Selamat membaca!
"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu."Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita."Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?"Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!"Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya."Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir."Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu."Tari diam beberapa saat. Semakin merasa aneh mendengar jawaban Devan. "Tapi, kenapa hanya Viola yang dipanggil ke ruangan Bapak?""Kenapa?" Suara Devan terdengar lantang hingga membuat Tari meremang ketakutan. "Apa kamu juga mau dapat hukuman dari saya?"Seketika Tari menelan saliva-nya. "Enggak deh, Pak, makasih. Ya udah saya ke lapangan aja ya, mendingan disengat matahari daripada disengat omelan Bapak!" Tari sengaja mengecilkan intonasi suaranya di akhir kalimat berharap agar Devan tidak mendengar perkataannya. Namun nyatanya, pria itu masih dapat mendengar."Tadi kamu bilang apa, Tari?""Yang mana ya, Pak?""Itu yang tadi, setelah kamu bilang mau ke lapangan aja.""Oh itu ...." Tari merasa gugup berada di depan Devan yang tengah menatapnya tajam, membuat nyalinya sekita menciut. "Itu ... maksud saya, matahari di luar bagus buat ngitemin kulit saya, Pak. Ya udah ya, Pak, saya berjemur dulu, takut mendung nih." Sebelum pergi, Tari sempat melihat Viola yang hanya diam menatap Devan. "Vi, hati-hati ya!""Tenang aja, Tar!" Tari pun pergi. Namun, percakapan itu terdengar oleh Devan yang langsung berdecih kesal dalam hatinya.Devan pun langsung berbalik. Melangkah lebih dulu menuju ruangannya yang ada di sisi koridor berbeda dari tempatnya saat ini. "Ayo cepat, Viola! Saya enggak punya waktu banyak karena harus mengajar lagi."Viola pun bergegas, mulai melangkah menyusul Devan dengan senyuman. "Yes, rencana gue berhasil. Gue udah nebak, Pak Devan pasti takut kalau gue cerita soal kejadian malam itu ke Tari, makanya dia sampe nyusulin gue. Sekarang saatnya gue minta pertanggungjawaban dia, enak aja dulu dia pergi gitu aja setelah ngambil keperawanan gue."Setibanya di ruangan Devan, kini keduanya sudah duduk saling berseberangan. Devan masih terus menatap tajam Viola sebelum mulai mengatakan maksud tujuannya meminta gadis itu datang ke ruangannya."Pak, pokoknya Pak Devan harus tanggung jawab karena udah ngambil keperawanan saya dua tahun lalu!" Dengan kedua mata yang berapi-api Viola mengatakan itu, menuntut penuh penekanan.Mendengar hal itu, Devan sampai tersedak salivanya sendiri hingga ia langsung mengambil segelas air putih yang ada di atas meja dan meminumnya sampai tandas tak tersisa. "Jangan aneh-aneh ya, Viola! Dua tahun yang lalu kita tidak sampai berhubungan badan, jadi enggak mungkin banget kalau keperawanan kamu hilang karena saya.""Apa Pak Devan lupa yang udah Bapak lakuin ke saya malam itu? Itu jahat, Pak, jahat banget ...." Viola tak melanjutkan perkataannya, gadis cantik itu malah menangis hingga wajahnya mulai basah karena air mata dengan cepat menghujaninya."Lho, kamu kenapa nangis?" Devan semakin panik. Ia merasa takut jika ada yang datang ke ruangannya dan bisa saja itu profesor Gunawan, rektor di kampus tempatnya mengajar saat ini dan pastinya jika melihat Viola menangis, itu akan mencoreng nama baiknya."Ya, saya sedih, Pak. Bapak bukan hanya ninggalin saya, tapi juga udah merenggut keperawanan yang saya jaga selama 21 tahun dan yang lebih menyakitkan lagi, Pak Devan ngelakuin semua itu cuma pake jari aja." Suara tangisan Viola semakin terdengar keras hingga Devan langsung berdiri dan mendekati gadis itu."Sudah, Viola, jangan menangis lagi ya!" Dengan suara yang terdengar lembut, Devan mulai merayu Viola agar memelankan suara tangisannya."Ya ampun, kalau ada yang denger Viola nangis kaya gini di ruangan gue, bisa-bisa orang malah ngira kalau dia gue hamilin nih," batin Devan sambil mencari akal agar Viola berhenti menangis.Di tengah ketakutan yang dirasakan oleh Devan, tiba-tiba suara langkah kaki kian mendekat."Vi, tolong diem dulu ya!" Devan membungkam mulut Viola dengan kedua tangannya hingga membuat gadis itu langsung berdiri dan berada dalam dekapan Devan."Ya Tuhan, kenapa Pak Devan meluk gue? Jantung gue kan jadi berdebar enggak karuan begini," batin Viola yang masih diam tanpa melawan. Terbuai dalam