“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!”
Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin dekat pada kamar rawat ayahnya, dada Amaya berdebar oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada rasa takut yang besar saat ia melihat beberapa perawat berlarian masuk ke dalam sana. “Papa ….” gumam Amaya seraya berlari. Dokter dan perawat berkerumun saat ia tiba di dalam. Dengung suara monitor menyakiti indera pendengarnya. Sepanjang yang ia lihat, pada layar yang mendeteksi detak jantung Athan itu hanya menampilkan garis lurus. Amaya berdiri terpancang, meremas coat milik Kelvin dengan kuat saat salah seorang dokter di sana terlihat memberi gelengan pada dokter lainnya dan mengatakan, “Pak Athandika Hariz kembali ke hadapan Tuhan pukul sepuluh lewat sepuluh menit.” “PAPA!” Amaya tak bisa menahan jeritannya. Ia berlari menghambur untuk memeluk sang Ayah yang matanya terpejam rapat. Ia mengguncang tubuh Athan yang terasa dingin. “Papa, jangan tinggalin Amaya!” Tangisnya tumpah, ia menyentuh wajah Athan yang pucat, memeluknya dan memintanya membuka mata, tetapi takdir telah berkata lain. Ayahnya telah pergi. Kelvin memintanya menjauh meski Amaya menepisnya. Yang ada di benaknya kini adalah seberkas rasa bersalah, seandainya ia datang sepuluh menit lebih cepat … mungkin ia masih bisa melihat Athan. Mungkin ia masih bisa mengatakan bahwa ia mencintainya di penghujung kehidupan. Waktu berhenti di sekitarnya, Amaya tak tahu harus melakukan apa sekarang. Jika ibunya Kelvin tidak datang dan merangkulnya agar ia bangun dan mengikuti proses pemakaman, ia bisa melamun seharian di kamar yang menyaksikan kepergian ayahnya itu. Menuju sore hari, saat hujan telah menyisih dan kelamnya awan abu-abu digantikan oleh birunya langit, Amaya melihat nama ayahnya yang terukir abadi pada batu nisan, tegap berdampingan dengan makam sang ibu. Saat para pelayat membawa kaki mereka menjauh, Amaya sempat melihat kehadiran Rama dan Miranda, tapi ia tak peduli dengan mereka. Hatinya terlampau sakit sebab kehilangan Athan sekarang ini. “Selamat jalan,” kata Amaya saat ia menyentuh nisan ayahnya. “Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Amaya sayang Papa.” Amaya memeluk nisannya cukup lama sebelum ibunya Kelvin meraih bahunya dan memintanya untuk pulang. Ia menumpang pada mobil keluarga Kelvin hingga sampai di halaman rumah, setelah ia menolak untuk bersama mereka di rumah seberang jalan. Amaya berdiri di teras miliknya yang tiba-tiba terasa suram, asing dan membuat ia lupa bahwa memang di sinilah seharusnya ia pulang. Amaya membuka pintu rumahnya, tubuhnya merosot duduk di lantai. Ia menunduk memandang dress panjang warna hitam yang ia kenakan. ‘Satu hari ini rasanya sangat buruk sekali,’ gumamnya dalam hati. Ia memiliki dua kehilangan yang mengoyak hatinya pada hari yang sama. Amaya menegakkan punggung saat mendengar suara bel pintu yang ditekan dari luar. Ia bangun dan membuka pintu, menjumpai wajah Kelvin yang menyeruak dan mengayunkan kakinya masuk setelah Amaya mempersilahkannya. “Aku sudah menghubungi Abangmu,” kata Kelvin membuka percakapan. “Penerbangannya dari Manhattan delay, kalau nggak besok mungkin lusa dia baru akan sampai.” “Terima kasih,” jawab Amaya, kepalanya masih tertunduk sembari meremas jari-jari kecilnya. “Mama meminta kamu untuk tinggal di rumahku,” katanya. “Tapi untuk sekarang beliau meminta kamu datang ke rumah seberang untuk makan malam.” Amaya menghela dalam napasnya, wajahnya terangkat sehingga maniknya bertemu dengan iris Kelvin yang tak berpaling darinya sama sekali. “Pak Kelvin,” sebutnya lirih. “Ayo kita akhiri pernikahan siri kita itu,” pintanya. “Papa sudah pergi juga, ‘kan? Kita nggak perlu berpura-pura lagi. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginan Papa di akhir hidupnya.” Amaya menunduk sopan sebelum memalingkan wajahnya dan pergi dari hadapan Kelvin, tetapi baru satu langkah, ia tertahan di sana. “Tidak, Amaya,” ucap Kelvin. Penolakan itu membuat Amaya menoleh kembali pada Kelvin. Alis pria itu sedikit berkerut saat mengatakan, “Meskipun siri, saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup saya,” katanya. “Maaf, tapi saya nggak bisa mengakhiri pernikahan kita begitu saja.”Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi