Lantunan santri mengaji terdengar dari pengeras suara masjid, tanda akan masuk waktu salat Asar. Matahari pun mulai kembali ke peraduan. Sisa cahayanya menyorot jendela kamar Arisha. Ada yang menahan tawa saat lelaki yang sedang menyapu itu membanggakan dirinya. Arisha salut bukan pada Akhtar, tetapi pada wanita yang telah mendidik suaminya –Umi Hanum- yang telah berhasil menjadikan putranya sosok yang tanggap sekitar. Tidak menggantungkan semua urusan kepada pembantu. Jika mau, Akhtar saat ini bisa saja menyuruh seseorang untuk membersihkan pecahan botol parfum itu. Namun, ia memilih melakukannya sendiri. Hal itu tak akan dilakukan oleh anak lelaki yang tidak pernah dikenalkan dengan pekerjaan rumah dalam proses pengasuhannya.
Pola asuh yang tidak melibatkan anak lelaki dengan pekerjaan rumah tak jarang berdampak ketika berumah tangga nanti. Jadilah istrinya kelelahan sendiri megurus rumah. Sebab suami tak sedikit pun mengulurkan tangan, meski hanya membantu menyapa atau menjemur baju. Kondisi itu mungkin tak akan menjadi masalah, asalkan suami mampu menyediakan asisten rumah tangga. Namun, bisa jadi pemicu konflik jika hanya istri yang menangani semuanya dengan tangannya sendiri.
Arisha belum bertanya, apakah akan ada pembantu untuknya. Ia dan Akhtar belum sempat membahas perkara itu. Baginya tak masalah tanpa pembantu, jika punya suami mau memegang sapu. Seperti lelaki yang kini baru masuk ke kamar.
“Sebentar lagi Asar,” ucap Akhtar saat mendengar suara santri mengaji dari masjid. “Kamu bisa jalan enggak?”
“Entah, Gus, belum saya coba.” Arisha mulai menapakkan kakinya di lantai. “Ough …” Ia kembali merintih dan tubuhnya terhuyung. Untung Akhtar segera menangkapnya. Tangan pria itu melingkar tepat di pinggang Arisha.
“Kalo belum bisa jalan enggak usah dipaksa dulu. Istirahat di sini saja, ya.”
“Tidak usah, Gus. Paling sebentar lagi hilang perihnya.” Arisha memaksa kakinya tetap melangkah. Ternyata ia juga terbayang-bayang mendiang kakaknya saat berada di kamar ini.
“Kalo gitu aku bantu ke kamarmu.” Dengan pelan, Akhtar menuntun Arisha menuju kamarnya.
“Maaf, Gus. Saya enggak ada niat pake barangnya Mbak Hasna tanpa izin.” Arisha memberanikan diri meminta maaf, sebab ia paham dirinya memang salah.
Akhtar menghentikan langkahnya. Otomatis Arisha mengikuti. “Aku tadi melarangmu memakai parfum itu bukan karena apa, tapi jika kamu pake, aromanya itu loh, akan kembali mengingatkanku pada Hasna.” Mendengar penjelasan Akhtar, Arisha menunduk. Ia merasa malu sebab salah menilai sikap suaminya. Ia pikir, Akhtar tak terima saat barang-barang milik Hasna ia sentuh.
“Tolong … tolong bantu aku perlahan mengikhlaskannya,” pinta Akhtar dengan suara parau. Arisha mendongak mendengar ucapan Akhtar barusan. Namun yang ditatap mengangkat wajahnya. Bening mata lekaki itu, kini terhalang kaca-kaca. Lalu Akhtar kembali menuntun Arisha ke kamarnya.
“Kamu buat istirahat saja dulu. Biar otot-ototnya rileks,” pesan Akhtar saat Arisha duduk di tepi ranjang.
Arisha hendak mengangkat kakinya sambil menahan sakit. Tanpa diminta, Akhtar membantu memindahkan kaki jenjang itu ke atas ranjang. Kini Arisha hendak mengambil bantal yang tertata rapi di tengah dipan, tetapi tangannya kesulitan meraih. Akhtar pun dengan sigap membantunya mengambilkan bantal. Setelahnya menggeser tubuh Arisha ke atas agar tepat berada di atas bantal. Hingga wajah keduanya dalam posisi yang sangat dekat.
“Makasih, Gus.”
Tak ada balasan ucapan dari Akhtar. Hanya wajah pria itu terpaku melihat manik Arisha. Seolah ada magnet yang menariknya, wajah Akhtar kian merunduk.
Gelombang kenikmatan yang lembut menjalari wajah Arisha saat salah satu tangan Akhtar menyentuh pipinya dengan hangat. Reaksi itu benar-benar membuat Arisha lengah. Kejutan yang diikuti kenikmatan. Terkejut karena tubuhnya mampu bereaksi dengan begitu cepat dan intens seperti itu. Apakah karena Arisha selama ini tak pernah bersentuhan dengan lelaki mana pun? Sehingga tubuhnya begitu responsif. Menyadari apa yang akan dilakukan Akhtar kepadanya, Arisha perlahan memejamkan mata. Ia berharap ini menjadi langkah awal bisa menjalankan peran seolah-olah sebagai budak perempuan Akhtar.
“Allahu Akbar … Allahu Akbar!” Suara panggilan azan Asar menggema hingga ke sudut kamar dua insan itu.
“Aku pergi ke masjid dulu,” ucap Akhtar ketika sudah menarik diri. Ia kembali menegakkan tubuhnya. “Kamu istirahat saja. Tunggu aku sholatnya, nanti kubantu wudu.” Akhtar meninggalkan Arisha dengan muka yang masih menegang.
🍂🍂🍂
“Mari buka pintu aulanya, dan biarkan para santri ikut bersuka cita. Tetap jaga prokes, ya!” seru kepala pondok santri putra.
Pengumuman bahwa malam ini adalah tasyakuran pernikahan anak pemilik pondok sekaligus guru mereka yang biasa dipanggil ‘Gus Akhtar’ sudah menyebar ke semua santri. Sehingga bakda salat Magrib mereka tidak kembali ke kamar pondok. Melainkan langsung bergegas ke aula. Aroma nasi kebuli yang malam ini menjadi menu tasyakuran sudah tercium gurihnya begitu para santri itu menginjakkan kaki di ruangan besar ini. Setiap mata berbinar karena mereka akan makan istimewa. Tak hanya menu utama, es buah juga sudah siap menyegarkan dahaga.
Hal yang sama juga terjadi di aula santri putri. Di sini kondisinya malah lebih riuh. Mereka saling bercakap tak sabar menunggu dapat melihat wajah istri baru Akhtar. Sebagian ingin membandingkan kecantikan istri baru Akhtar dengan istri sebelumnya. Bahkan ada santri yang guyoni temannya yang patah hati karena tidak mendapat kesempatan menjadi istri Sang Gus.
“Tenang saja, lelaki masih ada jatah punya istri sampe empat,” seru salah satu di antara santri itu meledek temannya yang tampak murung.
Jarak 300 meter dari aula, Akhtar sedang bersiteru dengan Arisha. Pria itu menyarankan Arisha tidak perlu datang ke aula sebab kakinya masih sakit. Namun, Arisha protes, “Bukankah Panjenengan mengenalkan Mbak Hasna ke para santri usai akad nikah dulu?”
Akhtar mendengkus. Apa yang ia maksudkan tak sejalan dengan pikiran Arisha. “Iya, tapi ‘kan kakimu sakit sekarang.”
“Sudah mendingan kok, Gus.”
Akhirnya Akhtar mengalah, ia mengulurkan tangan untuk Arisha. “Ya sudah, pelan-pelan saja jalannya.” Mereka berjalan menuju aula. Akhtar menggamit lengan Arisha, demi keselamatannya agar tidak terjatuh. Ia mengantar Arisha terlebih dahulu ke aula santri putri.
Para santri putri yang melihat kedatangan gus dan ning mereka langsung membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan. Andai bukan dalam situasi pandemi, mereka pasti sudah menghambur mendekat untuk mencium tangan Arisha.
“Gus Akhtar sweet banget enggak, sih. Kayak enggan gitu ninggalin istrinya. Siapa nama istri barunya?” tanya salah satu santri yang ikut terbawa perasaan melihat keromantisan di depan mereka.
“Mereka sangat antusias menyambutmu,” ujar Akhtar sebelum melepaskan tangannya.
“Apakah mereka juga seantusias ini ketika menyambut Mbak Hasna?” Arisha tidak bisa menahan lisannya untuk julid. Sedetik kemudian ia menyesali kata-katanya. Ia seolah tak mengenali dirinya. Ini sama sekali bukan karakternya.
“Hampir sama,” jawab Akhtar pelan.
Hampir sama? Lantas sambutan untuk siapa yang lebih meriah? Apakah sambutan untuk mendiang kakaknya yang lebih wah?
Perasaan apa yang meledak dalam dirinya? Apakah Arisha cemburu? Arisha menyangkal. Kenapa ia harus cemburu? Bukankah ia menerima perjodohan ini karena ingin menyelamatkan Akhtar dari jebakan sistem politik yang penuh intrik ini?
.
.
(Bersambung)
Tujuan Arisha bukan hanya menyelamatkan Akhtar secara personal dari praktik politik yang membuka peluang pelakunya menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan. Melainkan lebih pada statusnya sebagai sosok yang mewakili kalangan pesantren. Cukup sudah beberapa kiai yang berkuasa akhirnya tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan sampai Akhtar menambah jajaran nama itu.Sungguh Arisha bertekad demikian bukan tanpa data. Ia sudah mencatat, mulai dari tataran presiden, gubernur, wali kota, bupati, bahkan sampai tingkat kepala desa. Tak sedikit dari mereka yang awalnya berlatarbelakang pesantren, seorang penceramah, juga cendikiawan, mengakhiri jabatannya dengan cara tidak terhormat.Diamnya Arisha, Akhtar anggap jawaban yang diberikannya sudah cukup. Tak perlu lagi dipersoalkan sambutan untuk siapa yang lebih meriah. Sebab konteks waktu dan suasananya pun berbeda. Saat menikah dengan Hasna, suasananya normal. Belum terjadi pande
Mereka akhirnya tiba di rumah yang berada dalam komplek pondok pesantren. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam, namun Arisha sudah menguap beberapa kali. “Istirahatlah dulu jika sudah capek.” Arisha menggeleng. Ia bertekad menunaikan kewajiban atau lebih tepatnya mendapatkan haknya sebagai seorang istri malam ini. Meski ia bingung bagaimana harus memulai. Hingga lampu sorot dari Innova warna hitam yang berhenti di depan rumah mengenai wajah sepasang pengantin baru itu. “Siapa, Gus?” “Sepertinya Kiai Yassir,” tebak Akhtar yang sudah hafal jenis mobil sosok yang menggandengnya sebagai calon
Arisha gemetar bagai kuncup bunga mawar yang tertiup angin. Saat ia berusaha membukakan pintu, ternyata Akhtar berada tepat di hadapannya.Apalagi pakaian berbahan sutra yang dikenakannya saat ini model kerah V yang sangat turun. Belum lagi bagian tepinya berupa renda yang menerawang.Ia sebenarnya tidak terbiasa dengan baju model terbuka, tetapi ini adalah hadiah uminya yang harus ia pakai malam ini. Jantung Arisha berdebar cepat. Ia mundur selangkah untuk memberi Akhtar jalan.Sementara itu Akhtar hanya maju selangkah. Ia mencoba menahan untuk tidak menelan saliva, tetapi percuma. Gerakan di lehernya itu tertangkap iris cokelat Arisha.Akhtar selama ini melihat Arisha dalam balutan pakaian yang santun lagi tertutup. Hingga melihat Arisha mengenakan lingerie terasa begitu erotis. Setelah sadar dari tertegunnya, Akhtar mundur hingga pintu di belakangnya terdorong oleh punggungnya dan kini tertutup.“Mari saya pijit, Gus, eh Mas.&r
Sesuatu yang lembut dan manis terasa di bibir dan lidah Arisha. Ia berusaha mengunyah meski masih terpejam agar dapat mengidentifikasinya. Sensasi menyenangkan yang ia rasakan membuat Arisha terbangun dari tidurnya.Kurma ajwa! Kurma kering yang berasal dari wilayah Aliyah, Madinah itu, disebut sebagai salah satu jenis kurma paling baik di dunia karena campuran rasa lezat, manis, dan gurihnya sangat luar biasa. Makanya tidak heran jika harganya tergolong premium. Hanya kalangan masyarakat menengah ke atas yang menjadikannya konsumsi harian.Selain itu, jenis kurma ini meilik dari sejarahnya, Rasulullah sendiri yang memberikan nama ajwa. Dikisahkan, ketika itu, Ajwah adalah nama seorang anak dari Salman Al-Farisi -seorang nasrani yang akhirnya memeluk agama Islam. Juga mewakafkan kebun kurmanya untuk perjuangan Islam. Sebagai penghargaan dan untuk mengenang jasa-jasanya itulah, Rasulullah akhirnya menamakan kurma yang sering dimakannya ketika berbuka p
“Kunjungan ke para tokoh jam berapa, Mas?” tanya Arisha sambil memakai kaus kaki di dalam mobil. Akhtar yang sudah siap lebih dulu membuatnya merasa tergesa-gesa. Meski lelaki itu tidak memerintahkan apapun padanya.“Jam sepuluh,” jawab Akhtar tenang dan tetap konsentrasi pada kemudi. Roda empat jenis sport utility vehicle yang mereka tumpangi itu sudah meluncur di jalan raya.Arisha melihat jam di tangannya, masih pukul 07.30. Apa ini tidak terlalu pagi, pikirnya. “Bukannya masih lama, kenapa kita tergesa-gesa?” protesnya.“Aku biasa saja. Enggak tergesa-gesa.” Jawaban Akhtar itu membuat Arisha mengeluarkan udara dari mulutnya. Ia lalu mengelus dada. Masih ada banyak hal yang harus ia kenali dari suaminya. Termasuk persiapannya yang cukup cepat saat bepergian. Arisha masih memakai bedak, Akhtar sudah memanasi mobil. Siapa coba yang tidak panik?“Lebih baik datang lebih awal daripada datang terla
Mereka mendekati tikungan dan Akhtar membelokkan mobilnya bukan ke arah jalan pulang. Meski sudah lima tahunan meninggalkan tanah air, tetapi Arisha masih paham betul arah jalan di daerah ini. “Mas, kita mau ke mana?”Jika Akhtar menjawab, bukan kejutan namanya. Maka pria itu pura-pura tuli. Benak Akhtar masih merekam dengan jelas tentang keberanian Arisha mendiskusikan hal yang cukup sensitif kepada Kiai Yassir saat mereka sedang rapat evaluasi di rumah makan dengan konsep lesehan. Sebuah evaluasi singkat untuk membahas hasil pertemuan dengan Kiai Ahmad yang berjalan lancer. Nyaris tanpa hambatan. “Ngapunten, Yai. Jika para tokoh mendapatkan bantuan berupa mobil bagi yang bersedia mendukung Panjenenngan, lantas bagaimana dengan masyarakat yang mempunyai suara untuk menentukan siapa yang menang? Apakah mereka juga akan mendapatkan sesuatu jika memilih Panjenengan?”“Maksud Ning Arisha masyarakat dikasih uang jika memilih saya
“Tentu saja.” Akhtar mulai kehilangan selera makannya.“Penguasa di wilayah ini,” tegas Arisha. Wilayah ini nanti akan menjadi bagian dari tanggung jawab Akhtar jika ia berhasil memenangkan pilkada.“Apakah kamu mau bilang, jika Kiai Yassir dan aku terpilih di pilkada lantas kegiatan yang dilakukan di hotel-hotel di kawasan ini juga akan menjadi tanggung jawab kami?”Akhtar balik memandang istrinya, memastikan dugaannya tepat.Arisha mengangguk. Ia memutuskan tidak mengulas balik obrolan mereka karena Akhtar sudah pasti bisa mencernanya.“Berat dong kalo gitu konsepnya.” Akhtar mengembuskan napas kasar. Nasi goreng yang masih tinggal seperempat bagian ia letakkan di atas pangkuan.“Bukannya jadi pemimpin memang berat. Dulu saja para sahabat berebut untuk menghindar. Padahal mereka saat itu memimpin dalam sistem yang Islami. Nah sekarang, sudah sistemnya enggak berdasarkan Islam, malah
Sosok bersahaja, berjubah putih didampingi sang istri dengan gamis warna hitam mengingatkan Arisha pada foto keluarga yang dipajang Salwa –adik tingkatnya di Al-Azhar- di meja kamarnya.Arisha menenangkan dirinya, semoga pertemuan kali ini hanya fokus pada urusan dukungan Pilkada. Tidak mengulas masalah pribadinya selama di Mesir.Kiai Yassir mengucapkan salam kepada Ustaz Ilyas yang berdiri menyambutnya dengan senyuman. “Wa’alaikumussalam, mari masuk Pak Kiai. Monggo pinarak.” Ustaz Ilyas juga mempersilakan tamu lainnya untuk duduk. Rumah yang dikonsep lesehan itu terasa hangat meski ada di daerah kaki gunung. Lantai yang dibuat dari kayu pinus menetralisir hawa dingin. Ditambah lagi karpet di atasnya beserta bantal-bantal untuk bersandar. Aroma kekeluargaan terasa begitu kental. Dibandingkan dengan ruang tamu dengan kursi ukuran besar berbahan kayu jati penuh ukiran. Malah terkadang mengesankan keakuan pemiliknya. Sehingga membuat jarak antara orang yang bertandang dan tuan rumah.