Pengakuan Smith barusan, lebih dari sekadar mengejutkan Janu. Pemuda itu bahkan berpikir bahwa Smith sedang bercanda untuk menghilangkan ketakutannya.
Rasa-rasanya tidak mungkin kalau Smith melakukan kebohongan perihal kehamilannya. Itu sangat tidak masuk akal. Memangnya untuk apa Smith pura-pura hamil? Bukankah hal itu tidak ada gunanya dan bahkan sudah membuat Smith berada dalam keadaan sulit beberapa kali.
"Itu sangat lucu Smith. Aku senang kau berusaha mengalihkan rasa takutmu dengan bergurau. Itu sangat bagus," ucap Janu sambil meringis.
Namun wajah Smith tidak menunjukkan bahwa gadis itu sedang bercanda. Smith menggeleng dengan sangat serius dan berkata, "Tidak Janu, aku belum pernah seserius ini. Dengarkan pengakuanku baik-baik, aku TIDAK hamil. Jangankan hamil, pacar saja aku tidak punya. Juga tidak pernah dekat dengan lelaki. Jangankan bersetubuh dengan seorang pemuda, berciuman saja aku tidak pernah. Jadi mana mungkin aku bisa hamil?"
Janu masih
Janu mendekatkan wajahnya pada Smith. Kini jarak wajah pasangan suami istri itu hanya satu jengkal saja. Tentu saja hal itu membuat detak jantung Smith menjadi semakin tidak terkendali. Bahkan ia juga merasakan darahnya berdesir sangat cepat sehingga menimbulkan sensasi tertentu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Yang jelas ada perasaan yang membuat hatinya merasa lebih senang."Terima kasih karena kau sudah memilihku untuk menjadi partner kebohonganmu. Aku sangat bersyukur karena kau berpikir untuk melakukan kebohongan besar itu."Janu sengaja mengambil jeda. Ia ingin mengamati wajah Smith dari jarak yang begitu dekat untuk beberapa saat.Janu tidak pernah membayangkan akan memiliki istri dengan paras yang sempurna seperti Smith. Ketika Janu melihat mata Smith yang indah kecoklatan ia bisa melihat kejernihan dari hati istrinya itu. Meskipun mungkin keadaan membuat Smith telah mengubahnya menjadi seseorang yang sanga
Hari masih sangat pagi. Matahari belum terasa panas. Tapi tidak demikian dengan hati Hendry. Lelaki itu sudah merasa begitu panas hatinya karena tidak bisa berhenti memikirkan persoalan yang dibicarakan oleh Sinta tadi malam, yakni tentang kebohongan Smith dan juga tindakan Sheira kepada Sisil.Hendry sudah terlihat rapi dengan kemeja dan jas bermerek berwarna hitam yang ia kenakan. Ia sengaja bersiap lebih awal dan tidak membangunkan sang istri yang masih tertidur pulas.Hendry memang berencana untuk tidak mengajak istrinya karena kehadiran Sinta di rumah Sheira nanti, mungkin hanya akan menimbulkan keributan yang lebih besar. Sedangkan Hendry bertandang ke rumah sahabat almarhum istrinya itu dengan tujuan untuk membicarakan semua dengan baik-baik.Meskipun video yang ditunjukkan Sinta padanya sudah membuat lelaki itu begitu bernafsu ingin membalas dengan tindakan yang lebih kejam, Hendry masih berusaha untuk menangani masalah itu dengan kepala dingin. Walau ba
Sheira nyaris tersedak nasi yang ia kunyah. Laporan dari Pak Karsam mendatangkan amarah yang mendadak mencuat, merusak ketenangan pagi di kediamannya. Sudah dengan intonasi disabar-sabarkan, Sheira berkata, "Bapak ini bagaimana? Saya kan sudah bilang sejak dulu kan kalau ada Hendry datang ke rumah ini jangan pernah bukakan pintu gerbangnya walau apa pun yang ia katakan. Seharusnya Bapak melakukan tugas sesuai dengan yang saya katakan.""Iya Nyonya. Saya minta maaf. Maafkan saya karena sudah lalai dalam menjalankan tugas. Tapi Nyonya, saya tadi terpaksa membuka gerbang karena takut. Tuan Sasongko mengancam akan memenjarakan saya. Hal itu membuat saya langsung ingat pada istri dan anak-anak saya. Bagaimana nasib mereka kalau saya dipenjara?" tutur Pak Karsam yang masih tertunduk lesu.Sheira menghembuskan napas berat mendengar penjelasan dari satpamnya. Kedongkolannya pada Hendry menjadi berlipat-lipat. Sheira mengerti kalau Pak Karsam tidak sepenuhnya salah. Ia pun kemu
Hendry menelan ludah bersama semua kekesalannya. Ia sadar benar kalau apa pun yang ia ucapkan akan menjadi bumerang jika lawan bicaranya adalah Sheira. Entah bagaimana perempuan itu selalu bisa memelintir pernyataan Hendry hingga akhirnya menjadi senjata untuk menyerang."Aku akan langsung saja. Katakan padaku kenapa kau membuat putriku menangis? Kenapa kau membuat dia terlihat begitu menyedihkan dan memohon-mohon di kakimu seperti pengemis. Kau juga memiliki anak. Bagaimana perasaanmu jika aku melakukan hal yang sama kepada anakmu?" tanya Hendry yang menatap tajam sahabat almarhum istrinya."Hahaha ...." tawa Sheira menggema di ruang tamu. Perempuan itu berjalan perlahan dan duduk di sofa yang berbeda dari yang diduduki Hendry. Membuat Hendry memicingkan mata karena merasa Sheira telah mengolok-olok ucapannya. Sheira tertawa seolah apa yang dikatakan Hendry adalah banyolan yang sangat lucu."Itu tidak akan mungkin terjadi, Tuan Hendry Sasongko. Pertama, anakku
