Suara dering telpon dari gawai milik Rajasa, lama-kelamaan mengusik ketenangannya, yang sedang menghadiri acara resepsi pernikahan seorang rekan bisnisnya.
"Siapa Pa?" tanya sang istri---Ningrum saat suaminya mengeluarkan benda pipih dari balik saku celananya."Dewa, Ma," jawabnya membaca nama yang tertera pada layar handphonenya."Ada apa?""Entahlah Ma, tapi sedari tadi memang nelpon terus, tapi Papa abaikan, setelah Papa cek baru tau kalau Dewa yang telpon.""Coba di angkat, barangkali ada yang penting, kalau nggak penting, jarang-jarang kan anak itu telpon," sahut NingrumGegas, Rajasa melipir kesudut ruangan yang ramai tersebut, lalu menekan tombol hijau pada layar ponselnya, panggilan dengan Dewa pun tersambung.Ningrum menyusul sang suami, saat ia melihat perubahan raut wajah suaminya, dan memasang telinganya untuk mendengar percakapan dua orang laki-laki yang disayanginya itu.[Apa? Dipaksa menikah? Kok bisa Dewa.]Rajasa terkejut, hingga tanpa sadar ia menaikan satu oktaf nada suaranya, untung saja keadaan ramai disekitarnya saat itu, hingga membuat khalayak ramai disekitarnya, tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan lelaki berusia setengah abad lebih itu."Pa, ada apa Pa?" tanya Ningrum bingung, melihat reaksi suaminya, "Siapa yang dipaksa menikah?" sambungnya lagi dalam tanya."Sssttt." Rajasa memberikan kode, agar istrinya diam sejenak.[Jadi sekarang gimana?][Papa buruan nyusul saya ke desa Tirto ya, kerumah Pak Dukuhnya, nanti saya sharelock]Jawab Dewa, terdengar panik dari sebrang telpon.[Oke, Papa langsung kesana.][Saya tunggu ya Pa.]Panggilan berakhir."Ma, kita pergi sekarang juga menyusul Dewa, sepertinya dia lagi dalam masalah hingga dipaksa menikahi seorang gadis." Rajasa lalu menarik tangan istrinya kasar, hingga membuat pergelangan tangan wanita paruh baya itu sedikit kesakitan.Ningrum terhenyak, "Dipaksa menikah? Kok bisa sih Pa, gimana ceritanya," sahutnya, langkah kakinya lebar-lebar, karena mengekor dibelakang sang suami yang menariknya."Entahlah Ma, kita buruan saja kesana, nanti biar Dewa yang menjelaskan."Sesampainya di mobil, Rajasa meminta Basuki---supir pribadinya, untuk melajukan mobilnya dengan cepat menuju lokasi yang telah di share oleh Dewa.Dan kurang lebih tiga puluh menit kemudian, mereka telah tiba di lokasi itu, rumah Kepala Dukuh.Mobil yang membawa kedua orang tua Dewa kini menjadi pusat perhatian dari seluruh warga yang sedang berkumpul ditempat itu."Pa, kenapa warga ramai sekali orang berkumpul disini, Mama jadi takut, apa sebenarnya yang terjadi pada Dewa, Pa. Beneran Dewa disini?" Ningrum yang mulai resah dan gelisah memberondong suaminya dengan berbagai pertanyaan."Turun saja dulu Ma, kita lihat apa yang sebenarnya terjadi. Papa juga nggak tahu ada apa omi sebenarnya. ayok," ajak Rajasa menggenggam tangan istrinya erat.Ningrum menahan tangan suaminya agar tak beranjak dari tempatnya, "Tunggu Dewa datang saja Pa, baru kita turun, Mama takut, Pa."Rajasa menggangguk setuju, lalu mengirim pesan pada Dewa, mengabarkan jika kedua orang tuanya telah tiba di lokasi yang telah di share olehnya.Lelaki itupun kemudian menghampiri kedua orang tuanya, masih dengan bertelanjang dada, dengan raut wajah panik dan cemas, yang terpampang nyata. Tubuhnya dan celananya yang tadinya basah kini mulai mengering, menyisakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya."Dewa, kamu ngapain? Kenapa Nak? mana bajumu. Ya Allah Dewa," cerca Ningrum mengiba, melihat kondisi anaknya yang hanya memakai celana pendek khusus pesepeda, hanya dari balik jendela mobilnya."Tenang ... Mama tenang dulu, ini nggak seperti yang Papa dan Mama bayangkan. tapi, untunglah Papa dan Mama sudah datang," ucap Dewa terlihat lega."Apa apa Dewa?" tanya Papanya cepat."Kita turun saja Pa, Ma, akan aku jelaskan di dalam." ajak Dewa yang kemudian diikuti oleh kedua orangtuanya."Owalah ini toh orang tuanya, datang juga akhirnya, sudah nggak usah berlama-lama nikahkan saja mereka secepatnya." teriak seorang warga di luar rumah Pak Dukuh."Mentang-mentang orang kaya, seenaknya aja mau berbuat mesum di kampung orang lain," timpal warga lainnya."Saking ngebetnya mungkin kali ya sampai-sampai melakukan kaya gitu di pinggiran sawah, bukannya nyewa hotel aja kek, dasar pelit." komentar warga lainnya lagi."Buruan nikahkan saja mereka Pak Dukuh sebelum desa kita ini terkena bencana.""Iya nikahkan saja mereka Pak Dukuh."Mendengar teriakan warga jujur membuat hati Ningrum semakin tak karuan, sejuta tanya dalam benaknya mulai timbul, sebenarnya apa yang dilakukan Dewa hingga warga disini begitu murka."Ya Allah, ujian apa yang akan engkau berikan pada hambamu ini," rintih Ningrum dalam hati.Warga yang terus saja meneriaki dan menghujat anaknya dengan kata-kata yang sangat kasar, seketika membuat mental Ningrum mulai down, dan bagai dihujani ribuan batu, seketika tubuhnya lemas dan tak bertenaga, kakinya pun tak dapat lagi menopang lagi beban berat tubuhnya, hingga akhirnya.Brug.Ningrum kehilangan kesadarannya, dan Pingsan.Dewa, dibantu Rajasa menggendong tubuh lemas sang Mama, kemudian memasukkannya kedalam rumah kepala Dukuh Paino, sesuai perintah sang pemilik rumah.Selang beberapa lama kemudian, aroma khas minyak kayu putih yang menyeruak memenuhi indra penciuman Ningrum, membuat wanita tersebut mengerjapkan matanya perlahan, lalu mengedarkan pandangannya, sembari mengumpulkan kesadarannya.Dan pertama kali yang ia lihat adalah seorang gadis berhijab yang tengah menangis dalam pelukan seorang wanita yang sepertinya, tak jauh usinya dari Ningrum.Gadis itu terisak, wajahnya sendu, namun dari matanya Ningrum bisa menangkap sosok keibuan dari gadis itu, sorot matanya pun teduh dan menenangkan meskipun saat ini netranya telah menganak sungai, hingga membasahi pipinya.Ningrum masih terus memandangi gadis itu, yang semakin lama ia lihat, gadis itu mempunyai daya tarik tersendiri.Sedang dari arah luar, Ningsih masih bisa mendengar dengan jelas, suara teriakan beberapa warga yang terus saja menuntut anaknya untuk segera menikah."Alhamdulillan, Mama sadar juga." Rajasa lega.Ningsih menoleh pada asal suara, beliau sepertinya telah menemukan kesadarannya."Pa ... papa, mana Dewa Pa, ada apa ini, kenapa ... kenapa mereka tiba-tiba meminta Dewa menikah. menikah dengan siapa? Dan Dewa, apa benar kamu telah melakukan mesum Nak?" cerca Ningrum, membangunkan sedikit badannya hingga setengah duduk.Namun belum juga sempat menjawab, Pak Dukuh tersebut, meminta pada seorang wanita yang berada persis disamping Ningrum untuk memberikannya teh terlebih dulu, agar tak begitu lemas."Minum dulu Bu," wanita yang ternyata diketahui adalah istri dari Dukuh tersebut mengulurkan secangkir teh pada Ningrum.Merasa segan, Ningrum pun mengambilnya lalu menyesapnya perlahan-lahan, hingga menyisakan setengah gelas."Jadi gimana Pa? Dewa? Apa yang sebenarnya terjadi?" paksa Ningrum setelah meletakkan gelas tadi di atas meja dihadapannya."Ma, Dewa harus segera menikah, sekarang juga.""Menikah dengan siapa Pa. Papa jangan asal. menikah hanya sekali seumur hidup, bukan untuk mainan! Kenapa Dewa harus menikah sekarang juga?" seru Ningrum hingga membuat seluruh warga mendengar ucapannya."Huuuuuu," teriak warga menyoraki Ningrum. "Nggak mikir apa anaknya yang berbuat mesum sembarangan, kampung kita bisa terkena murka Allah kalau sampai mereka nggak segera di nikahkan, enak saja, sudah, nikahi saja mereka, cepat Pak Dukuh," sarkas warga lainnya tak terima. "Iya nikahin saja mereka," timpal beberapa warga lainnya, yang membuat suara riuh di rumah Dukuh Paino kembali terdengar. "Maaf Pak, Bu, pernikahan ini harus segera dilakukan, warga benar-benar tak terima kampung kami dicemari, jadi saya selaku kepala Dukuh minta pengertiannya dari semua pihak yang terkait. Bagaimana," paksa Pak Dukuh secara tidak langsung."Untuk apa ditanyakan lagi Pak Dukuh, cepat nikahkan saja." "Iya nikah kan saja mereka sekarang juga." Seru warga bersahut-sahutan membuat suasana semakin riuh dan tegang. "Jadi bagaimana, Pak ... Bu, tolong jangan mempersulit posisi kami sebagai perangkat desa disini." "Kami ..
