Share

Bab 7

"Saya minta maaf." ulang Dewa dengan sungguh-sungguh.

Gendhis melepaskan lipatan tangannya, lalu menoleh pada Dewa, "Aku juga minta maaf, karena sudah bicara kasar sama kamu, maaf juga ya."

Dewa tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada gadis disampingnya, Gendhis pun menyambut uluran tangan Dewa.

"Sama-sama saling maafkan ya."

Gendhis mengangguk, segaris senyuman tersungging di bibirnya.

"Pikiranku kacau, yang terjadi pada kita sangat cepat, membuat saya nggak bisa mencerna semuanya dengan baik, hingga membuat saya bingung bagaimana harus bersikap." curhat Dewa begitu saja.

"Aku paham, apa yang kamu rasakan, sama dengan yang aku rasakan.

Hufftt," Gendhis membuang nafasnya kasar, lalu menyandarkan punggung dan kepalanya pada jok mobil.

"Entah siapa yang salah, aku, kamu, kita, warga kampung, ataukah----." ucap Dewa memandang nanar kearah depan.

"Keadaan, keadaan yang salah, dan kita sedang dipermainkan oleh keadaan," timpal Gendhis memotong kalimat Dewa.

Sejurus kemudian suasa hening, baik Dewa maupun Gendhis tak mengucapakan sepatah katapun, hingga suara dering telpon menyadarkan Dewa dari lamunannya.

Dewa segera mengambil gawai miliknya yang terletak di tas selempang kecil yang memang sering dibawanya setiap hendak bersepeda.

"Mama." gumamnya pelan, namun terdengar samar oleh Gendhi, Dewa pun mengacuhkannya.

"Kok nggak diangkat?" tanya Gendhis.

"Sudah dekat rumah." Dewa lalu bersiap kembali untuk melajukan mobilnya, sedangkan Gendhis kembali diam.

Mobil yang membawa Gendhis kini berbelok ke arah kanan, dan berhenti tepat di sebuah gerbang yang sangat kokoh dan besar, yang sesaat menutupi pandanganku akan rumah di baliknya.

Dewa membunyikan klakson mobilnya, memberikan tanda agar seseorang segera membukakan pintu gerbang yang juga terlihat sangar itu.

Seorang satpam pun berlari kecil, lalu dengan sigap membuka pintu gerbang tersebut, hingga Dewa dengan mudah memasukkan mobilnya ke dalam halaman rumah tersebut.

Gendhis menurunkan sedikit kepalanya kedepan agar pandangannya bisa lebih jelas melihat ke bagian depan meski hanya dari balik kaca mobil.

Dan seketika Gendhis tertegun dengan apa yang dilihatnya, sebuah rumah yang sangat besar, dan mewah, bergaya klasik Eropa berlantai dua, dengan pilar yang besar dan kokoh, jendela yang besar, dan dilengkapi dengan banyak ornamen.

"Masuk," ucap Dewa jutek.

"Ini beneran rumah kamu?" tanya Gendhis seakan tak percaya bahwa rumah mewah itu adalah rumah mertuanya.

"Bukan, rumah orang tuaku."

Dewa turun dari mobilnya, lalu mengeluarkan beberapa tas sederhana milik Gendhis, sedang gadis yang sudah juga ikut turun itu, masih ternganga menyaksikan pemandangan rumah yang bak istana baginya.

"Kamu mau tidur disini?" tanya Dewa menyaksikan istrinya yang sedari tari terus saja memandang ke arah rumahnya.

Gendhis tersadar, lalu mulai mengikuti langkah kaki ikuti langkah lelaki didepannya itu.

Pandangan Gendhis memutar melihat kesekeliling halaman, meski malam namun suasana di halaman rumah tersebut terasa sangat nenyenangkan, di bagian depan rumah terdapat kolam ikan koi dilengkapi dengan air terjun didinding, berbagai tanaman hias seperti Monstera, Caladium dan Aglonema, juga nampak menghiasi pinggiran kolam.

Tak jauh dari kolam tersebut, terdapat sebuah gazebo berukuran sedang yang biasanya digunakan untuk tempat santai sambil menikmati suasana di halaman rumah itu, juga terdapat ayunan yang terbuat dari kayu jati pilihan yang bisa digunakan untuk 2 orang.

Masuk dalam rumah, kedua orang Dewa dan seorang gadis muda yang kisaran umurnya tak jauh dari Gendhis menyambut kedatangan pasangan yang baru saja resmi menikah itu, dengan ramah dan sangat baik.