dekapan Devan yang menuntun ke sebuah sudut ruangan yang di sebelahnya terdapat sebuah lemari buku."Kamu sembunyi dulu di sini ya!" Devan melepas tangannya dari mulut Viola yang sudah berhenti menangis."Tapi, Pak, Bapak mau tanggung jawab, kan?" Seolah mengerti posisi Devan saat ini, Viola mengatakan itu dengan berbisik."Enggak, pokoknya nanti kita bicarakan lagi baiknya gimana, oke!" Baru selesai menjawab pertanyaan Viola, tiba-tiba suara pria yang tentu saja tidak asing bagi Devan terdengar memanggil dari depan ruangannya. Pria itu mulai mengetuk pintu."Ya ampun, itu benar Pak Gunawan," batin Devan semakin panik dan kembali meminta Viola bersembunyi."Pokoknya saya enggak akan sembunyi kalau Bapak enggak mau tanggung jawab." Viola mengancam. Gadis cantik itu hendak melangkah pergi menuju pintu ruangan. Namun, Devan menahan langkahnya dengan cepat."Oke, oke, saya akan tanggung jawab. Sekarang kamu harus sembunyi dulu sampai Pak Gunawan pergi!""Pak Devan, apa Anda ada di dalam?" Suara panggilan itu lagi-lagi membuat Devan merasa takut."Benar ya, Pak? Pokoknya hari ini juga Bapak harus ketemu sama orang tua saya buat izin nikahin saya."Devan terdiam sejenak. Berpikir dan semakin tersudut. "Sial, gimana ini?" gerutu Devan kesal dalam hatinya."Gimana, Pak? Saya keluar nih." Sambil menakut-nakuti Devan dengan berlaga seolah ingin melangkah kembali, Viola benar-benar membuat Devan tak punya pilihan selain mengiyakan keinginannya."Oke, oke, tapi saya punya syarat yang harus kamu lakukan." Dengan sangat terpaksa Devan memutuskan setelah terjadi pergulatan hebat dalam dirinya.Selesai mengatakan itu, suara knop pintu terdengar akan dibuka dan selang beberapa detik kemudian, sosok rektor di kampusnya pun masuk. Ya, Devan memang tidak pernah mengunci pintu ruangannya. Namun, siapa pun yang datang pasti akan mengetuk pintu lebih dulu karena menghargai privasinya, sekalipun Gunawan adalah rektor di kampus itu."Mati gue," gumam Devan reflek memutar tubuhnya yang kini membelakangi sudut ruangan tepat di belakangnya."Pak Devan, kenapa Anda berdiri di sana?" Gunawan langsung melontarkan sebuah pertanyaan saat melihat Devan hanya menatapnya dengan wajah pucat."Eh, Pak Gunawan, enggak ini ... tadi saya mau ngasih tahu mahasiswi saya ini ...." Devan tak jadi melanjutkan perkataannya saat tak lagi melihat Viola yang tadi ada di dekatnya."Mahasiswi mana?" Sang rektor bertanya saat tak menemukan siapa-siapa selain Devan di ruangan itu.Devan pun masih terdiam. Berpikir untuk mengelak dan di saat pandangannya berhasil menemukan keberadaan Viola, gadis cantik itu malah mengedipkan mata seolah memberi isyarat padanya untuk tidak perlu takut lagi."Untung aja dia udah sembunyi," batin Devan sambil menghela napas dengan kasar."Enggak apa-apa, Pak. Ini saya lagi mau nyari buku untuk mahasiswi saya." Devan pura-pura berakting dan langsung mengambil sebuah buku secara sembarang dari rak buku yang ada di depannya.Di saat Devan kembali ke meja kerjanya, Viola tampak semringah karena pada akhirnya, pria yang selama ini ia kagumi akan segera menikahinya. "Akhirnya, enggak lama lagi gue bakal jadi nyonya Devan." Sambil membayangkan sebuah pesta pernikahan, Viola tersenyum penuh kemenangan karena semua rencananya berhasil.Bersambung ✍️Selamat membaca!Setelah sang rektor pergi, barulah Viola keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu pun langsung menagih janji pada Devan sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum ia bersembunyi."Pak, jangan lupa sama janji Bapak ya!" Viola tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Menatap Devan yang baru saja menutup pintu ruangan setelah Gunawan keluar."Sebelum saya menepati janji saya, kamu harus tahu dulu sesuatu tentang saya.""Tentang, Bapak? Maksudnya?""Ya, kamu harus tahu alasan kenapa saya ninggalin kamu dua tahun lalu?""Apa itu, Pak?" Viola menautkan kedua alisnya. Menatap tajam wajah Devan seolah menuntut agar pria itu segera menjawab pertanyaannya.Devan menghela napas kasar. Raut wajahnya berubah ragu, seperti tidak yakin untuk bicara. "Saya itu impoten.""Apa, Pak?" Sambil mendekatkan telinganya pada Devan, Viola bertanya. Meminta pria itu mengulangi apa yang baru saja ia katakan."Saya menderita disfungsi ereksi sejak tiga tahun lalu. Makanya, malam itu saya bi
Selamat membaca!Merasa tidak nyaman karena sejak tadi mengenakan kebaya yang tidak pernah sekalipun dikenakannya, Viola bergegas menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar itu untuk mandi. Ya, walau setiap ruangan di rumah Devan mengenakan AC, tetap saja Viola masih berkeringat saat akad nikah tadi. Entah karena merasa gugup akan menjadi istri Devan atau karena tidak terbiasa mengenakan kebaya dan itu membuatnya merasa gerah hingga berkeringat. Sambil melangkah, Viola masih terus mengingat momen mendebarkan saat tangannya menggenggam pusaka milik Devan. Sejenak bayangan nakal pun terbesit di benaknya. "Ih, kenapa pikiran gue jadi kotor begini sih? Kenapa juga gue malah bayangin punyanya Pak Devan kalau lagi bangun? Fokus, Vi, fokus ... sekarang itu yang paling penting gue tahu kalau penyakit impoten Pak Devan ternyata masih bisa disembuhkan, buktinya tadi gue ngerasa punya Pak Devan mulai bangun pas gue pegang. Ya, walau mungkin kaya telat respon gitu sih." Viola tampak berpikir. La
Selamat membaca!Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan oleh Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya."Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta dinikahin." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah hingga di sisi lorong lainnya."Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan oleh gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya."Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?""Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan.""Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya."Kenapa kamu lama? Saya
Selamat membaca!Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda."Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!"Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu."Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah."Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu.""Iya, Y
Selamat membaca!"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini ia kesiangan untuk pergi ke kampus."Ya Tuhan, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis."10 menit ya! Kalau lebih dari itu, saya akan ninggalin kamu."Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandiin bebek apa ya? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasannya."Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari lu
Selamat membaca!Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat."Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya."Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos.Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah.""Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu.""Tapi, Pak—""Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mula
Selamat membaca!"Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan."Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang sempit."Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin waktu weekend.""Ya udah sih nggak apa-apa, kerjain aja. Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini.""Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo.""Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu.""Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?"Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas."Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa
Selamat membaca!Merasa Tari terlalu cerewet dan tidak bisa diajak bicara baik-baik, Viola pun langsung menarik pergelangan tangan sahabatnya itu untuk diajak pergi ke taman karena ia malu sejak tadi menjadi pusat perhatian orang sekantin."Eh, Vi, lepasin dong ah! Lo mau bawa gue ke mana sih?" "Ke taman! Habisnya lo itu bikin gue malu tahu nggak! Orang yang lagi makan di kantin malah jadi ngelihat ke arah kita terus karena lo berisik nggak bisa diem!" Viola menjawab dengan ketus sambil terus menarik tangan Tari keluar dari kantin.Setibanya di taman yang tidak jauh dari kantin, barulah Viola melepaskan genggamannya dari tangan Tari yang seketika menghela napas lega. "Aduh, Vi, lo itu kasar banget sih jadi cewek. Megang tangan gue aja sampai perih begini. Gimana gue mau percaya coba kalau lo sama Pak Devan udah ni—" Lagi dan lagi Viola terpaksa membungkam mulut sahabatnya agar mahasiswa lain yang juga tengah berada di taman tidak mengetahui soal kabar pernikahannya dengan sang dosen