"Bukan iri, tapi sayang. Mbak kebayang kalau wajah Mbak yang mulus kena jerawat atau beruntusan? Kecantikan bisa lenyap seketika!" komentarku lagi.Dia malah tertawa. "Hahaha. Skincare aku bagus. Mahal. Terjamin. Terdaftar BPOM. Semua yang aku pakai itu mahal. Ya, seperti yang artis-artis pakai lah!" jelasnya angkuh. Aku tersenyum sinis."Lah, dia gak tahu apa ya, Nur? Artis juga banyak wajahnya yang rusak. Katanya ke dokter termahal, operasi juga gagal. Pengen cantik, jadi kayak botol kecap. Hahaha." Si Menul menertawakan. Aku juga ingin, tapi takut dosa. Wkwkwk."Eh enak saja kau gentong minyak! Perlu kamu tahu, aku mau suntik putih terus operasi pipi biar agak tirus. Bukan bulet kayak serabi mirip pipimu!"Mendengar pernyataan Mbak Widya barusan aku malah cemas. "Ngapain sih Mbak harus operasi segala? Mbak itu sudah cantik dan seharusnya memang disyukuri dan dirawat saja!" Tapi dia malah tertawa mendengar nasehatku. "Hahaha, sudahlah kamu jangan iri. Kamu juga jangan banyak ngomon
PoV Panjul**"Jul, sini! Sini Ibu mau ngomong!"Malam hari setelah Widya tertidur pulas aku pergi ke dapur. Tapi Ibu malah meminta mendekat dengan wajahnya yang bikin penasaran."Ada apa, Bu?" tanyaku sembari mendekat."Sini! Ayok kita bicara!" sahut Ibu dengan nada tipis dan pelan. Sepertinya ia tak mau menantunya terbangun."Apa sih, Bu?" Wajah Ibu sudah horor. "Kamu ini, Panjul! Keterlaluan uang kamu semua kamu berikan sama si Widya. Jatah Ibu mana? Kamu tahu, Widya ngatur uang Ibu!" celetuknya kesal. Oh, jadi karena itu?"Aduh, Bu, ya mau bagaimana lagi. Widya beda sama Nur yang pintar dibohongi. Dia geledah semua isi sakuku, bahkan gajiku saja semuanya di transfer ke rekening milik dia. Kapan aku bisa bawa uang ke Ibu?" jelasku memang benar begitu kenyataannya.Ibu malah menjewer kupingku. "Aduh, aduduh, sakit, Bu, sakit!" Aku meringis.Gigi putih Ibu mengerat. "Kamu keterlaluan, Panjul! Setelah ibu rasa-rasa kamu menikah dengan Si Widya itu jadi pemborosan dan pengiritan sama
PoV Panjul*Entah kenapa ada niat untuk cek kamar Ibu yang pintunya masih menutup. Biasanya jam segini Ibu sudah bangun untuk membuatkanku sarapan nasi goreng. Tapi sekarang tidak, di meja makan belum ada apa-apa."Bu!" teriakku dengan nada yang tak begitu tinggi.Cklek!Langsung kubuka pintu, ternyata Ibu tidak ada di kamar. Aku cek lemari, semua pakaian Ibu sudah tak ada satu pun. Bahkan tas hitam besar yang waktu itu membawa pakaian Ibu pun tidak ada. Aku yakin, Ibu pasti pergi.Lalu segera kuambil HP untuk menghubungi Ibu. "Ada apa, Bang?" tanya Widya yang terbangun dan masih menguap."Ibu gak ada.""Paling di belakang, Bang," jawabnya santai dengan tumpukkan kantuk."Maksudnya Ibu tidak ada, itu Ibu minggat. Pasti Ibu pulang lagi ke rumahnya."Mendengar informasi dariku Widya terperanjat kaget. Ia terbangun dan langsung loncat. "Apa? Pergi? Pergi ke rumahnya lagi? Aduh, ayok cepat kita jemput Ibu, Bang, ayok! Jangan biarkan Ibu sendiri di rumahnya!" cutusnya Seperti kebakaran j
PoV Panjul*"Bos, maaf, maafkan saya." Tatapan Bos sudah tak enak. Dia melihatku seperti seekor kucing yang sedang lahiran."Coba kamu perhatikan, ini seharusnya harus selesai 70%. Paling tidak, pengerjaan harus sudah selesai 55%. Nah ini, kenapa masih begini? Tadi saya lihat sejak datang, para pekerja juga kayaknya malas-malasan. Mereka sibuk yang minum kopi, bolak-balik bawa martil, ngaduk semen sama pasir juga lama! Gimana ini? Baru setelah saya datang mereka kerja giat begitu!" celetuk bosku. Gawat, dia sudah marah begini. Bola matanya sampai akan loncat ke dasar lantai. Memang dasarnya matanya menonjol, sedang marah begini jadi semakin menakutkan.Aku yang memang merasa salah pun hanya menunduk diam. Saat ini kufokuskan tanah yang masih belum dipasang paving untuk menghindari tatapan bos."Maaf, Bos." Baru aku meminta maaf lagi."Kalau kamu bosan dengan pekerjaan ini biar saya kasih ke orang lain!" tandasnya.Aku pun terperangah kaget. "Jangan, Bos, jangan. Saya yakin ini bukan
Pluk!Amplop di tanganku seketika jatuh beriringan dengan kagetnya bola mata ini yang semakin melebar. "Pecat? Saya dipecat? Saya salah apa, Bos?" "Salah kamu, karena kinerja kamu tidak memuaskan saya. Kalau saya ini adalah orang yang harus terus mempekerjakan orang-orang seperti kamu, mana bisa perusahaan saya maju! Sekarang kamu tinggalkan proyek ini dan jangan pernah kembali lagi. Kamu saya PECAT!"Seperti petir yang tiba-tiba menggelegar di siang bolong. Kata 'pecat' yang terlontar dari mulut Bos membuat para pekerja melirik ke arahku. Pasti mereka juga kaget."Bos, tapi …!" Aku merengek tak mau dipecat. Mau makan apa nanti? Apalagi pengeluaranku membengkak sejak menikah dengan Widya. Belum lagi biaya sewa rumah yang begitu besar karena aku hanya menyewa rumah mewah itu dan pura-pura membelinya. Itu supaya Widya bahagia menikah denganku dan bisa membanggakanku kepada orang lain. Maka dari itu aku tak setuju saat Widya usul rumah Ibu dijual."Bos, Bang Panjul dipecat?" sahut salah
PoV Nurul***"Bagaimana kalau Bang Yadi meminta lebih dari hubungan kita sebelumnya yang hanya sering chatan. Bang Yadi ke mari sengaja ingin melihat kabar Dek Nur. Entah kenapa Bang Yadi malah nyaman bila bisa dengar kabar Dek Nur."Jleb!"Apa, Bang?" Kuteguk liur yang begitu pekat ini setelah mendengar pernyataan Bang Yadi barusan. Dia menghampiriku di rumah di sore hari ini. Sebelumnya dia juga sudah bilang, akan main-main ke mari. Dia adalah pria yang satu kontak denganku, dan tak ayal kami sesekali ngobrol di kedai tempat aku bekerja. Maksudnya kedai milikku, yang tak diketahui oleh orang lain."Hati Bang Yadi tidak bisa dibohongi. Bang Yadi tidak maksa, karena rasa suka tidak bisa dipaksakan. Hanya saja, Bang Yadi datang ke mari itu karena rasa suka ini berlebihan. Mungkin kedengarannya kurang tahu diri. Apalagi Bang Yadi bukan orang kaya. Sedangkan Dek Nur sekarang sudah punya segalanya." "Punya segalanya apa, Bang?" heranku."Eh. Ya maksudnya punya rumah loteng, dan juga be
PoV Nur***"Nur, katanya kamu mau kawin sama si Yadi ya? Yang sekampung sama kita itu dulu? Aduh, memang kalian cocok. Udik bin blangsak. Hahaha."Kupikir akan ada ucapan baik dari mulutnya, tapi sayang, bukan itu yang aku dengar. Malah ocehan dan hinaan saja. Kudengegar pula desas-desus kalau Mbak Widya hamil, karena pernah waktu itu melihat status w.a-nya. Sayangnya pas aku tanya, dia tak membalas. Sampai detik ini. Entah apa maksudnya ingin nomor w.a ku. Apa cuma untuk pamer?"Makasih, Mbak. Doakan saja, Nur akan segera menikah dengannya. Meski bukan orang kaya, setidaknya dia mungkin tidak akan selingkuh!" jawabku menanggapi."Hahah. Iya, iya, aku doakan. Tapi aku tidak akan datang ke pernikahan kamu kalau tidak diundang. Kamu harus mengundang Mbak secara terhormat, baru Mbak akan datang," ujarnya lagi dengan angkuh."Mbak datanglah, Mbak itu satu-satunya keluargaku. Atau nanti aku akan datang ke rumah Mbak untuk secara langsung mengundang kalian. Kalau di sini, rasanya kurang ho
PoV Nurul*"Bang Yadi! Sedang apa Abang di sini? Siapa wanita ini?" tegurku setelah tubuh ini kudorong ke depan mereka berdua. Tatapanku tak beralih ke arah mana pun sesenti pun.Seperti digigit kepiting, Bang Yadi loncat karena kaget. Ngomongnya saat aku kirimi pesan tadi, dia sedang persiapan untuk Pernikahan kami. Seperti ngepak makanan untuk dibawa ke kediamanku yang namanya bisa disebut seserahan. Tapi dia bohong, batang hidung dan segala batangnya ada di sini."Dek Nur?" Bola matanya melebar tak menyangka. Bibirnya yang sudah mulai menghitam karena asap rokok itu seperti gerak-gerak bergetar malu dan gugup. Dan wanita yang ada di dekatnya menunduk malu juga ketakutan."Dek Nur, Dek Nur! Tak usah pangggil aku lagi. Jadi kamu bohong sama aku ya, Bang? Kamu mau menipuku hah? Mentang-mentang aku janda yang sudah dibodohi mantan suami dan kakakku?" tandasku menahan emosi. Entah kenapa ingin sekali aku menangis dan menjerit. Kenapa hidupku begini sekali. Tak adakah pria yang menjadik