Selamat membaca!
Sepanjang mengajar di kelas, Devan masih tak menyadari keberadaan Viola. Pria itu sangat fokus dengan materi yang dibawakannya dan itu sudah menjadi hal biasa bagi gadis yang sampai detik ini masih terus memandangi Devan tanpa teralihkan. Wajah itu sejujurnya sangat ia rindukan. Sering datang ke dalam mimpinya dan masih begitu jelas terlihat di sana."Vi, lo kenapa ngelihatin Pak Devan terus? Jangan bilang lo naksir ya sama dia," celetuk Tari sambil menyenggol siku Viola hingga gadis itu langsung menoleh ke arahnya."Gue emang udah naksir dia dari dulu.""Maksudnya?" Raut wajah Tari terlihat bingung. Masih dengan berbisik, ia bertanya pada Viola yang saat ini juga melihatnya."Jadi, gue itu udah kenal Pak Devan sejak empat tahun yang lalu.""Oh, jadi empat tahun lalu, dia ngajar di kampus lo ya?""Iya, terus ... entah kenapa dua tahun lalu dia itu menghilang gitu aja dari kampus dan sejak itu juga gue udah enggak pernah lagi ngelihat dia.""Oh, begitu ceritanya.""Begitu apanya?" Devan menggebrak meja Tari dengan keras hingga membuat gadis itu langsung berdiri."Enggak ada apa-apa, Pak. Saya janji enggak akan ngobrol lagi di kelas." Setelah mengatakan itu, Tari langsung mengambil tas dan sebuah buku miliknya yang ada di atas meja."Eh, Tar, lo mau ke mana?"Tari kembali menoleh. Melihat Viola yang masih duduk nyaman di kursinya seolah tak terintimidasi dengan keberadaan Devan yang baru saja membentaknya. "Keluar dari kelaslah, emang ke mana lagi, Vi, masa ke warteg. Udah ayo!" Dengan nada berbisik, Tari mengatakan itu sambil melirik Devan yang masih melihat wajahnya dengan sorot mata tajam."Lho, ngapain keluar?""Tahu ah." Tari pun kembali melangkah menuju pintu kelas dan keluar begitu saja tanpa menunggu jawaban Viola."Kamu kenapa masih di sini?" Suara lantang itu terdengar menakutkan hingga masih dapat didengar Tari yang baru saja keluar dari kelas. Namun, sejak tadi Viola masih menundukkan kepala hingga Devan tak bisa melihat wajahnya."Ya ampun, baru aja ketemu lagi, tapi gue malah buat masalah," batin Viola mulai menengadahkan kepala, melihat Devan dengan malu-malu."Hai, Pak, apa kabar?"Kedua mata Devan membulat sempurna. Tentu saja ia sangat terkejut saat melihat Viola. Gadis yang menjadi alasannya pindah ke Jakarta dan meninggalkan Surabaya–kota kelahirannya."Kamu ...."Viola tersenyum canggung saat melihat Devan masih mengenalinya. Memang tak ada yang berubah dari penampilan Viola selain rambutnya yang saat ini sudah lebih panjang dari dua tahun lalu."Kamu juga keluar dari ruangan saya! Cepat!"Baru saja merasa senang, suara lantang Devan terdengar mengejutkan. Viola pun bangkit dari posisi duduknya setelah mengambil tas dan sebuah buku di atas meja. Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu pun melangkah pergi menuju pintu ruangan di mana Tari tampak mengintip, melihat apa yang terjadi dengannya."Nah, kan udah gue bilang, sebelum diusir mending keluar aja." Tari menutup pintu yang sempat dibukanya sedikit, lalu berdiri di sebelah pintu dan bersandar pada dinding sambil menghela napas dengan kasar. Ini pertama kali baginya mendapatkan hukuman dari Devan, padahal selama ini, ia selalu bersikap baik karena tahu jika dosennya itu memang terkenal killer.Sementara Viola masih terus berjalan sambil sesekali memandangi teman sekelasnya di ruangan itu yang tengah melihat rendah ke arahnya. Namun, Viola tampak cuek dengan pandangan mereka. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu, menemui Devan dan mengatakan apa yang terjadi pada malam dua tahun lalu. Malam di mana pria itu telah merenggut kesuciannya. Jika keperawanan diukur dari sudah pernahnya seseorang berhubungan intim, maka Viola bisa dikatakan masih perawan karena ia memang belum sekalipun bercinta dengan pria mana pun. Dan, jika keperawanan itu dinilai dari selaput dara yang telah dirusak oleh jari Devan, maka, Viola bisa dikatakan sudah tak lagi perawan."Pak Devan enggak pernah berubah ya, dari dulu tetap aja killer, tapi enggak tahu kenapa, gue jadi makin kagum sama dia," batin Viola yang baru saja keluar dari ruangan."Gimana rasanya dibentak, Pak Devan?" Tari menanyakan itu saat Viola tiba tepat di sampingnya dan bersandar pada dinding ruangan sama sepertinya."Gue udah biasa ngelihat dia kaya gitu.""Berarti lo juga tahu dong gimana caranya bisa dapat nilai bagus dari doi.""Enggak tahu, gue cuma tahu gimana cara mengagumi, Pak Devan?""Dosen galak gitu lo kagumi. Mending Arya tuh anak kelas sebelah, udah ganteng, baik, tajir lagi.""Arya?""Iya, yang rambutnya wangi itu. Semua cewek di kampus ini pasti tergila-gila sama dia. Kalaupun ada yang enggak suka, mungkin cuma orang yang enggak waras aja.""Wangi? Itu rambut apa minyak wangi? Tapi tetap aja, mau sewangi atau setampan apa pun si Arya itu, gue enggak akan suka sama dia. Gue cuma suka sama Pak Devan aja.""Ya, itu karena lo belum ketemu sama Arya, coba nanti kalau lo udah lihat tuh cowok, pasti naksir deh."Di tengah perdebatan sengit keduanya, tiba-tiba pintu terbuka. Sosok Devan pun muncul dengan wajah yang penuh amarah."Kalian ini, udah di depan kelas, tapi masih aja berisik! Sekarang lebih baik kalian ke lapangan aja, di sana kalian bisa ngobrol sesuka hati kalian tanpa harus mengganggu siapa pun di sini.""Tapi, Pak, kan panas siang-siang begini?" Dengan raut cemberut, Tari coba menolak perintah Devan."Berani kamu bantah saya!" Suara Devan semakin lantang. Tak terelakkan lagi jika pria itu benar-benar geram dengan Tari dan juga Viola."Udah ayo, Tar! Percuma aja kita ngebantah perintah dosen killer ini, yang ada nanti kita dikasih nilai C sama dia. Benar kata Pak Devan, lebih baik kita ke lapangan, lagi pula gue punya cerita yang seru kok buat diceritain soal doi." Viola pun melangkah sambil menarik lengan Tari setelah melirik Devan yang tampak berang dengan jawaban