Akhtar tak habis pikir, apa benar hanya karena Arisha mengibaskan rambutn lantas kebutuhan asing dalam dirinya terpancing. Lelaki yang kini mengalihkan pandangannya itu berusaha mengenali dirinya. Ia masih ingat, Hasna juga sering melakukan gerakan itu, tetapi gairahnya tidak otomatis tersulut.
“Gus, dengar pertanyaan saya barusan, ‘kan?”
Teguran Arisha menyadarkan Akhtar. Perempuan yang masih berdiri di ambang jendela itu menantangnya dengan wawasan, pemikiran, bukan tubuh atau seksualitas. Akhtar baru paham sekarang, ia memang lebih muda simpati pada wanita yang cerdas dan intelektual. Sejenak Akhtar mengabaikan kesimpulannya dan berusaha menjawab pertanyaan Arisha.
“Lebih tepatnya diminta menjadi calon wakil bupati, Arisha.” Kini Akhtar menggunakan nama istrinya sebagai panggilan, bukan ‘dik’, karena baginya sekarang perempuan di hadapannya itu lebih pas menjalankan fungsi sebagai teman diskusi ketimbang istri. “Karena aku tidak mencari atau menawarkan diri menempati posisi itu.”
“Berarti dorongannya bukan dari diri Panjenengan sendiri?” tegas Arisha.
“Betul, tapi setelah kuterima tawaran Kiai Yasir, tentu aku akan totalitas. Cuma itu bukan ambisi utama. Wasilah ini hanya kuanggap sebagai salah satu alat untuk menjalankan idealismeku, mewujudkan masyarakat yang makin taat sama aturan agamanya.”
“Tujuan yang sangat mulia,” sahut Arisha. Ia kini menoleh ke arah Akhtar dan mendapati suaminya itu membuka koper dan menata isinya ke dalam lemari.
“Jangan lakukan ini, Gus. Biar saya saja,” pinta Arisha yang saat ini sama-sama dalam posisi jongkok dengan Akhtar.
Keduanya saling memandang dan mencoba membaca isi pikiran masing-masing. Dari tatapan itu, Akhtar menemukan perbedaan Arisha dan mendiang istrinya. Arisha sosoknya cukup pemberani.
“Enggak apa-apa, aku bantu, biar cepat selesai. Nanti bakda Magrib ada acara tasyakuran pernikahan kita dengan para santri.”
Satu hal lagi poin positif dari seorang Akhtar. Ia lelaki yang ringan membantu pekerjaan rumah. Untuk sementara ini, Arisha mencukupkan diri mengetahui motif Akhtar mengikuti pilkada. Ia tidak mau misinya terbaca di awal. Semua harus dilakukan dengan halus serta perhitungan waktu yang tepat.
Arisha mendapatkan celah. Secara niat, tak tersirat gambaran dalam diri Akhtar untuk berbangga-bangga dengan kekuasaan yang hendak diraihnya. Semua diletakkan sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan mulia.
🍂🍂🍂
Di kamar yang masih berisi barang-barang Hasna, kini Arisha berada. Ia sebenarnya diajak Akhtar untuk istirahat siang agar nanti saat acara tasyakuran tidak mengantuk. Mereka sempat berbaring di atas tempat tidur usai makan siang dan salat Zuhur. Saat Akhtar sudah pulas, Arisha malah masih terjaga. Ia bingung apa yang mesti dilakukan. Tidur siang bukanlah kebiasaan tubuhnya, paling hanya merebahkan badan barang lima belas menit atau setengah jam itu sudah cukup.
Tangan Arisha membuka lemari baju milik mendiang kakaknya. Gadis itu sempat tercengang dengan isi lemari yang penuh. Baik lemari gantungan maupun saf-saf kotak. Tangan Arisha menyapu koleksi baju itu dan menghitung secara cepat. Ada lebih dari dua puluh setel di sana. Belum lagi yang dilipat. Arisha paham kakaknya tipe wanita yang suka dengan fashion, sedikit berbeda dengannya yang terbiasa mendapatkan baju bekas. Lulusan tafsir di fakultas ushuluddin Al-Azhar itu sejak kecil lebih tertarik dengan buku baru daripada baju baru.
Setelah lemari itu ia tutup, kini beralih pada meja rias yang masih lengkap dengan kosmetik, skincare, dan berbagai macam produk perawatan diri. Tak tertinggal parfum. Diambilnya salah satu parfum dengan tutup botol berbentuk bunga mawar. Arisha membuka tutupnya dan hendak mencoba aromanya. Ditekanlah bagian ujung botol agar cairan di dalamnya keluar.
“Jangan dipake!”
Seketika botol parfum itu lolos dari genggaman Arisha. Suara Akhtar, mengagetkannya. Gadis itu ketakutan. Benturan botol berbahan kaca dan lantai keramik menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
“Ough … !” rintih Arisha saat ada rasa perih di kaki kanannya.