Jam menunjukkan pulul 21.15. Meski begitu, suasana dirumah Kepala Dukuh Tirto masih nampak ramai. Warga masih berkumpul ditempat disana, demi memastikan pernikahan dadakan itu tetap berlangsung. Gendhis sudah tampak cantik dalam balutan kebaya sederhana, dengan jilbab berwarna sedana dengan kebayanya. Gadis yang sebentar lagi akan menikah itu, kemudian memutar memorinya. Mengingat kejadian sore tadi yang dalam sekejap saja merubah nasibnya. Sore itu, Gendhis sangat bersemangat untuk berangkat kerumah pintar, sebab ia membawa beberapa judul buku cerita baru yang didapatnya dari sumbangan salah satu sahabat, dan sejak pagi Gendhis sudah sangat tak sabar ingin cepat sampai di rumpin. "Rasanya sangat membahagiakan ketika melihat wajah anak-anak itu berseri, dan tersenyum bahagia sebab bisa membaca judul cerita baru. Tak hanya itu dalam bayanganku juga anak-anak itu saling berebutan demi bisa membaca terlebih dulu, hal yang memang layak terjadi pada anak-anak namum terkadang membuat h
"Saya terima nikah dan kawinnya Gendhis Ayuningtyas dengan maskawin uang tunai senilai delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah, dibayar tunai." ucap Dewandraru dalam satu tarikan nafas. "Gimana saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah!" jawab para saksi bersamaan. "Alhamdulillah." ucap penghulu diikuti hampir seluruh orang yang ada disana, kemudian dilanjutkan dengan doa. Tak terkecuali Dewa, tangannya menengadah keatas seolah ia sedang memanjatkan doa yang terbaik untuk pernikahannya, meskipun pada kenyataan ia justru sedang meruntuki dirinya sendiri, dan menyesali semuanya. "Alhamdulillah kalian sekarang telah resmi menjadi pasangan suami istri, kalau sudah begini kalian boleh melakukan hubungan suami istri dengan halal, hanya saja ingat, jangan juga disembaranga tempat, lebih baik jika dilakukan dirumah saja," ucap Dukuh Paino setengah menyidir. Seluruh warga yang mendengarpun bersorak bahagia, sebab diyakini dengan begini
Suasana hening dalam mobil yang membawa sepasang pengantin yang baru saja menikah.Wajahnya sendu, menggambatkan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Gadis manis yang duduk disamping Dewa. Ia menatap kosong kearah depan. Sedangkan Dewa, wajahnya yang tampan menekuk, bak baju yang tak disetrika. "Andai saja tadi aku nggak nekat pergi bersepeda, mungkin semua ini nggak akan terjadi. Aku nggak akan digrebek massa bersama cewek yang tidak kukenal. Andai tadi saya mengizinkan Pak Joko untuk ikut, mungkin pernikahan ini nggak akan pernah terjadi. Dasar b**doh, kenapa juga tadi aku harus mampir ke gubuk itu. Sekarang, yang bisa aku lakikan hanya menyesali semuanya." batin Dewa meruntuki dirinya sendiri. Memorinya kemudian kembali berputar mengingat kejadian sore tadi. Meski awalnya Dewa merasa ragu, untuk pergi bersepada, dikarenakan langit yang sedikit mendung, namun pada akhirnya ia nekat untuk pergi juga. Ya,
"Saya minta maaf." ulang Dewa dengan sungguh-sungguh. Gendhis melepaskan lipatan tangannya, lalu menoleh pada Dewa, "Aku juga minta maaf, karena sudah bicara kasar sama kamu, maaf juga ya." Dewa tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada gadis disampingnya, Gendhis pun menyambut uluran tangan Dewa. "Sama-sama saling maafkan ya." Gendhis mengangguk, segaris senyuman tersungging di bibirnya. "Pikiranku kacau, yang terjadi pada kita sangat cepat, membuat saya nggak bisa mencerna semuanya dengan baik, hingga membuat saya bingung bagaimana harus bersikap." curhat Dewa begitu saja. "Aku paham, apa yang kamu rasakan, sama dengan yang aku rasakan.Hufftt," Gendhis membuang nafasnya kasar, lalu menyandarkan punggung dan kepalanya pada jok mobil. "Entah siapa yang salah, aku, kamu, kita, warga kampung, ataukah----." ucap Dewa memandang nanar kearah depan. "Keadaan, keadaan yang salah, dan kita sedang dipe
"Kita akan tidur seranjang?" tanya Gendhis, yang mendapati hanya ada sebuah ranjang berukurang medium di kamar itu. "Menurutmu?" tanya Dewa balik bertanya. "Tempat tidurnya hanya ada satu, jangan bilang kita---." Gendhis mulai cemas. "Nggak." jawab Dewa singkat, jelas dan padat. "Alhamdulillah, terus, aku tidur dimana?" "Kamu di tempat tidur, aku di sofa, tapi ingat jangan ngorok, aku nggak bisa tidur kalau ada yang berisik. Paham?" "Mana aku tau aku ngorok atau nggak, kan aku tidur," jawab Gendhis tanpa dosa, membuat Dewa seketika memandang tajam dirinya."Hehe," Gendhis tersenyum nyengir. "Ehm ... Mas." panggil Gendhis lagi. "Apalagi sih, saya ngantuk, mau tidur," jawab Dewa sengak."Aku boleh nanya lagi kan?" tanya Gendhis hati-hati. "Apa? Cepetan." "Jadi malam ini, kita nggak---." "Tidak," jawab Dewa tegas, yang tau arah pertanyaan gadis itu.
Butuh waktu 1.5 jam untuk Gendhis menyiapkan berbagai menu sarapan untuk seisi rumah suaminya, dibantu oleh bik Siti yang meracik racik bahan untuk dimasak. Meskipun Gendhis baru saja berkenalan dengan Bik Siti, tapi Art yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun di kediaman Rajasa itu kini terlihat sangat akrab dengan menantu dirumah keluarga Rajasa. "Alhamdulillah selesai juga." "Makasih ya Mbak, kerjaan Bibik jari banyak dibantu, kalau tidak pasti belum selesai nih sebagain kerjaan Bibik lainnya." "Nggak apa apa Bik, saya justru sangat senang bantuin Bik Siti disini." Gendhis tersenyum senang, lalu mulai bergerak membereskan perkakas yang tadi digunakan untuk masak. "Biar Bibik saja yang beres-beres, Mbak Gendhis sudah banyak bantuin Bik Siti lho pagi ini, sudah ... sudah Mbak," Larang Art itu tak enak hati. "Saya bantuin cuci piring dulu ya Bik, nggak apa-apa Bik, dirumah saya juga terbiasa kok melakukam hal kaya gini," uca
"Kamu apaan sih Gendhis, ngagetin aja," keluh Dewa lalu bangun dari tidurnya dan duduk. "Bukannya makasih sudah dibuatkan kopi, malah gerutu." Gendhis mengomel. "Sini kopinya," pinta Dewa kasar, Gendhis pun memberikan secangkir kopi yang dibuatnya pada lelaki dihadapannya. Dewa mengambil kopi yang masih terlihat asap yang mengepulnya diatasnya, ia lalu menyesapnya pelan, menikmati secangkir kopi panas ditemani dengan seorang wanita yang bergelar istrinya. Ya, meski istri dadakan, namun keduanya ternyata cukup nyambung mengobrol, terbukti dengan keduanya yang langsung saja terlihat akrab. Gendhis kemudian bangkit dari duduknya lalu membuka semua gorden dan jendela yang menutupi kamar itu. "Ngapain dibuka sih Gendhis," keluh lelaki itu lagi. "Biar sinar mataharinya masuk Mas, biar sehat kamar kamu ini, lagian biar sirkulasi udaranya berganti, nggak pengap, apalagi bau-bau rokok kamu itu, supaya berganti dengan udara