menoleh, lalu menggeleng pelan. "Nggak."
"Nggak?"
"Lo nggak boleh lupa ingatan."
Gavin mengerutkan kening. "Kenapa?"
Raya tersenyum. Mendaratkan kepalanya di bahu Gavin, dan menatap langit penuh bintang di atas mereka. "Karena nanti gue bisa mati."
---
Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan
Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s
Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap
"Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w
Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta
Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung