"Nur Sayang, besok Abang kerja agak jauh. Proyek bangunan yang kemarin sudah selesai. Sekarang baru lagi, tapi tempatnya agak jauh. Abang akan pulang Minggu depan. Bagaimana, apa boleh? Kamu tidak keberatan 'kan?" Sebelum tidur Bang Panjul bicara masalah pekerjaan. Katanya dia akan pindah proyek ikut atasan."Seminggu? Jauh sekali ya, Bang memang?" heranku."Iya, jauh, makanya kalau bolak-balik, sayang uangnya. Mending buat kamu beli lipstik." Dia merayu dan menggoda. Sedangkan uang ongkosnya tidak dia berikan. Parah sekali dia."Oh, gitu. Ya sudah, Nur sih gak apa-apa, Bang, asal Abang selamet. Nur jadi harus siapin baju Abang yang banyak, ya?" ucapku lagi."Ah, jangan banyak-banyak, nanti juga dicuci. Tiga setel aja cukup. Baju ganti yang bagusnya bawa aja dua," sarannya."Iya, Bang." Aku langsung mengambil tas dan segera menumpuk pakaian bekal ke dalamnya. Entahlah dia benar atau tidak, yang jelas, aku hanya tahu suamiku ini adalah seorang pembohong."Tapi kamu gak keberatan 'kan
"Oh bukan, bukan. Jadi begini, Pak RT kemari karena ingin memberitahukan informasi. Sekarang sedang ada pembuatan sertifikat bangunan dan bumi yang diselenggarakan secara gratis dari pemerintah. Mungkin Dek Nur ada niat untuk menyertifikatkan benda atau barang yang belum ada dokumen sertifikatnya. Program pembuatan sertifikat gratis ini untuk seluruh warga kecamatan kita. Bila memang berminat, bisa langsung datang ke balai desa, atau bisa juga lewat Pak RT untuk menyampaikan syarat dokumennya. Nanti Pak RT yang sampaikan."Begitu terenyuhnya batinku mendengar informasi ini. Memang seliweran dengar di TV kalau akan ada pembuatan sertifikat serentak se-provinsi. Oh, dan itu benar?"Wah, benar itu Pak RT?" kejutku di depan Pak RT baru. Karena sekarang kami sudah pindah domisili. Masih satu kecamatan, namun beda desa."Benar, benar ada. Waktu pengumpulan syaratnya akhir bulan ini. Lebih cepat lebih baik. Bagaimana, apa Dek Nur memang ada benda yang belum disertifikatkan?" tanya Pak RT mem
[Dek, Nur, segera lengkapi persyaratannya, ya. Nanti bisa diantar ke rumah saya. Sembari membuat surat kuasa]Sore hari Pak RT mengirimiku pesan. Ya, dan aku belum tahu dari mana harus mendapatkan identitas si pemilik sebelumnya. Butuhnya hanya fotokopinya saja. Tapi, seharusnya mereka sudah kasih sama Mbak Widya supaya balik nama tidak sulit. Beserta dokumen pendukung lainnya.Maka dari itu kucari di kamar Mbak Widya lagi. Tadi aku berikan pada Pak RT hanya identitasku dan juga sertifikat asli. Mengenai surat-surat yang lainnya, itu akan Pak RT bantu uruskan. Nah, tinggal aku kumpulkan data diri pemilik sebelumnya. Kata Mbak Widya, dibeli dari orang yang aku kenal, tapi dia sudah pindah kota. Masak iya aku harus minta identitasnya jauh-jauh?Aku yakin, pasti fotokopi identitas pemilik sebelumnya sudah diminta oleh Mbak Widya. Kalau tidak, ya mau bagaimana balik nama? Untungnya lagi dia pas balik lagi ambil barang ketinggalan tidak selidik sertifikat rumah yang sudah tidak ada. Jadiny
[Bang, video call dong, Nur kangen]Aku sengaja meminta video call dengan Bang Panjul. Dan tak lama setelah itu wajah kami pun bersitatap."Halo, Nur Sayang," sapanya manja.Aku yang sedang bersender di bahu ranjang pun melambaikan tangan. "Halo, Abang ganteng." Aku senyum manis. Di balik senyum ini tapi ada rasa muak. "Nur belum bobok ya? Udah malem ini." "Belum, Bang, rindu Abang ah." Aku menjawab sok dirujuk rasa rindu. Padahal aku cuma ingin tahu, ada apa saja di sekelilingnya sekarang. Dana bagaimana keadaannya."Ah, Nur Sayang, ah. Jadi si jagur Abang idup nih," jawabnya lagi.Aku pun cengengesan seperti orang gila. Kulihat tanpa sengaja sekelilingnya. "Bang, tidur di mana itu? Tempatnya sepertinya tidak mirip banguan belum jadi?" tanyaku. Karena biasanya memang suamiku katanya tidur di bangunan yang belum jadi separo. Sejenis bedeng begitu."Eh, ini Abang di ini … di rumah sewaan, Nur. Di sini disewakan rumah semuanya. Jadi tidak tidur di tikar dan gak kedinginan," jelasnya d
***"Eh, Mbak udah pulang?" tanyaku pada Mbak Widya. Aku menyambutnya yang baru saja pulang ternyata. Dia membawa kantong belanjaan ini dan itu. Riweuh."Huwh … tolong ambilkan minum untuk Mbak ya, Nur. Ini ada oleh-oleh buat kamu." Dia langsung menjatuhkan tubuh di kursi. Angkat kaki ke meja sembari mengelus-elusinya. Enak, seperti Nyonya. Hemh!"Ini, Mbak." Kusugi ia air putih. Bang Panjul belum pulang, katanya dua hari lagi. Dia pasti sudah dapat suntikkan, jadi tahan tidak aktivitas malam.Aku belum cerita soal surat gugatan yang diberikan Mas Aryo waktu itu pada Mbak Widya. Coba, apa dia akan memancing supaya aku bicara?"Oiya, Nur, ada Mas Aryo gak? Soalnya Mbak udah matang mau cerai sama dia. Mas Aryo soalnya kemarin ada SMS, kalau dia sudah titipkan ke kamu. Tinggal Mbak tanda tangani," katanya. Benar saja, dia bohong. Mas Aryo bilang, dia telah membuang nomor Mbak Widya dan tidak ingin menghubungi dia lagi."Memangnya Mbak udah setuju mau cerai? Mbak ini plin-plan. Bukannya r
Satu bulan kemudian.Geram aku dengan tingkah Mbak Widya dan Bang Panjul yang tak ada habisnya. Karena masih berstatus istri, ya terpaksa aku melayani si jagur milik Bang Panjul. Untungnya banyak hal yang bisa kujadikan alasan. Terhitung sampai saat ini, sejak aku tahu dia ada main dengan Mbak Widya, kami hanya berhubungan tiga kali saja. Ah, sudahlah, ya mau bagaimana lagi. "Nur, orang-orang katanya mau pada ke desa ambil sertifikat. Katanya ada pengsertifikatan gratis," tanya Mbak Widya di pagi hari."Katanya iya sih, Mbak." Aku menjawab."Lah, kamu gak ngasih tahu ke Mbak? Tahu gitu gratis, Mbak balik nama rumah ini dong. Kan lumayan." Dia berdecak. Aduh, aku yakin Mbak Widya belum melihat sertifikat yang hanya fotokopi milik rumah ini. Karena aku juga menyimpannya persis di tempat sama, dengan map yang tak mungkin ia curigai. Karena kupikir, mana ada orang tiap hari atau menyempatkan lihat sertifikat kalau bukan untuk menggunakannya. Soalnya sampai saat ini masih aman. Dia tidak
Aku cek langsung ke kamar, ternyata Bang Panjul memang tidak ada. Pasti, aku sudah yakin, dia ada di kamar Mbak Widya. Tapi, baru saja ingin naik tangga, suara desahan yang nadanya membuat bulu kudukku merinding terdengar siang ini. Arahnya dari arah belakang kedatanganku tadi. Ini suara yang begitu tengil."Ah, ah, aku benar-benar menikmati ini. Kamu mainnya lihai sekali, tidak seperti si Nur! Ah!""Ssssh, ah. Memangnya si Nurul bisa gaya apa aja?"PEG!"Si Nur cuma bisa gaya anjing nungging, Wid. Sedangkan kamu, macam gaya bisa. Sampai gaya orang luar negeri kamu bisa sehafal ini. Ah, mantap!"Si kampret saling menyahut. Sialan! Kurang ajar! Kudekatkan lebih jelas kuping ini sampai menempel di pintu ruangan yang kujadikan tempat perkara."Ah, bisa aja. Tapi jelaslah, aku lebih semok dan berpengalaman, Bang. Punyaku juga sering dirawat, jadi sempit 'kan!" Kini batinku benar-benar terpukul amat keras. Suara desahan yang jahil itu jelas suara Bang Panjul dan kakakku sendiri. Bajinga!
"Kenapa bisa itu jadi atas namamu? Berani-beraninya kamu ya, Nur!" Mbak Widya yang masih memakai pakaian seksi kurang bahan itu murka padaku. Apa mereka memang sudah merencanakan ini supaya aku tahu? Sempat-sempatnya pakai baju seperti itu!Darah ini mendidih sekali. Sekilat juga kumasukkan lagi dokumen penting ini ke tas. Nanti direbut dia, lagi!"Diam kamu, Mbak, dasar Mbak tidak tahu diri. Aku sudah tahu semuanya soal harta peninggalan bapakku. Dan aku juga sudah tahu, kita bukan satu bapak. Kita hanya saudara seibu!"Kutunjuk moncong busuknya itu. Bang Panjul saat ini malah kaget atas ketahuanku. Pasti dia juga sudah tahu sejak awal."Kurang ajar kamu, Nur!" Mbak Widya ingin coba menyentuhku, tapi tangan ini berhasil mendorongnya."Ah!" Dia meringis kesakitan. Sedang si Panjul, ternyata dia kurang berenergik ingin membela siapa di sini."Nur, jangan kasar, dia Mbakmu!" Suara si Panjul jelas terdengar. Aku pun terkekeh puas, karena meski tidak bisa merekam adegan mereka karena pani