Home / Rumah Tangga / Pernikahan Politis / 8 Ledakan Cemburu

Share

8 Ledakan Cemburu

Author: Ana Sh
last update Last Updated: 2022-04-14 23:42:50

Lantunan santri mengaji terdengar dari pengeras suara masjid, tanda akan masuk waktu salat Asar. Matahari pun mulai kembali ke peraduan. Sisa cahayanya menyorot jendela kamar Arisha. Ada yang menahan tawa saat lelaki yang sedang menyapu itu membanggakan dirinya. Arisha salut bukan pada Akhtar, tetapi pada wanita yang telah mendidik suaminya –Umi Hanum- yang telah berhasil menjadikan putranya sosok yang tanggap sekitar. Tidak menggantungkan semua urusan kepada pembantu. Jika mau, Akhtar saat ini bisa saja menyuruh seseorang untuk membersihkan pecahan botol parfum itu. Namun, ia memilih melakukannya sendiri. Hal itu tak akan dilakukan oleh anak lelaki yang tidak pernah dikenalkan dengan pekerjaan rumah dalam proses pengasuhannya.

Pola asuh yang tidak melibatkan anak lelaki dengan pekerjaan rumah tak jarang berdampak ketika berumah tangga nanti. Jadilah istrinya kelelahan sendiri megurus rumah. Sebab suami tak sedikit pun mengulurkan tangan, meski hanya membantu menyapa atau menjemur baju. Kondisi itu mungkin tak akan menjadi masalah, asalkan suami mampu menyediakan asisten rumah tangga. Namun, bisa jadi pemicu konflik jika hanya istri yang menangani semuanya dengan tangannya sendiri.

            Arisha belum bertanya, apakah akan ada pembantu untuknya. Ia dan Akhtar belum sempat membahas perkara itu. Baginya tak masalah tanpa pembantu, jika punya suami mau memegang sapu. Seperti lelaki yang kini baru masuk ke kamar.

              “Sebentar lagi Asar,” ucap Akhtar saat mendengar suara santri mengaji dari masjid. “Kamu bisa jalan enggak?”

            “Entah, Gus, belum saya coba.” Arisha mulai menapakkan kakinya di lantai. “Ough …” Ia kembali merintih dan tubuhnya terhuyung. Untung Akhtar segera menangkapnya. Tangan pria itu melingkar tepat di pinggang Arisha.

            “Kalo belum bisa jalan enggak usah dipaksa dulu. Istirahat di sini saja, ya.”

            “Tidak usah, Gus. Paling sebentar lagi hilang perihnya.” Arisha memaksa kakinya tetap melangkah. Ternyata ia juga terbayang-bayang mendiang kakaknya saat berada di kamar ini.

            “Kalo gitu aku bantu ke kamarmu.” Dengan pelan, Akhtar menuntun Arisha menuju kamarnya.

            “Maaf, Gus. Saya enggak ada niat pake barangnya Mbak Hasna tanpa izin.” Arisha memberanikan diri meminta maaf, sebab ia paham dirinya memang salah.

Akhtar menghentikan langkahnya. Otomatis Arisha mengikuti. “Aku tadi melarangmu memakai parfum itu bukan karena apa, tapi jika kamu pake, aromanya itu loh, akan kembali mengingatkanku pada Hasna.” Mendengar penjelasan Akhtar, Arisha menunduk. Ia merasa malu sebab salah menilai sikap suaminya. Ia pikir, Akhtar tak terima saat barang-barang milik Hasna ia sentuh.

“Tolong … tolong bantu aku perlahan mengikhlaskannya,” pinta Akhtar dengan suara parau. Arisha mendongak mendengar ucapan Akhtar barusan. Namun yang ditatap mengangkat wajahnya. Bening mata lekaki itu, kini terhalang kaca-kaca. Lalu Akhtar kembali menuntun Arisha ke kamarnya.

            “Kamu buat istirahat saja dulu. Biar otot-ototnya rileks,” pesan Akhtar saat Arisha duduk di tepi ranjang.

            Arisha hendak mengangkat kakinya sambil menahan sakit. Tanpa diminta, Akhtar membantu memindahkan kaki jenjang itu ke atas ranjang. Kini Arisha hendak mengambil bantal yang tertata rapi di tengah dipan, tetapi tangannya kesulitan meraih. Akhtar pun dengan sigap membantunya mengambilkan bantal.  Setelahnya menggeser tubuh Arisha ke atas agar tepat berada di atas bantal. Hingga wajah keduanya dalam posisi yang sangat dekat.

            “Makasih, Gus.”

            Tak ada balasan ucapan dari Akhtar.  Hanya wajah pria itu terpaku melihat manik Arisha. Seolah ada magnet yang menariknya, wajah Akhtar kian merunduk.

Gelombang kenikmatan yang lembut menjalari wajah Arisha saat salah satu tangan Akhtar menyentuh pipinya dengan hangat. Reaksi itu benar-benar membuat Arisha lengah. Kejutan yang diikuti kenikmatan. Terkejut karena tubuhnya mampu bereaksi dengan begitu cepat dan intens seperti itu. Apakah karena Arisha selama ini tak pernah bersentuhan dengan lelaki mana pun? Sehingga tubuhnya begitu responsif. Menyadari apa yang akan dilakukan Akhtar kepadanya, Arisha perlahan memejamkan mata. Ia berharap ini menjadi langkah awal bisa menjalankan peran seolah-olah sebagai budak perempuan Akhtar.

            “Allahu Akbar … Allahu Akbar!” Suara panggilan azan Asar menggema hingga ke sudut kamar dua insan itu.

            “Aku pergi ke masjid dulu,” ucap Akhtar ketika sudah menarik diri. Ia kembali menegakkan tubuhnya. “Kamu istirahat saja. Tunggu aku sholatnya, nanti kubantu wudu.” Akhtar meninggalkan Arisha dengan muka yang masih menegang.

🍂🍂🍂

“Mari buka pintu aulanya, dan biarkan para santri ikut bersuka cita. Tetap jaga prokes, ya!” seru kepala pondok santri putra.

Pengumuman bahwa malam ini adalah tasyakuran pernikahan anak pemilik pondok sekaligus guru mereka yang biasa dipanggil ‘Gus Akhtar’ sudah menyebar ke semua santri. Sehingga bakda salat Magrib mereka tidak kembali ke kamar pondok. Melainkan langsung bergegas ke aula. Aroma nasi kebuli yang malam ini menjadi menu tasyakuran sudah tercium gurihnya begitu para santri itu menginjakkan kaki di ruangan besar ini. Setiap mata berbinar karena mereka akan makan istimewa. Tak hanya menu utama, es buah juga sudah siap menyegarkan dahaga.

Hal yang sama juga terjadi di aula santri putri. Di sini kondisinya malah lebih riuh. Mereka saling bercakap tak sabar menunggu dapat melihat wajah istri baru Akhtar. Sebagian ingin membandingkan kecantikan istri baru Akhtar dengan istri sebelumnya. Bahkan ada santri yang guyoni temannya yang patah hati karena tidak mendapat kesempatan menjadi istri Sang Gus.

“Tenang saja, lelaki masih ada jatah punya istri sampe empat,” seru salah satu di antara santri itu meledek temannya yang tampak murung.

            Jarak 300 meter dari aula, Akhtar sedang bersiteru dengan Arisha. Pria itu menyarankan Arisha tidak perlu datang ke aula sebab kakinya masih sakit. Namun, Arisha protes, “Bukankah Panjenengan mengenalkan Mbak Hasna ke para santri usai akad nikah dulu?”

Akhtar mendengkus. Apa yang ia maksudkan tak sejalan dengan pikiran Arisha. “Iya, tapi ‘kan kakimu sakit sekarang.”

            “Sudah mendingan kok, Gus.”

Akhirnya Akhtar mengalah, ia mengulurkan tangan untuk Arisha. “Ya sudah, pelan-pelan saja jalannya.” Mereka berjalan menuju aula. Akhtar menggamit lengan Arisha, demi keselamatannya agar tidak terjatuh. Ia mengantar Arisha terlebih dahulu ke aula santri putri.

Para santri putri yang melihat kedatangan gus dan ning mereka langsung membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan. Andai bukan dalam situasi pandemi, mereka pasti sudah menghambur mendekat untuk mencium tangan Arisha.

“Gus Akhtar sweet banget enggak, sih. Kayak enggan gitu ninggalin istrinya. Siapa nama istri barunya?” tanya salah satu santri yang ikut terbawa perasaan melihat keromantisan di depan mereka.

“Mereka sangat antusias menyambutmu,” ujar Akhtar sebelum melepaskan tangannya.

“Apakah mereka juga seantusias ini ketika menyambut Mbak Hasna?” Arisha tidak bisa menahan lisannya untuk julid. Sedetik kemudian ia menyesali kata-katanya. Ia seolah tak mengenali dirinya. Ini sama sekali bukan karakternya.

“Hampir sama,” jawab Akhtar pelan.

Hampir sama? Lantas sambutan untuk siapa yang lebih meriah? Apakah sambutan untuk mendiang kakaknya yang lebih wah?

Perasaan apa yang meledak dalam dirinya? Apakah Arisha cemburu? Arisha menyangkal. Kenapa ia harus cemburu? Bukankah ia menerima perjodohan ini karena ingin menyelamatkan Akhtar dari jebakan sistem politik yang penuh intrik ini?  

.

.

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Politis   38 Menebus Rindu

    “Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari

  • Pernikahan Politis   37 Setahun Tiga Bulan

    Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass

  • Pernikahan Politis   36 Positif

    Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se

  • Pernikahan Politis   35 Setangguh Khadijah

    “Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t

  • Pernikahan Politis   34 Dakwaan

    Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki

  • Pernikahan Politis   33 Menimbun Kenangan

    “Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh

  • Pernikahan Politis   32 Chaos

    Hiruk pikuk meliputi suasana halaman gedung tiga lantai yang menghadap sisi timur alun-alun. Suara orator menyeru lantang agar para wakil rakyat itu tidak tinggal diam menyaksikan pelanggaran selama proses Pilkada. “Kami butuh pemimpin yang tidak menyuap rakyatnya demi mendapatkan suara. Jika jalan menuju kekuasaan saja sudah mereka tempuh dengan cara kotor, bagaimana kelak jika mereka berkuasa?” seru sang orator dari atas mobil pikap dengan sound system. Suaranya menggema hingga ke lantai tiga. Meski massa demonstrasi tak sampai ribuan layaknya aksi mahasiswa di Ibu Kota Negara, tetap saja unjuk rasa itu membuat para pegawai dan wakil rakyat yang sedang bekerja di dalam gedung was-was. Apalagi akhir-akhir ini hawa panas suksesi kepeminpinan masih teramat kental. Akhtar masih dalam perjalanan menuju alun-alun. Pria itu duduk di jok tengah dan berusaha menghubungi Kiai Yassir. Sayangnya ponsel Kiai Yassir dalam kondisi tidak aktif. Sehingga Akhtar kini memasukkan gawainya ke dalam

  • Pernikahan Politis   31 Ketegangan

    Suasana lengang cenderung tegang menyelimuti Kabupaten Mojoasri dan mungkin seluruh kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak hari ini. Total ada 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia yang menggelar hajat pemilihan pemimpin daerah. Warga lebih banyak memanfaatkan libur nasional hari Rabu ini untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Sehingga jalanan relatif sepi.Saat langit di ufuk timur perlahan melukiskan warna merah jingga, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih melakukan penghitungan suara di TPS. Kotak suara yang sudah terisi kertas suara sejak pukul tujuh pagi hingga satu siang itu dalam proses direkap hasilnya. Setelah rampung akan dilaporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berada di tingkat desa atau kelurahan dalam bentuk formulir model C1.Setiap Paslon telah menempatkan relawan untuk mengawasi jalannya Pilkada pada setiap TPS. Selanjutnya mereka akan mengirimkan salinan dengan memfoto formulir model C1. Tak terkecuali relawan Paslon nomor

  • Pernikahan Politis   30 Pencoblosan

    Umi Anis melepas kepergian putrinya dengan wajah semringah. Saat tadi ditanya kenapa buru-buru balik, Arisha hanya menjawab dengan senyuman. Wanita paruh baya yang sudah lebih banyak makan asam garam itu paham gelagat anaknya meski tak diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arisha yang terlihat berseri-seri dan bersemangat. Tatapan Akhtar yang penuh hasrat kepada Arisha saat mereka di meja makan tadi sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dibutuhkan anak dan menantunya itu. Maka, saat Arisha dan Akhtar memutuskan pamit, Umi Anis sama sekali tak mencegah. Beliau malah menjanjikan akan berkunjung ke rumah Akhtar usai pemilihan besok.Mobil warna putih jenis SUV bergerak dengan kecepatan sedang menyusuri daerah pegunungan dengan kontur menanjak dan menurun. Hari mulai terang, dan warga terlihat hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Para pedagang buah dan sayur tampak menata jualannya pada kios-kios di pinggir jalan. Akhtar sekonyong-konyong membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel.“N

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status