Share

Pernikahan Abnormal
Pernikahan Abnormal
Penulis: Riyana Iyung

Bab 1

"Oooo itu toh rupanya biang masalahnya!" seru seorang lelaki paruh baya yang membawa arit dari arah jalan, saat mendapati pemandangan yang seketika menyulut amarahnya.

"Ada apa to Lek?" sahut seseorang di samping lelaki tadi, yang membawa cangkul.

"Lihat tuh di dalam warungnya Mbokde Par, ada orang lagi mesum. Ayo tangkep saja!" sarkas orang pertama lagi.

"Mosok to Lek!" tanya seorang lainnya yang hanya memakai caping sebagai penutup kepalanya.

"Wo iyooooo cah ..., Astaqfirulloh," ucap lelaki kedua yang memanggul cangkul membenarkan.

Ketiga lelaki yang usianya sekitar setengah abad itu bergegas manghampiri sepasang muda mudi yang masih dalam posisi bertindihan, oleh sebab hujan yang begitu deras, membuat suara si gadis yg masih histeris berteriak-teriak, terdengar seolah melepas rintihan.

Ketiga petani yang baru saja pulang dari sawah itu, tampak sangat marah dalam sapuan badai yang masih menggila.

"Ternyata kalian to makhluk s*ntoloyo yang bikin Tuhan marah sama Desa ini dan langsung mengirimkan bencana ini, hah!" hardik orang pertama yang melihat sepasangan anak muda itu, sembari mengacungkan arit di tangannya,

Jarak ketiga orang tersebut sekitar 2 meteran dari anak muda beda jenis kelamin itu. mendengar ada suara orang lain dalam gubuk itu sontak membuat kedua laki laki dan perempuan yang saling bertindihan itu terkejut dan seketika menoleh ke arah suara.

Seorang petani, dengan cangkul masih dibahu kirinya tanpa basa-basi menjejak lalu mendorong kuat tubuh lelaki itu dengan tumit kaki kanannya hingga membuat lelaki itu terpental dari atas si gadis, dan mengaduh meringis menahan sakit pada perut bagian kiri.

Si gadis terkejut tak karuan, segera memeluk kakinya sendiri sedangkan pakaiannya sebenarnya masih tertutup rapat.

Tak hanya sampai di situ saja, bahkan tau-tau si cewek tersebut mendapat t*mparan cukup keras di pipi kirinya, yang dilayangkan oleh salah satu petani yang memakai caping.

"Bocah Edyan, bisa bisanya mesum di tempat seperti ini, siapa kalian, dan tinggal dimana? bikin malu saja," tanya petani yang membawa arit.

"Maaf Pak, saya ... saya Dewa, rumah saya di daerah ngaglik Pak, maaf pak, ini tidak seperti yang bapak-bapak pikirkan, kami ... kami---" jawab si cowok yang kemudian di potong ucapannya oleh petani membawa cangkul.

Lelaki bernama Dewa itu berdiri, namun masih memegangi perut bagian kirinya akibat terkena benda tumpul saat di tendang tadi.

"Apa? Hem? nggak usah sok mencari alasan kalau hanya berbohong saja, dasar bocah gemblung." makinya lagi.

"Lha wong orang jauh, kok berani-beraninya mesum di desa orang, dasar anak nggak punya akhlak, nafsu saja di besarin.

"Dan kamu orang mana?" tunjuk petani yang memakai caping pada si cewek.

"Saya Gendhis pak, saya tinggal di Purwo." jawab gadis itu tertunduk ketakutan, jari-jari tangannya di genggamnya erat, pada bagian dadanya.

"Sudah ... sudah, ayo kita seret saja mereka ke Mbah Paino, kita beritau semua warga." berkata lagi petani yang membawa arit tadi, yang kemudian disetujui serempak oleh dua orang lainnya.

"Ayok!"

Seorang petani yang dikuasai amarah itu kemudian tanpa ampun mencengkeram jilbab Gendhis, dan memaksanya berdiri. Sigadis meringis dan mengerang menahan sakit. Dia ditarik paksa kejalan.

Sedangkan seorang petani lainnya menjambak rambut Dewa dan juga menariknya paksa mengukuti kedua petani lainnya didepannya.

Ketiga petani tersebut terus menerus mengumpat dan menghardik tak karuan, sembari terus berjalan membawa Dewa dan Gendhis di tengah hujan ke arah kampung, tepatnya menuju rumah Mbah Paino---Kepala padukuhan setempat.

Hujan mulai turun dengan reda saat mereka sampai di rumah Mbah Paino, ketiga petani itupun bergegas memanggil-manggil sang empunya rumah, mendengar keributan tersebut membuat sebagian warga keluar dan turut berkumpul di rumah sang Dukuh.

Seluruh perangkat Desa di kampung itu pun dikumpulkan, guna menindaklanjuti dugaan perbuatan asusila yang dilakukan kedua muda mudi ini, dan tentu saja tak butuh waktu lama seluruh warga desa itu telah berkumpul di rumah kepala Dukuh.

"Kita harus menikahkan mereka demi mencegah petaka yang lebih dahsyat pada desa kita." seru seorang lelaki sepuh yang merupakan tokoh masyarakat yang ada di kampung itu.

"Saya setuju, perbuatan mereka bisa mendatangkan musibah bagi desa kita, itu yang kita yakini selama ini kan, jadi mereka harus dinikahkan sekarang juga," timpal seorang tokoh masyarakat lainnya.

"Bagaimana yang lainnya, apa ada usul lainnya?" tanya Mbah Paino meminta pendapat perangkat desa juga tokoh masyarakat lainnya.

"Nggak ada pilihan lain, mereka harus menikah."

"Betul, nikahkan mereka secepatnya, sebelum musibah yang besar datang pada desa kita."

"Ya ... ya, setuju."

Pendapat beberapa orang lainnya, yang juga setuju jika Dewa dan Gendhis memang harus di nikahkan.

Sementara itu, lelaki dan perempuan yang sedang menjadi bahan perbincangan warga desa itu merasa sangat terpojok, Gendhis yang selama di arak tadi hanya menangis tersedu, kini tak tahu harus berbuat apa, sedangkan Dewa yang masih bertelanjang dada terus saja merutuki dirinya sendiri.

"Habis enak-enak nangis yo Mbak, sudah nggak usah nangis, nanti malam juga bisa enak-enakkan lagi kok Mbak, hahaha," teriak seorang warga menyidir Gendhis yang terlihat sesenggukkan.

"Lha iyo, malah penak to, sudah sah jadi suami istri setelah dari sini, mau nganu-nganu juga nggak usah di gubuk reot, wkwkw," timpal warga desa lainnya.

"Adeknya nggak kuat kali, makanya nggak make mikir, sembarang tempat nggak apa-apa yang penting nafsu tersalurkan, owalah dasar cah edyan."

"Halah ... halah, apa yo enak nganu di tempat kaya gitu, owalah ngelus dodo tenan aku yo."

"Apa mungkin mereka pasangan selingkuh makanya nganunya sampai harus di gubuk reot pinggir jalan. Haha."

Teriak, sindiran, juga makian dari bebagian warga, semakin membuat Gendhis malu, sedangkan Dewa nampak diam, sebab masih menunggu saat yang tepat untuk membela diri.

"Betul juga Mbah Paino, jangan-jangan mereka ini pasangan selingkuh," ujar sang RT yang mendengarkan celetukan warga.

"Hey kalian, siapa tadi namanya?"

"Katanya Gendhis dan Dewa, Mbah," jawab pak Rw setempat.

"Ya itulah saya nggak hapal, apa kalian sudah punya pasangan?" tanya Mbah Paino.

"Saya punya Pak, saya punya calon istri, jadi tolong ... tolong Pak, jangan nikahkan kami ya Pak, ini tidak seperti yang kalian pikirkan, tidak Pak, saya berani bersumpah." ucap Dewa mencoba membelas diri.

"Saya nanya, kamu jawab. nggak usah membela diri, sudah nggak penting lagi. Kalian harus tetap menikah, apalagi hanya calon istri, ini kalian sudah berbuat mesum lho, melanggar aturan dan norma kesusilaan. Paham kamu!

Kamu, ehm ... Gendhis, kamu punya pasangan?" ujar Mbah Paino bertanya lagi.

"Saya ... saya punya pacar Pak, tolong ... jangan paksa kami menikah Pak, saya ... saya bahkan tidak mengenal laki-laki ini," jawab Gendhis setengah memohon.

"Panggil kedua orang tua kalian kesini ya, jika belum menikah kalian berdua tidak bisa meninggalkan kampung kami," titah Mbah Paino tegas dan tak terbantahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status