"Bangs*t! Mulutmu itu memang tidak pernah berubah. Sekarang katakan padaku apa yang kau inginkan iblis gila? Kenapa kau selalu saja mengusik keluargaku? Kenapa kau mengatakan pada Sisil bahwa Smith sedang bercanda saat bilang dirinya hamil? Kenapa kau sengaja membuat Sisil berharap banyak untuk bisa mendapatkan Janu? Katakan! Apa kau sengaja ingin merusak hubungan Smith dan Sisil?" cerca Hendry tiada henti melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Napasnya sampai sesak. Jika saja Sheira itu laki-laki, sudah pasti Hendry akan melayangkan beberapa pukulan hingga babak belur.Sheira tersenyum miring. Ia kini juga beranjak dari sofa. Lalu berkata, "Aku tidak percaya ini. Sebagai pengusaha yang sukses logikamu itu tidak bekerja dengan baik. Dengar, sudah berapa lama kau memecatku dari pekerjaanku sebagai manajer di butik Lisa? Lalu apakah aku pernah menampakan diri di depanmu atau datang ke rumahmu untuk menemui Smith atau secara diam-diam bertemu dengannya?""Berhenti berputar-pu
"Aku minta maaf," ucap Sisil masih dengan kepala tertunduk. Ia menderita malu yang luar biasa besar, apalagi jika harus mengakui dan membahas kebodohannya tadi malam.Tentu saja Janu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak mengerti mengapa Sisil meminta maaf kepadanya karena ia memang tidak membaca pesan dari gadis itu sama sekali. Dan Smith sudah menghapus semuanya sebelum Janu menyentuh ponselnya pagi ini."Minta maaf? Untuk apa Sisil?"Kedua pipi Sisil menjadi semakin merah. Ia tidak menyangka jika Janu akan mengatakan hal itu. Apa itu artinya Janu sama sekali tidak menganggap pesan yang ia kirimkan tadi malam itu sebagai hal yang penting? Sehingga sudah melupakannya begitu saja.Sebetulnya jika Janu memang lupa akan hal itu, tentu sangat bagus karena Sisil akan terselamatkan dari rasa malu. Tapi entah mengapa, Sisil justru merasakan nyeri di sudut hatinya ketika tahu bahwa Janu sama sekali tidak menganggap pesan darinya itu cukup penting untuk
Smith menelan ludah. Tidak mungkin ia menjawab kalau penyebab kelalaiannya adalah wajah Janu. Smith tidak mungkin mengatakan kalau wajah suaminya itu kelewatan tampannya sampai membuat Smith lupa kalau ia sedang menyetir di jalan umum."Apa perlu aku membeli jalan ini supaya bisa terus menyetir sambil menikmati wajahnya? Idiot! Berhenti menjadi orang dungu. Kau masih bisa memandangnya nanti malam saat dia sudah tidur," celoteh Smith dalam batin.Smith merasa heran pada dirinya sendiri. Entah bagaimana semakin hari wajah Janu terlihat semakin tampan. Ia tidak tahu apakah itu efek dari matanya yang mulai rusak, atau hatinya yang mulai terpikat."Smith? Kau melamun ya?" tegur Janu lantaran Smith tidak kunjung menjawab pertanyaannya."Siapa yang melamun? Aku hanya sedang berpikir!" bantah Smith menolak kebenaran.Janu menggeleng. Ia merasa sejak bangun tidur tadi, istrinya sudah bertingkah aneh. Semestinya perempuan itu mengoceh tanpa henti seperti bia
"Sisil menanyakan kabar Bibi Ipah. Dan mendoakan agar Bibi Ipah baik-baik saja. Juga meminta kita untuk berhati-hati," jawab Smith seperti sedang mengikuti pelajaran mengarang."Hanya itu?" tanya Janu tidak percaya."Memangnya kau ingin dia mengirim pesan apa? Kau ingin dia bilang cinta padamu?" sambar Smith dengan nada tinggi lagi. Sesungguhnya hatinya merasa cekit-cekit saat membaca pesan Sisil yang mengatakan sangat mencintai Janu."Bukan begitu, kan tadi ada banyak pesan yang masuk. Dia cuma ngomong begitu saja?" protes Janu lagi."Ya intinya cuma itu. Sudah, berhenti bertanya dan biarkan aku membalas pesan Sisil!"Bibi Ipah tersenyum. Ia senang melihat Nona Smith berselisih dengan suaminya. Dari perdebatan itu tergambar jelas bahwa Smith mulai jatuh hati pada Janu."Perempuan ini tidak ada putus asanya! Terus saja mengganggu. Sudah seperti setan. Apa aku perlu membalas sebagai aku ya? Ah tidak, tidak. Bodo amat kalau dia tahu aku yang m