"Oooo itu toh rupanya biang masalahnya!" seru seorang lelaki paruh baya yang membawa arit dari arah jalan, saat mendapati pemandangan yang seketika menyulut amarahnya.
"Ada apa to Lek?" sahut seseorang di samping lelaki tadi, yang membawa cangkul."Lihat tuh di dalam warungnya Mbokde Par, ada orang lagi mesum. Ayo tangkep saja!" sarkas orang pertama lagi."Mosok to Lek!" tanya seorang lainnya yang hanya memakai caping sebagai penutup kepalanya."Wo iyooooo cah ..., Astaqfirulloh," ucap lelaki kedua yang memanggul cangkul membenarkan.Ketiga lelaki yang usianya sekitar setengah abad itu bergegas manghampiri sepasang muda mudi yang masih dalam posisi bertindihan, oleh sebab hujan yang begitu deras, membuat suara si gadis yg masih histeris berteriak-teriak, terdengar seolah melepas rintihan.Ketiga petani yang baru saja pulang dari sawah itu, tampak sangat marah dalam sapuan badai yang masih menggila."Ternyata kalian to makhluk s*ntoloyo yang bikin Tuhan marah sama Desa ini dan langsung mengirimkan bencana ini, hah!" hardik orang pertama yang melihat sepasangan anak muda itu, sembari mengacungkan arit di tangannya,Jarak ketiga orang tersebut sekitar 2 meteran dari anak muda beda jenis kelamin itu. mendengar ada suara orang lain dalam gubuk itu sontak membuat kedua laki laki dan perempuan yang saling bertindihan itu terkejut dan seketika menoleh ke arah suara.Seorang petani, dengan cangkul masih dibahu kirinya tanpa basa-basi menjejak lalu mendorong kuat tubuh lelaki itu dengan tumit kaki kanannya hingga membuat lelaki itu terpental dari atas si gadis, dan mengaduh meringis menahan sakit pada perut bagian kiri.Si gadis terkejut tak karuan, segera memeluk kakinya sendiri sedangkan pakaiannya sebenarnya masih tertutup rapat.Tak hanya sampai di situ saja, bahkan tau-tau si cewek tersebut mendapat t*mparan cukup keras di pipi kirinya, yang dilayangkan oleh salah satu petani yang memakai caping."Bocah Edyan, bisa bisanya mesum di tempat seperti ini, siapa kalian, dan tinggal dimana? bikin malu saja," tanya petani yang membawa arit."Maaf Pak, saya ... saya Dewa, rumah saya di daerah ngaglik Pak, maaf pak, ini tidak seperti yang bapak-bapak pikirkan, kami ... kami---" jawab si cowok yang kemudian di potong ucapannya oleh petani membawa cangkul.Lelaki bernama Dewa itu berdiri, namun masih memegangi perut bagian kirinya akibat terkena benda tumpul saat di tendang tadi."Apa? Hem? nggak usah sok mencari alasan kalau hanya berbohong saja, dasar bocah gemblung." makinya lagi."Lha wong orang jauh, kok berani-beraninya mesum di desa orang, dasar anak nggak punya akhlak, nafsu saja di besarin."Dan kamu orang mana?" tunjuk petani yang memakai caping pada si cewek."Saya Gendhis pak, saya tinggal di Purwo." jawab gadis itu tertunduk ketakutan, jari-jari tangannya di genggamnya erat, pada bagian dadanya."Sudah ... sudah, ayo kita seret saja mereka ke Mbah Paino, kita beritau semua warga." berkata lagi petani yang membawa arit tadi, yang kemudian disetujui serempak oleh dua orang lainnya."Ayok!"Seorang petani yang dikuasai amarah itu kemudian tanpa ampun mencengkeram jilbab Gendhis, dan memaksanya berdiri. Sigadis meringis dan mengerang menahan sakit. Dia ditarik paksa kejalan.Sedangkan seorang petani lainnya menjambak rambut Dewa dan juga menariknya paksa mengukuti kedua petani lainnya didepannya.Ketiga petani tersebut terus menerus mengumpat dan menghardik tak karuan, sembari terus berjalan membawa Dewa dan Gendhis di tengah hujan ke arah kampung, tepatnya menuju rumah Mbah Paino---Kepala padukuhan setempat.Hujan mulai turun dengan reda saat mereka sampai di rumah Mbah Paino, ketiga petani itupun bergegas memanggil-manggil sang empunya rumah, mendengar keributan tersebut membuat sebagian warga keluar dan turut berkumpul di rumah sang Dukuh.Seluruh perangkat Desa di kampung itu pun dikumpulkan, guna menindaklanjuti dugaan perbuatan asusila yang dilakukan kedua muda mudi ini, dan tentu saja tak butuh waktu lama seluruh warga desa itu telah berkumpul di rumah kepala Dukuh."Kita harus menikahkan mereka demi mencegah petaka yang lebih dahsyat pada desa kita." seru seorang lelaki sepuh yang merupakan tokoh masyarakat yang ada di kampung itu."Saya setuju, perbuatan mereka bisa mendatangkan musibah bagi desa kita, itu yang kita yakini selama ini kan, jadi mereka harus dinikahkan sekarang juga," timpal seorang tokoh masyarakat lainnya."Bagaimana yang lainnya, apa ada usul lainnya?" tanya Mbah Paino meminta pendapat perangkat desa juga tokoh masyarakat lainnya."Nggak ada pilihan lain, mereka harus menikah.""Betul, nikahkan mereka secepatnya, sebelum musibah yang besar datang pada desa kita.""Ya ... ya, setuju."Pendapat beberapa orang lainnya, yang juga setuju jika Dewa dan Gendhis memang harus di nikahkan.Sementara itu, lelaki dan perempuan yang sedang menjadi bahan perbincangan warga desa itu merasa sangat terpojok, Gendhis yang selama di arak tadi hanya menangis tersedu, kini tak tahu harus berbuat apa, sedangkan Dewa yang masih bertelanjang dada terus saja merutuki dirinya sendiri."Habis enak-enak nangis yo Mbak, sudah nggak usah nangis, nanti malam juga bisa enak-enakkan lagi kok Mbak, hahaha," teriak seorang warga menyidir Gendhis yang terlihat sesenggukkan."Lha iyo, malah penak to, sudah sah jadi suami istri setelah dari sini, mau nganu-nganu juga nggak usah di gubuk reot, wkwkw," timpal warga desa lainnya."Adeknya nggak kuat kali, makanya nggak make mikir, sembarang tempat nggak apa-apa yang penting nafsu tersalurkan, owalah dasar cah edyan.""Halah ... halah, apa yo enak nganu di tempat kaya gitu, owalah ngelus dodo tenan aku yo.""Apa mungkin mereka pasangan selingkuh makanya nganunya sampai harus di gubuk reot pinggir jalan. Haha."Teriak, sindiran, juga makian dari bebagian warga, semakin membuat Gendhis malu, sedangkan Dewa nampak diam, sebab masih menunggu saat yang tepat untuk membela diri."Betul juga Mbah Paino, jangan-jangan mereka ini pasangan selingkuh," ujar sang RT yang mendengarkan celetukan warga."Hey kalian, siapa tadi namanya?""Katanya Gendhis dan Dewa, Mbah," jawab pak Rw setempat."Ya itulah saya nggak hapal, apa kalian sudah punya pasangan?" tanya Mbah Paino."Saya punya Pak, saya punya calon istri, jadi tolong ... tolong Pak, jangan nikahkan kami ya Pak, ini tidak seperti yang kalian pikirkan, tidak Pak, saya berani bersumpah." ucap Dewa mencoba membelas diri."Saya nanya, kamu jawab. nggak usah membela diri, sudah nggak penting lagi. Kalian harus tetap menikah, apalagi hanya calon istri, ini kalian sudah berbuat mesum lho, melanggar aturan dan norma kesusilaan. Paham kamu!Kamu, ehm ... Gendhis, kamu punya pasangan?" ujar Mbah Paino bertanya lagi."Saya ... saya punya pacar Pak, tolong ... jangan paksa kami menikah Pak, saya ... saya bahkan tidak mengenal laki-laki ini," jawab Gendhis setengah memohon."Panggil kedua orang tua kalian kesini ya, jika belum menikah kalian berdua tidak bisa meninggalkan kampung kami," titah Mbah Paino tegas dan tak terbantahkan.Dewa terbangun ketika suara alarm dari ponselnya berbunyi keras. Tangannya meraba meja kecil di samping sofa, mencari ponselnya dengan mata yang masih setengah terpejam. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia meregangkan tubuhnya, menyadari bahwa ia masih tidur di sofa di kamar hotel, terpisah dari ranjang besar di mana istrinya, beristirahat.Matanya perlahan terbuka, dan samar-samar ia menangkap sosok Gendhis yang sedang bersujud, lengkap dengan mukena berwarna putih tulang yang membalut tubuhnya. Dewa terdiam sejenak, memperhatikan gadis itu dalam hening. Gendhis sedang menunaikan shalat dhuha, begitu khusyuk hingga seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang."Gadis ini memang berasal dari kampung, tapi kenapa setiap melihatnya aku merasakan ada ketenangan dan keindahan yang terpancar darinya, terutama saat ia sedang beribadah. Wajahnya tampak bersih dan bercahaya, mungkin karena sering terkena air wudhu." batin Dewa
Gendhis duduk di sofa ruang tamu, melipat kedua kakinya sambil memeluk bantal kecil. Matanya terus menatap jam dinding yang berputar perlahan, seakan menghitung setiap detik dengan cemas. Rasanya sudah hampir tengah malam, dan Dewa, lelaki yang kini resmi menjadi suaminya, belum juga kembali ke kamar mereka. Ia tak pernah benar-benar mengenal lelaki itu sebelum pernikahan mereka yang dipaksakan oleh keadaan. Bahkan, bisa dibilang, Dewa masih terasa seperti orang asing baginya.Namun meski begitu, ada rasa tak nyaman yang menggelayut di hati Gendhis. Apakah wajar menunggu seseorang yang nyaris tak ia kenal? Ia tak tahu mengapa, tetapi pikirannya terus saja bertanya-tanya ke mana lelaki itu pergi, dan kenapa belum kembali. Tidur sendiri di kamar terasa salah. Setelah beberapa kali membolak-balik posisi di atas tempat tidur, Gendhis akhirnya menyerah dan memilih menunggu di ruang tamu, meski kantuk perlahan menyerangnya."Ya Allah, kenapa
"Entahlah Mas, kalau aku jujur sih aku mau gunakan waktuku untuk memperdalam materi pelajaraan buat bekal aku ngajar juga, ya ... mencoba untuk mengisi waktu luang dengan hal-hal yang positif, sembari baca-baca mungkin, mumpung gratis juga kan karena ada wifi disini," ujar Gendhis tertawa. "Oh ya, aku hanya tau kamu seorang guru, tapi aku nggak tau kamu ngajar dimana dan kelas berapa. Sory ya, karena semua terjadi begitu cepat, sampai aku juga nggak banyak tau tentang kamu." Gendhis tersenyum, senyuman tipis namun sangat manis. "Nggak apa-apa kok Mas, aku juga hanya tau kamu seorang CEO sebuah perusahaan tapi nggak tau lebih jauh soal itu, bahkan tentang hidupmu lainnya. Maaf juga ya tadi aku sempat bilang kamu aneh, ya ... meskipun sampai saat ini aku masih belum percaya sih kamu masih perjaka tapi setidaknya alasan kamu tadi cukup buat aku tau sedikit tentang kamu.""Perkenalan kita memang tak biasa Ndhis, namun aku senang kita bertemu, setid
Dewa menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan, pandangannya kosong menatap jauh kedepan. "Dia marah padaku Dhis, bahkan dia menyalahkan aku, katanya, aku penyebab semua ini, padahal jika ditanya aku pun nggak mau berada dalam posisi seperti saat ini," ucap Dewa melemah. "Entahlah Ndhis, bagaimana akhir semua ini, yang aku tau aku sangat mencinta Rebeca, kekasihku," curhat lelaki berkharismatik itu."Aku paham Mas, kita semua tak ingin ada dalam Posisi ini, tapi kita bisa apa untuk saat itu. ya kan?" Dewa mengangguk setuju. "Hufftt, sama saja Mas, Bagas juga kalau kami lagi telpon ngambek melulu, mana mikirnya yang nggak-nggak tentang kita. Dia takut ..., takut kalau saja kamu---," ucapan Gendis terpotong oleh Dewa. "Dia takut aku menyentuh kamu, ya kan? takut aku melakukan kewajibanku memberimu nafkah batin? Aku tau itu." "Eeiitttss tapi kamu beneran kan Mas nggak ada niat itu kepadaku?" Dewa tersenyum si
Wanita yang kini berstatus Istri Putra Dewandaru ini, masih tak habis pikir atas perubahan statusnya dalam sekejap mata. Jodoh memang tak ada yang tahu, ternyata itu benar adanya. Gendhis dan Dewa yang sebelumnya telah memiliki pasangan masing-masing siapa sangka akhirnya harus menerima takdir mereka untuk bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Pagi itu, Gendhis duduk disebuah sofa yang menghadap keluar jendela kamar hotelnya. Ia termenung, memikirkan nasibnya yang dianggap sial, juga ide suaminya yang jauh dari kata normal itu. "Apa memungkinkan kalau aku mengajak mas Bagas kemari, apa dia mau?Sebenarnya ide mas Dewa cukup bagus juga, karena dengan begitu tidak akan membuat pikiran negative atau kecemburuan dihati pasangan kami. Tapi, sudah jelas ini adalah sebuah kesalahan, bagimana pun, aku dan mas Dewa sudah sah dihadapan Tuhan. Bukannya seharusnya aku menjaga marwahku sebagai seorang wanita bersuami?" batin Gendhis menggalau.
Gendhis mengambil minuman kalengnya. Dicucupnya seteguk, lalu melirik kearah Dewa yang juga nampak sedang kacau, "Pacarmu marah Mas Dewa?""Yaaa begitulah kira-kira," jawab Dewa masih dalam posisi kedua tangannya di atas rambut dan kepalanya,"Bagasmu juga kan?""Lebih dari itu. Dia juga terbakar cemburu. tadi aja sampai mukulin bantal lantai, sampai merintih kesakitan gitu deh, Ada tiga kali kayaknya.""Hah? Hahahaaaaaaaa." tawa Dewa. Baru kali ini Dewa terhibur dan melepaskan kedua tangannya dari atas rambut dan kepalanya."Wajar sih mereka sampai semarah dan secemburu itu.""Ya, Memang sangat wajar." Gendhis menyahut sambil menerawang ke langit-langit ruang santai itu. Keduanya pun kembali terdiam untuk beberapa saat."Aku punya ide." Dewa memecah keheningan dan wajahnya tampak berbinar, "Coba kamu pertimbangkan ya Dhis," sambungnya lagi."Ide? Soal apa?", Gendhis menoleh dan mengerenyit dahinya, penasar