“Kakimu berdarah,” ucap Akhtar panik. Ia lalu jongkok melihat darah yang merembes. “Pecahannya ada yang menancap di kakimu. Tunggu sebentar!” Akhtar bergegas menuju kotak P3K yang tersedia di ruang tengah.
Sembari menunggu Akhtar, Arisha berusaha mengambil pecahan kaca itu dari pergelangan kakinya dalam posisi jongkok. Namun, tangan Akhtar mencegahnya. “Sudah kubilang tunggu. Biar aku yang bersihkan. Kamu duduk saja.” Lelaki itu membantu istrinya menuju tepi dipan. Sementara tubuh Arisha makin gemetar melihat Akhtar reaksi suaminya yang tampak kesal.
Akhtar kembali dalam posisi jongkok. Arisha yang memakai daster bahan kaus dengan panjang tepat di bawah lutut, menjadikan betisnya terbuka. Akhtar baru menyadari jika istrinya mempunyai betis jenjang dan ramping, dibandingkan Hasna. Pantas saja saat lelaki dengan tinggi 175 cm itu berjalan beriringan dengan Arisha, ia merasa tingginya tak terlalu beda jauh.
Akhtar lalu memakai sarung tangan lateks terlebih dahulu sebelum mulai membersihkan lukanya Arisha. Setelahnya, ia mengambil tisu pembersih bebas alkohol untuk membersihkan bekas darah yang merembes. Kain kasa ia beri betadine lalu ditempelkan pada bekas tancapan beling dan diplester bagian tepinya.
Arisha melihat penanganan lukanya sudah selesai, tetapi suaminya itu belum juga bangun dari posisi jongkoknya. Arisha tidak menyadari pengaruh betisnya yang terbuka terhadap Akhtar. Meski awalnya ia merasa tidak nyaman saat suaminya itu berjongkok di kakinya.
Kali ini Akhtar baru menyadari kisah tentang Imam Syafi’i yang kehilangan separuh hafalannya lantaran melihat dengan tidak sengaja betis wanita. Saat itu ia tidak percaya bagaimana bisa melihat betis saja dampaknya sedahsyat itu. Sebab sekarang banyak wanita di jalan mengumbar betisnya namun tidak memancing gairah Akhtar. Namun kini Akhtar merasakan, melihat betis telanjang Arisha terasa begitu erotis. Ingin rasanya ia tak hanya menyentuh bagian kulit yang terluka, tetapi menyusuri seluruh bagiannya, menyerap tekstur, dan kehangatannya. Toh Arisha halal untuknya.
Namun imajinasinya itu ia kubur. Akhtar berjanji baru akan menyentuh Arisha jika istrinya itu yang memulai. Ia tak ingin menambah rasa bersalah setelah menempatkan Arisha pada pilihan sulit saat tawaran pernikahan ini datang untuknya. Sebab kemungkinan besar gadis itu terpaksa menerima. Oleh karenanya, Akhtar tak ingin istrinya itu juga terpaksa saat menyerahkan dirinya.
Kesal dengan kelemahannya, Akhtar memalingkan pandangan ke sisi lain. “Selesai,” ucapnya lalu berdiri dengan membawa kotak P3K dan mengembalikan ke tempatnya semula tanpa melihat Arisha.
Sementara itu, Arisha membuang napasnya kasar. Ia masih takut sekadar untuk melihat Akhtar. Menurutnya, mendiang kakaknya masih mempunyai tempat yang begitu istimewa di hati Akhtar. Buktinya, barangnya ia sentuh saja langsung diteriaki. Sikap Akhtar yang demikian di luar perkiraan Arisha. Mungkin Akhtar satu dari seribu lelaki yang katanya dengan mudah meluapakan mendiang istri, lalu lekas menikah dengan wanita lain dan urusan selesai. Nyatanya, itu tidak didapati pada suaminya sekarang.
Ini menjadi tugas yang cukup berat bagi Arisha, mengingat strategi seolah-olah menjadi budak perempuan sudah ia putuskan untuk memengaruhi keputusan Akhtar agar mundur dari pilkada. Sementara untuk bersikap binal sebagaimana pesan uminya, sama sekali bukan karakternya. Ia lebih suka bersikap jual mahal dan angkuh, meski sebenarnya ini tidak tepat jika diterapkan kepada lelaki yang sudah menjadi suaminya.
“Ya Allah … tolong hamba,” gumamnya.
Akhtar kembali ke kamar dengan membawa sapu dan cikrak di kedua tangannya.
“Kenapa lihat aku kayak gitu? Belum pernah lihat orang ganteng bawa sapu?” Akhtar merasa gemas melihat raut muka Arisha yang tampak ketakutan. Seolah pengutang yang didatangi debt collcetor. Makanya ia membuat joke untuk mencairkan suasana. Tanpa memedulikan reaksi istrinya, Akhtar membersihkan beling yang berserakan di lantai. Lalu ia kembali melihat betis jenjang tanpa cacat itu.
.
.
(Bersambung)
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se
“Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh