"Yaudah, Ibu pulang dulu ya, Wid. Ibu doakan kamu lancar cerainya sama si Aryo itu, biar bisa cepat nikah sama si Panjul. Ibu udah gak sabar mau pamer menantu wajah glowing, gak kumel kayak si Nur!" sungut ibu mertua secara hukum telah mencubit hatiku. Keterlalun dia menghinaku."Aku gak glowing, Bu, tapi cantik natural!" timpalku karena dia meledekku.Si Mbak Widya dan calon mertuanya itu terkekeh. "Haha, ada yang kesindir, Bu!""Iya, ya.""Lah, bukannya kalian menyindir dengan sebut nama? Ya jelas aku tersindir. Tapi perlu diingat, jangan sok jumawa, Mbak, kecantikan itu bisa lenyap kalau gak ada MODAL!" celetukku sembari berlalu."Ah, bilang saja iri. Si Panjul 'kan gajinya itu mandor, hanya dia sembunyikan aja darimu. Kan kamu itu kalau dipermak begimanapun, pasti wajahnya tetep anyep!" tandas wanita paruh baya itu dengan tajam."Ah, biar saja, yang penting hatiku tidak buruk rupa!" Mereka malah tergelak berdua. Biarkan saja, aku juga tidak mengusir Mbak Widya dengan paksa karena
"Mundur kamu, Nur, mundur!" Dia semakin ketakutan, "mau, kamu Mbak hajar? Atau kamu akan Mbak bunuh!" ancamnya."Boleh, setelah aku rusak wajahmu tapi ya, Mbak. Biar kamu bunuh aku, aku masuk ke surga, dan kamu sengsara di penjara." Aku tergelak tawa di depannya.Ujung bibir Mbak Widya menyungging menahan emosi. Terlihat kalau dia tidak menyangka aku tidak mundur atau takut sama sekali."Kamu kerasukkan! Kamu dulu baik dan ahli surga, sekarang gila kamu!" Dia lagi-lagi membahas masa lalu."Masa bodo, bodo amat! Ini masih panas, melepuh sih kalau ditekan ke kulit. Ayok!"Wanita yang telah menjadi duri di kehidupanku pun itu kini lari ke dalam kamarnya. Dia mengunci pintu mungkin karena ketakutan. Hahah, aku tertawa terbahak-bahak. Begitu saja takut!***"Aduh, kalau aku lama-lama di rumah ini, aku bakalan mati perlahan, Bang. Tapi, kalau aku keluar dari rumah ini, aku belum tau di mana si Nur simpan sertifikat rumah ini. Bagiku ini masih seperti mimpi dan bencana, kok bisa anak bodoh i
Dua Minggu berlalu, hari ini aku baru pulang dari pengadilan telah melakukan mediasi di sidang pertama. Yang hadir hanya aku ditemani si Minul, biar persidangan tidak ribet dan cepat usai. Alhamdulillah, lancar juga, dan tak ada omongan keluar dariku untuk rujuk. Sedang aku menuju sidang ke dua, pun dengan Mbak Widya, dia juga tengah menunggu sidang berikutnya dengn Mas Aryo. Bagaimanapun juga, aku harus memastikan mereka pisah. Tidak boleh sampai mereka rujuk, aku tak rela Mas Aryo yang baik masih jadi istrinya Mbak Widya si lakn*t."Gak sabar aku nunggu statusmu jadi janda, Nur. Hahaha …." Si Menul tertawa dalam penderitaanku. Eh, tapi bukan penderitaan, malah ini kegembiraan."Gila kamu, Nul, masak iya orang cerai kamu tertawain. Tapi gak papa lah, aku juga senang. Hahaha."Kami berdua tergelak tawa. Sampai akhirnya aku tiba di rumah dan si Menul pulang ke kandangnya, dan di rumahku di sana sudah ada si calon mantan suami. Sepertinya sedang ngapel sama si Mbak Widya. Cocok, cocok
Ya sudah aku juga tertawa. "Hahaha … biasanya orang yang pamer itu cuma buat lindungi diri aja dari kenyataannya. Karena orang yang asli kaya mah, kayak Pak Haji Gogon, dia tidak pernah pamer, cukup kita lihat saja sudah paham, dia orang berada. Sawah tanah banyak, mobil dan motor berjejer. Dan satu hal, dia istrinya satu, tidak pernah kedengaran selingkuh. Lah, ini, mental mandor aja udah selingkuh. Waras kamu, Bang? Kebayang kalau kamu kayak sultan, istrimu bisa satu kodi. Hahahah."Mbak Widya nyambar. "Enak saja, aku ini wanita mampu ya, Nur, bukan kayak kamu. Si Panjul selingkuh itu saat sama kamu aja, saat sama aku nanti, mana bisa dia melupakan gairahku di ranjang yang hot jeletot. Hemh!" Dia nyengir sinis penuh percaya diri.Aku tertawa lagi. "Hahaha … cuma soal ranjang. Jangan lupa, soal dapur juga harus mampu! Kalau suami sering makan di luar, itu artinya sering juga mampir ke warung remang-remang. Hahahah." Aku terus tak mau kalah, "pergi sana, kalau mau pacaran jangan di si
Saat ini Bang Panjul dan Mbak Widya masuk ke halaman rumah. Memang di kampungku kalau ada orang berselingkuh jarang diusir, tapi aku lega karena kami akan segera talak tiga. Ini tak buruk bagiku meski mereka masih ada di lingkungan ini."Mas Aryo, ke mari ternyata? Mau ngapain? Mau ngapel si Nur?" Bukannya mengucap salam dengan santun, Mbak Widya nampak menatap Mas Aryo sengit. Apa matanya katarak? Dia lebih pilih gandeng si Bang Panjul yang seukuran pria itu tak lebih tampan dari Mas Aryo. Wajah beda jauh, tubuhnya juga beda jauh, meski tingginya hampir sama. Hemh.Mas Aryo berdiri dari duduknya. "Jangan bicara sembarangan, aku bukan seperti kamu yang tukang tikung suami adik sendiri di saat kamu bersuami. Dan kalau memang saat ini aku mendekati adikmu, itu bukan hal yang harus digunjingkan, lagipula status kita sebentar lagi akan jelas bercerai. Aku bukan selingkuh," jawab Mas Aryo yang kucerna kalau dia tak khawatir mengiyakan dugaan Mbak Widya. Walah, kalau aku beneran didekati M
Bu Ajeng menimpali. "Walah, Nur, wajar kalau kamu gak kecewa berat, secara melepas pria hidung belang itu kan gak menyakitkan. Hihi.""Ah, somplak!" Mbak Widya pergi dengan kecewa duduk lagi ke tempat asalnya tadi, sebelum nanti akan dipanggil ke ruang depan untuk ijab qobul. Sebentar lagi seserahan akan datang. Seharusnya aku diam saja di kamar sambil minum es jeruk, tapi itu bisa buat mereka berpikir kalau aku cemburu. Dan sekarang, aku bukannya cemburu, malah ingin melihat mereka berdua menikah dan nanti ada drama baru. Hahah."Eh, udah datang tuh tamunya. Ayok, ayok! Siap-siap Wid!" seru beberapa warga. Aku biar nanti langsung duduk saja di sana, sekarang biarkan saja penerimaan dan pembukaan di sana oleh Pak Rt. Seharusnya pakai toa, biar kedengaran sampai kampung seberang. Tapi ibaratnya ini hanya masih nikah siri. Tapi meski nikah siri tetap saja bermodal untuk suguhan nasi dan lauk. Untung saja yang keluar modal itu si Bang Panjul. Aku hanya penyedia tempat.Aku bersantai dulu
PoV Widya***Hai pemirsa, namaku Widya. Seorang wanita cantik berwajah glowing, semok dan juga bertubuh jenjang. Aku kakaknya si Nur, tapi hanya kakak se-ibu.Memang aku baru tahu belakangan kalau aku ini bukanlah anak kandung bapakku saat aku beranjak remaja. Aku ternyata hanya anak sambungnya, yang dibawa almarhumah ibu dari pria yang tak bermodal. Dan sialnya, aku tidak dapat warisan dari bapakku itu. Selain mungkin dia belum wafat, dia juga pasti orang miskin. Sampai saat ini, aku tidak tahu di mana ayah kandungku itu. Cerita ini tidak diketahui si Nur, karena ibu takut kalau ada kesenjangan di antara kami, katanya. Kalau aku, bodo amat! Tapi, kalau si Nur tahu aku bukan kakaknya waktu itu, bisa saja dia menjadi berontak, dan tidak mau seolah-olah jadi babuku.Singkat cerita saat itu, di saat aku sudah menikah dengan Mas Aryo yang keturunan Jawa, kudapati si Panjul yang sering curi-curi perhatian saat aku lewat ke kampungnya. Pria itu memang tidak begitu kaya kelihatannya, tapi t
Tapi aku masih kecewa, kenapa dia bisa ubah nama kepemilikan rumah secepat itu. Entah dapat pengaruh dari mana dia, sampai-sampai aku pun kalah. Ya, itu memang hartanya yang ibu amanahkan dari bapak kandung si Nur. Tapi aku juga harus punya bagian, karena aku kakaknya dan anak dari ibu.Karena aku tak dapat rumah itu, maka aku memaksa si Panjul untuk membelikan aku rumah. Apalagi dia juga bawa maskawin berupa uang 50 juta rupiah, belum perhiasan. Yang itu artinya duitnya masih banyak.Si Nur mengusir kami setelah acara akad nikah selesai. Angkuh sekali anak itu. Andai membunuhnya tidak akan buat aku masuk penjara, pasti dia sudah kubunuh. Tapi sayang, tidak bisa. Dia bukan lagi ayam yang bisa berkokok dan bisa aku kurung, sekarang dia sudah lincah. Apa jangan-jangan karena pengaruh Mas Aryo? Karena mereka pasti sering sms-an. Ah, sialan!Meski sudah diusir, tapi aku masih di rumah ini, ya, untuk malam pengantin saja. Karena besok si Panjul, yang aku sebut Bang Panjul, akan membeli seb