"Hai Mbak Gendhis, salam kenal aku Arum adik kesayangan Mas Dewa," ucap gadis itu menyapa Kakak iparnya dengan full senyum.

"Hai Arum, sa ... salam kenal juga." Gendhis terbata berusaha menarik garis di kedua ujung bibirnya, namun terlihat sangat dipaksakan.

"Santai aja Mbak, nggak usah tegang ya, rileks aja, kita kan sekarang keluarga, anggap saja ini juga rumah Mbak.

Oh ya, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku, juga memberitahukan nama Kakak iparku ini, semoga kita bisa cepat akrab ya Mbak," jawab Arum memegang tangan Gendhis, berusaha mencairkan suasana dengan memberikan kenyamanan pada Gendhis.

"Makasih ya."

Ningrum kemudian mengajak mereka semua 'tuk makan malam bersama.

"Ini adalah makan malam kita sekeluarga dengan anggota baru, Gendhis, menantu Mama," ujar Ningrum sebelum memulai makan malam mereka.

Gendhis mengangguk pelan, seraya mengembang senyum tipis dari bibir tebalnya.

"Semoga pernikahan Dewa dan Gendhis langgeng hingga maut memisahkan. Aamiin," sambung Ningrum yang lalu pdiaminkan oleh Rajasa dan Arum terkecuali kedua orang yang sedang di doakan itu.

Acara makan malam yang kemalaman itu berjalan dengan lancar, sembari menikmati makanan yang telah di hidangkan di atas meja, obrolan ringan dan santai juga tercipta diantara mereka sekedar untuk mengakrabkan diri dengan anggota baru dikeluarga itu, terkecuali Dewa.

Lalaki itu lebih banyak diam, dan mendengarkan obrolan di antara mereka semua, sedang pikirannya melanglang buana memikirkan perasaan kekasihnya jika mengetahui perihal pernikahannya itu.

Makan malam pun selesai, nyaris mendekati tengah malam.

"Kalian tidurlah, pasti hari ini menjadi hari yang sangat melelahkan bagi kalian berdua, ya kan?" tanya Ningrum sok tau.

"Dewa, ajak istri kamu kekamar dong, tadi Mama sudah minta bik Siti untuk membersihkan kamar kamu juga menggantai seprainya dengan yang baru, jadi mulai malam ini kalian bisa tidur dengan nyaman.

Oh ya Nduk, cah ayu, sedikit Mama ngasih info ke kamu ya, kalau Dewa ini sebenarnya sudah nggak tinggal dirumah ini, sebab Dewa sudah punya rumah sendiri, seperti yang Mama bilang tadi.

Hanya saja, memang malam ini Mama meminta agar kalian menginap malam ini di sini, ya supaya bisa berkenalan juga dengan Arum." cerita Ningrum panjang lebar, sedang di balas dengan senyuman kecil dari Gendhis.

"Ma, apakah malam ini nggak sebaiknya kami tidur terpisah dulu, kami belum saling kenal lebih jauh, kami juga mungkin masih butuh waktu untuk mencerna semua ini.

Ini semua begitu cepat Ma, saya bahkan masih tak tahu harus bagaimana menyikapi semua ini," curhat Dewa meminta pengertian sang Mama.

"Aku setuju sama Mas Dewa, Ma, mungkin sebaiknya kami tidur terpisah dulu," timpal Gendhis membenarkan ucapan suaminya.

Ningrum menggelengkan kepala pelan, "Mulai malam ini kalian akan tidur bersama negitu juga malam-malam berukutnya, justru belum terbiasa makanya harus dibiasakan dengan status baru kalian," jawab Ningrum tak terbantah. A

Namun Dewa tak bergeming,

"Dewa." panggil Ningrum.

"Iya Ma," jawab Dewa tak bisa menolak.

Jadilah malam itu Gendhis dan Mas Dewa menginap dirumah orang tua Dewa, dan tidur sekamar.

Rasa canggung, kaku dan bingung menyelimuti diri mereka masing-masing, saat keduanya berada di dalam suatu ruangan yang sama hanya berdua saja.

Gendhis masih berdiri disamping tempat tidur Dewa, menatap keseliling kamar bernuansa abu-abu putih khas cowok banget.

Sejurua kemudian, Gendhis memberanikan diri tuk memulai mengajak Dewa bicara terlebih dulu.

"Mas."

Dewa menoleh, "Apa?" jawabnya singkat seraya menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas sebuah sofa.

"Kita akan tidur seranjang?" tanya Gendhis, yang mendapati hanya ada sebuah ranjang berukurang medium di kamar itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status