Share

Bab 3. Syarat Viola

Selamat membaca!

"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu.

"Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita.

"Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?"

Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!"

Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya.

"Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir.

"Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu."

Tari diam beberapa saat. Semakin merasa aneh mendengar jawaban Devan. "Tapi, kenapa hanya Viola yang dipanggil ke ruangan Bapak?"

"Kenapa?" Suara Devan terdengar lantang hingga membuat Tari meremang ketakutan. "Apa kamu juga mau dapat hukuman dari saya?"

Seketika Tari menelan saliva-nya. "Enggak deh, Pak, makasih. Ya udah saya ke lapangan aja ya, mendingan disengat matahari daripada disengat omelan Bapak!" Tari sengaja mengecilkan intonasi suaranya di akhir kalimat berharap agar Devan tidak mendengar perkataannya. Namun nyatanya, pria itu masih dapat mendengar.

"Tadi kamu bilang apa, Tari?"

"Yang mana ya, Pak?"

"Itu yang tadi, setelah kamu bilang mau ke lapangan aja."

"Oh itu ...." Tari merasa gugup berada di depan Devan yang tengah menatapnya tajam, membuat nyalinya sekita menciut. "Itu ... maksud saya, matahari di luar bagus buat ngitemin kulit saya, Pak. Ya udah ya, Pak, saya berjemur dulu, takut mendung nih." Sebelum pergi, Tari sempat melihat Viola yang hanya diam menatap Devan. "Vi, hati-hati ya!"

"Tenang aja, Tar!" Tari pun pergi. Namun, percakapan itu terdengar oleh Devan yang langsung berdecih kesal dalam hatinya.

Devan pun langsung berbalik. Melangkah lebih dulu menuju ruangannya yang ada di sisi koridor berbeda dari tempatnya saat ini. "Ayo cepat, Viola! Saya enggak punya waktu banyak karena harus mengajar lagi."

Viola pun bergegas, mulai melangkah menyusul Devan dengan senyuman. "Yes, rencana gue berhasil. Gue udah nebak, Pak Devan pasti takut kalau gue cerita soal kejadian malam itu ke Tari, makanya dia sampe nyusulin gue. Sekarang saatnya gue minta pertanggungjawaban dia, enak aja dulu dia pergi gitu aja setelah ngambil keperawanan gue."

Setibanya di ruangan Devan, kini keduanya sudah duduk saling berseberangan. Devan masih terus menatap tajam Viola sebelum mulai mengatakan maksud tujuannya meminta gadis itu datang ke ruangannya.

"Pak, pokoknya Pak Devan harus tanggung jawab karena udah ngambil keperawanan saya dua tahun lalu!" Dengan kedua mata yang berapi-api Viola mengatakan itu, menuntut penuh penekanan.

Mendengar hal itu, Devan sampai tersedak salivanya sendiri hingga ia langsung mengambil segelas air putih yang ada di atas meja dan meminumnya sampai tandas tak tersisa. "Jangan aneh-aneh ya, Viola! Dua tahun yang lalu kita tidak sampai berhubungan badan, jadi enggak mungkin banget kalau keperawanan kamu hilang karena saya."

"Apa Pak Devan lupa yang udah Bapak lakuin ke saya malam itu? Itu jahat, Pak, jahat banget ...." Viola tak melanjutkan perkataannya, gadis cantik itu malah menangis hingga wajahnya mulai basah karena air mata dengan cepat menghujaninya.

"Lho, kamu kenapa nangis?" Devan semakin panik. Ia merasa takut jika ada yang datang ke ruangannya dan bisa saja itu profesor Gunawan, rektor di kampus tempatnya mengajar saat ini dan pastinya jika melihat Viola menangis, itu akan mencoreng nama baiknya.

"Ya, saya sedih, Pak. Bapak bukan hanya ninggalin saya, tapi juga udah merenggut keperawanan yang saya jaga selama 21 tahun dan yang lebih menyakitkan lagi, Pak Devan ngelakuin semua itu cuma pake jari aja." Suara tangisan Viola semakin terdengar keras hingga Devan langsung berdiri dan mendekati gadis itu.

"Sudah, Viola, jangan menangis lagi ya!" Dengan suara yang terdengar lembut, Devan mulai merayu Viola agar memelankan suara tangisannya.

"Ya ampun, kalau ada yang denger Viola nangis kaya gini di ruangan gue, bisa-bisa orang malah ngira kalau dia gue hamilin nih," batin Devan sambil mencari akal agar Viola berhenti menangis.

Di tengah ketakutan yang dirasakan oleh Devan, tiba-tiba suara langkah kaki kian mendekat.

"Vi, tolong diem dulu ya!" Devan membungkam mulut Viola dengan kedua tangannya hingga membuat gadis itu langsung berdiri dan berada dalam dekapan Devan.

"Ya Tuhan, kenapa Pak Devan meluk gue? Jantung gue kan jadi berdebar enggak karuan begini," batin Viola yang masih diam tanpa melawan. Terbuai dalam dekapan Devan yang menuntun ke sebuah sudut ruangan yang di sebelahnya terdapat sebuah lemari buku.

"Kamu sembunyi dulu di sini ya!" Devan melepas tangannya dari mulut Viola yang sudah berhenti menangis.

"Tapi, Pak, Bapak mau tanggung jawab, kan?" Seolah mengerti posisi Devan saat ini, Viola mengatakan itu dengan berbisik.

"Enggak, pokoknya nanti kita bicarakan lagi baiknya gimana, oke!" Baru selesai menjawab pertanyaan Viola, tiba-tiba suara pria yang tentu saja tidak asing bagi Devan terdengar memanggil dari depan ruangannya. Pria itu mulai mengetuk pintu.

"Ya ampun, itu benar Pak Gunawan," batin Devan semakin panik dan kembali meminta Viola bersembunyi.

"Pokoknya saya enggak akan sembunyi kalau Bapak enggak mau tanggung jawab." Viola mengancam. Gadis cantik itu hendak melangkah pergi menuju pintu ruangan. Namun, Devan menahan langkahnya dengan cepat.

"Oke, oke, saya akan tanggung jawab. Sekarang kamu harus sembunyi dulu sampai Pak Gunawan pergi!"

"Pak Devan, apa Anda ada di dalam?" Suara panggilan itu lagi-lagi membuat Devan merasa takut.

"Benar ya, Pak? Pokoknya hari ini juga Bapak harus ketemu sama orang tua saya buat izin nikahin saya."

Devan terdiam sejenak. Berpikir dan semakin tersudut. "Sial, gimana ini?" gerutu Devan kesal dalam hatinya.

"Gimana, Pak? Saya keluar nih." Sambil menakut-nakuti Devan dengan berlaga seolah ingin melangkah kembali, Viola benar-benar membuat Devan tak punya pilihan selain mengiyakan keinginannya.

"Oke, oke, tapi saya punya syarat yang harus kamu lakukan." Dengan sangat terpaksa Devan memutuskan setelah terjadi pergulatan hebat dalam dirinya.

Selesai mengatakan itu, suara knop pintu terdengar akan dibuka dan selang beberapa detik kemudian, sosok rektor di kampusnya pun masuk. Ya, Devan memang tidak pernah mengunci pintu ruangannya. Namun, siapa pun yang datang pasti akan mengetuk pintu lebih dulu karena menghargai privasinya, sekalipun Gunawan adalah rektor di kampus itu.

"Mati gue," gumam Devan reflek memutar tubuhnya yang kini membelakangi sudut ruangan tepat di belakangnya.

"Pak Devan, kenapa Anda berdiri di sana?" Gunawan langsung melontarkan sebuah pertanyaan saat melihat Devan hanya menatapnya dengan wajah pucat.

"Eh, Pak Gunawan, enggak ini ... tadi saya mau ngasih tahu mahasiswi saya ini ...." Devan tak jadi melanjutkan perkataannya saat tak lagi melihat Viola yang tadi ada di dekatnya.

"Mahasiswi mana?" Sang rektor bertanya saat tak menemukan siapa-siapa selain Devan di ruangan itu.

Devan pun masih terdiam. Berpikir untuk mengelak dan di saat pandangannya berhasil menemukan keberadaan Viola, gadis cantik itu malah mengedipkan mata seolah memberi isyarat padanya untuk tidak perlu takut lagi.

"Untung aja dia udah sembunyi," batin Devan sambil menghela napas dengan kasar.

"Enggak apa-apa, Pak. Ini saya lagi mau nyari buku untuk mahasiswi saya." Devan pura-pura berakting dan langsung mengambil sebuah buku secara sembarang dari rak buku yang ada di depannya.

Di saat Devan kembali ke meja kerjanya, Viola tampak semringah karena pada akhirnya, pria yang selama ini ia kagumi akan segera menikahinya. "Akhirnya, enggak lama lagi gue bakal jadi nyonya Devan." Sambil membayangkan sebuah pesta pernikahan, Viola tersenyum penuh kemenangan karena semua rencananya berhasil.

Bersambung ✍️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
ngebet banget sih Vi pengen jadi istrinya Devan. orang gk bisa berdiri tegak gitu. hehehe...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status