itu."Cerita apaan tuh, Vi?" Tari terdengar bertanya saat mau tak mau ia harus mengikuti Viola yang memaksanya untuk pergi."Jangan-jangan dia mau cerita soal ... bagaimana jika kejadian malam itu sampai kesebar ke seluruh kampus, bisa-bisa kapabilitas gue di kampus jadi rusak," batin Devan yang tiba-tiba takut dan merasa harus bertindak sebelum pikirannya menjadi kenyataan.Tanpa menunggu lama, Devan pun masuk ke dalam ruang kelas dan beberapa detik kemudian, pria itu kembali keluar dengan terburu-buru."Jangan-jangan dia udah tahu alasan gue pergi ninggalin dia malam itu. Ya ampun, gimana kalau sampai semua orang di kampus ini tahu kalau gue ...? Enggak, enggak, gadis itu enggak boleh ngomong ke siapa-siapa." Di dalam hati, Devan benar-benar merasa takut rahasia yang selalu ditutupinya akan terbongkar dan itu bisa mencoreng nama baiknya. Siapa yang menyangka, pria tampan dengan postur tinggi dan tubuh kekar yang nyaris sempurna seperti Devan ternyata menderita Disfungsi Ereksi atau biasa disebut Impotensi.Bersambung ✍️Selamat membaca!"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu."Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita."Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?"Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!"Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya."Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir."Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu."Tari diam beberapa saat. Semak
Selamat membaca!Setelah sang rektor pergi, barulah Viola keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu pun langsung menagih janji pada Devan sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum ia bersembunyi."Pak, jangan lupa sama janji Bapak ya!" Viola tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Menatap Devan yang baru saja menutup pintu ruangan setelah Gunawan keluar."Sebelum saya menepati janji saya, kamu harus tahu dulu sesuatu tentang saya.""Tentang, Bapak? Maksudnya?""Ya, kamu harus tahu alasan kenapa saya ninggalin kamu dua tahun lalu?""Apa itu, Pak?" Viola menautkan kedua alisnya. Menatap tajam wajah Devan seolah menuntut agar pria itu segera menjawab pertanyaannya.Devan menghela napas kasar. Raut wajahnya berubah ragu, seperti tidak yakin untuk bicara. "Saya itu impoten.""Apa, Pak?" Sambil mendekatkan telinganya pada Devan, Viola bertanya. Meminta pria itu mengulangi apa yang baru saja ia katakan."Saya menderita disfungsi ereksi sejak tiga tahun lalu. Makanya, malam itu saya bi
Selamat membaca!Merasa tidak nyaman karena sejak tadi mengenakan kebaya yang tidak pernah sekalipun dikenakannya, Viola bergegas menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar itu untuk mandi. Ya, walau setiap ruangan di rumah Devan mengenakan AC, tetap saja Viola masih berkeringat saat akad nikah tadi. Entah karena merasa gugup akan menjadi istri Devan atau karena tidak terbiasa mengenakan kebaya dan itu membuatnya merasa gerah hingga berkeringat. Sambil melangkah, Viola masih terus mengingat momen mendebarkan saat tangannya menggenggam pusaka milik Devan. Sejenak bayangan nakal pun terbesit di benaknya. "Ih, kenapa pikiran gue jadi kotor begini sih? Kenapa juga gue malah bayangin punyanya Pak Devan kalau lagi bangun? Fokus, Vi, fokus ... sekarang itu yang paling penting gue tahu kalau penyakit impoten Pak Devan ternyata masih bisa disembuhkan, buktinya tadi gue ngerasa punya Pak Devan mulai bangun pas gue pegang. Ya, walau mungkin kaya telat respon gitu sih." Viola tampak berpikir. La
Selamat membaca!Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan oleh Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya."Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta dinikahin." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah hingga di sisi lorong lainnya."Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan oleh gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya."Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?""Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan.""Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya."Kenapa kamu lama? Saya
Selamat membaca!Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda."Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!"Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu."Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah."Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu.""Iya, Y
Selamat membaca!"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini ia kesiangan untuk pergi ke kampus."Ya Tuhan, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis."10 menit ya! Kalau lebih dari itu, saya akan ninggalin kamu."Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandiin bebek apa ya? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasannya."Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari lu
Selamat membaca!Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat."Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya."Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos.Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah.""Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu.""Tapi, Pak—""Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mula
Selamat membaca!"Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan."Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang sempit."Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin waktu weekend.""Ya udah sih nggak apa-apa, kerjain aja. Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini.""Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo.""Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu.""Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?"Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas."Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa