Share

Bermain Peran

Rosalinne dengan setia mendiami Kasur hangat miliknya, memanjakan diri dengan kelembutan bulu angsa yang mendominasi bantal dan selimut miliknya. Rintik salju yang terus berjatuhan di luar sana membulatkan keinginan Rosalinne untuk tidak beranjak barang sejangkalpun dari tempat tidurnya.

Hari sudah semakin sore dan sang Nyonya muda sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Bibi Hong yang merasa khawatir dengan kondisi sang Nyonya muda maka memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar yang ada di hadapannya.

Tok..tok..tok…

“Nyonya apa anda sudah bangun?”

Kalimat pertama tidak mendapatkan balasan maka sekali lagi Bibi Hong kembali bersuara.

“Nyonya hari sudah semakin sore, anda telah melewatkan makan siang anda. Haruskah saya membawakannya untuk nyonya?”

Begitu mendengar suara pelayan tuanya, Rosalinne segera bangun memposisikan dirinya untuk bersandar di kepala ranjang kemudian dengan sedikit malas berkata.

“Bawalah kemari Bibi Hong,”

Tak lama setelah Rosalinne berkata, sebuah set makanan telah tertata dengan rapi di samping tempat tidurnya. Meski makanan telah tersaji rupanya Rosalinne sama sekali tidak memiliki niatan untuk menyentuhnya hingga pada akhirnya makanan itu pun terabaikan olehnya.

Rosalinne terlelap tetapi belum lama dirinya tertidur, rupanya sebuah telapak besar yang hangat telah menempel di dahinya.

“Apa kau sakit?”

“Kau sudah pulang?”

“Jawab pertanyaanku,”

“Tidak, hanya tertidur saja,”

“Dan melewatkan makan siangmu? Apa yang sudah kau makan terakhir kali?” tanya David yang terlihat cemas.

“Roti, selai, dan susu,” terang Rosalinne menjelaskan.

“Itu menu tadi pagi Rosalinne Han, kemarilah!” tangannya bergerak, menyibak selimut yang hampir menutupi seluruh tubuh Rosalinne, membawa wanita itu mendekat ke arahnya dan membuatnya memakan makanannya.

“Jangan tidur, bangunlah. Pencernaanmu akan terganggu,”

Menuruti perkataan David, Rosalinne pun memilih bersandar pada kepala ranjang sembari mengamati kepergian David yang tertutupi pintu kamar mandi.

Tak lama setelah itu David keluar dengan rambut basah lengkap dengan tetesan air di setiap ujung rambutnya. Melihatnya maka dengan inisiatif Rosalinne datang menghampiri David dan meminta pria itu duduk dan menikmati perawatan darinya.

“Menunduklah Dav,”

Bukannya menunduk pria itu justru menukar posisi dengan menempatkan Rosalinne untuk berdiri di atas kursi. Lengan kekarnya melingkar mengukung pinggang ramping istrinya, kepalanya yang basah ia arahkan pada Rosalinne yang telah siap dengan hair dryer di tangan.

“Dav lepaskan, aku kesulitan jika kau melilit seperti ini,” ujar Rosalinne pada David yang sama sekali tidak mengindahkan perkataannya dan justru bertindak layaknya seorang yang possessive David justru semakin mengeratkan pelukannya.

---

“Bangunlah mataharinya sudah tinggi,”

“Eungh.” Melenguh David mencoba mengembalikan kesadarannya secara penuh.

“Masih gelap, dimana mataharinya?” tanyanya dengan suara serak yang menggelitik membuat siapapun yang mendengarnya akan terpesona karenanya.

“Apa kau tak melihat? Buka matamu bangun dan lihatlah!” jelas Rosalinne.

“Mana,”

“Ini di depanmu,”

Mendengar itu David segera meraih sang istri menjatuhkan tubuh Rosalinne pada pelukannya, memeluk wanitanya erat sambil melancarkan aksinya.

“Hentikan Dav, ayo bersiap, akh… geli! Hentikan Dav kumohon ini benar-benar geli!” seru Rosalinne yang justru membuat David semakin gencar melakukan aksinya.

Setelah menyelesaikan aksinya barulah David bersiap dan melakukan perjalanan bersama Rosalinne menuju kuil untuk memperingati kepergian mendiang ibu Rosalinne.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, keduanya telah tiba di sebuah kuil kuno yang terletak di kaki gunung. Bangunan klasik penuh makna itu rupanya telah diisi oleh orang-orang yang berkumpul dan bersiap melakukan ritual do’a sehingga membuat David dan Rosalinne segera bergegas turut serta memanjatkan doa di sana.

Selesai dari memanjatkan do’a dan ritual mereka berkumpul untuk menikmati sarapan yang sempat tertunda. Mereka berkumpul mengelilingi meja bundar yang telah terisi dengan berbagai macam hidangan khas kuil. Meski hidangan yang lezat telah tersaji di depan mata rupanya itu sama sekali tidak menarik perhatian Rosalinne karna sedari tadi ekor mata Rosalinne telah menangkap gelagat aneh dari sang ibu dan kakak tirinya. Secara terang-terangan Allen Jeong sang kakak tiri menatap suaminya dengan mata telanjang, bahkan meski secara jelas ia tahu bahwa Rosalinne juga berada di sini nampaknya tidak menyurutkan antusiasme Allen untuk memandangi sang adik ipar.

Begitu menyelesaikan makanannya dan melakukan sedikit perbincangan dengan David, Tuan Jeong segera bergegas pergi karena alasan pekerjaan. Sementara itu David masih menyesap secangkir teh yang baru saja dituangkan oleh sang isteri.

“Kuharap dia bisa merawatmu dengan baik. Sifatnya yang kekanak-kanakan terkadang membuatku cukup sedih,” kata Nyonya Jeong tiba-tiba memulai percakapan.

“Iya,” balas David.

“Aku tidak menduga jika suamiku justru menikahkanmu dengan putri kecil kami. Padahal putri tertua keluarga kami juga telah siap dan matang untuk menjadi seorang istri,”

Sang ibu mertua terus berbicara, mengingkari fakta bahwa Rosalinnelah yang kini menyandang gelar sebagai Nyonya Han dan bukannya sang kakak. Sungguh keduanya adalah wanita bermuka dua nan licik. Jika itu memang rencana mereka maka Rosalinne pun tidak memiliki pilihan lain selain turut serta mengambil peran dalam drama yang mereka ciptakan.

“Maafkan aku kakak, aku merasa bersalah karna itu. Tapi, bila dipikir kembali darah tentu lebih kental dari pada air,” cercanya mantab mengusik ketenangan pasangan ibu dan anak tersebut.

“Ah ya, kau benar. Selamat atas pernikahan kalian aku turut berbahagia untuk itu, dan kuharap kelak suamiku akan sama sepertinya,”

Menjijikkan, bukankah itu sama saja dengan menerangkan bahwa sang kakak menginginkan suaminya kelak yang juga akan menjadi suami untuknya? Benar-benar tidak tahu malu. Rosalinne yang mendengarnya hanya tersenyum simpul meremehkan sikap ambisius dari Allen Jeong.

Meski acara telah berakhir tapi rupanya David belum juga beranjak dari tempatnya dan masih setia menunggu Rosalinne yang tengah berada di toilet.

“Bolehkan aku duduk di sini?” tanya Allen.

Pria itu tidak merespon dan sama sekali tidak memberikan wajah pada Allen sang kakak ipar. Sementara itu Allen yang diabaikan tidak menyerah begitu saja, wanita itu dengan tidak tahu malunya tetap menjalankan aksinya meski si target tidak meresponnya sama sekali.

“Lihatlah kancing mantelmu terlepas. Ngomong-ngomong aku tidak yakin jika adikku dapat merawatmu dengan baik. Tidakkah kau merasa lelah? Kau bisa menghubungiku jika kau mau,” Tangannya menyodorkan kartu nama.

David yang melihat isterinya berjalan di kejauhan segera berdiri dan tidak meperdulikan tangan Allen yang tersodor ke arahnya. Pria itu berjalan mendekati Rosalinne, begitu tiba di hadapan sang istri ia segera mencium kening Rosalinne, membenarkan mantel bulu yang digunakan wanita itu lalu segera membawanya pergi dari sana. Sementara itu Allen terlihat meremas kuat kartu nama yang hendak ia berikan pada David. Allen marah atas perlakuan David yang sama sekali tidak menghargainya. Dengan ekor matanya yang sinis, Allen menatap kepergian keduanya, menanamkan rasa iri dan benci yang sedalam-dalamnya atas hubungan pernikahan sang adik tiri.

---

Hari-hari terlewati, semua berjalan dengan baik bahkan menjadi jauh lebih baik. Namun sayang sepertinya Allen benar-benar telah dibutakan oleh obsesinya. Wanita itu hampir setiap hari mengunjungi kediaman sang adik tiri. Entah memang sekedar untuk berkunjung atau membawa maksut tersendiri yang jelas Rosalinne tidak peduli.

Seperti pagi ini, Rosalinne, David dan juga Allen tengah sarapan bersama. Rosalinne yang duduk di dekat David benar-benar diperhatikan oleh suaminya, bahkan untuk sekedar membersihkan sudut bibir, David akan dengan senang hati melakukan itu untuk istrinya. Pagi hari yang romantis bagi keduanya tanpa meperdulikan kehadiran Allen yang iri melihat kemesraan keduanya.

“Kalian terlihat sangat manis, benar-benar pengantin baru,” ungkap Allen.

“Kau cemburu?”

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Allen gelapan dan salah tingkah. Wanita itu kemudian memperbaiki raut keterkejutannya dan segera tersenyum lalu menjawab.

“Untuk apa aku cemburu untuk sesuatu yang tidak aku miliki,” ujarnya tenang.

“Tidak kak, aku hanya bergurau,” ucap Rosalinne diiringi senyum manis miliknya.

Mendengar itu Allen merasa geram, rupanya sang adik tiri berniat untuk mengejeknya. Meski menahan marah wanita itu masih tetap mempertahankan topengnya dengan tersenyum lembut seolah memaklumi tindakan sang adik. Mungkin jika David tidak bersama mereka maka sudah dapat dipastikan jika Allen akan benar-benar menghancurkan sang adik. Sayangnya wanita itu harus berjuang dengan keterpura-puraannya.

Sementara itu David yang sedari awal tidak menaruh minat terhadap Allen sama sekali tidak menanggapi apapun yang dilakukan oleh wanita cantik itu. Dirinya hanya berfokus pada sang istri yang benar-benar telah menjeratnya dengan pesona yang tak tertandingi. David juga tidak bodoh dengan sikap seduktif yang selalu ditunjukkan Allen terhadapnya, tapi lagi-lagi dirinya sama sekali tidak tertarik karna ketertarikannya telah dikuasai oleh Rosalinne seorang. Bahkan dengan jelas David menunjukkan sikap yang berbeda seratus delapan puluh serajat berbeda antara caranya menyikapi Rosalinne maupun Allen. David sangat dingin dengan wanita manapun tak terkecuali jika itu kerabat atau apapun yang berhubungan dengannya yang jelas ia hanya akan memberikan kehangatannya pada Rosalinne yang telah mencuri hatinya sejak di altar hari itu.

Rosalinne segera menikmati waktu santainya begitu David berangkat ke kantor. Merebahkan diri Rosalinne mengamati bunga-bunga yang bermekaran di taman rumahnya. Bunga-bunga yang cantik seperti pemiliknya, begiitulah pikir Rosalinne.

“Kak Allen.” Panggilnya.

Allen yang hendak pergi pun mengurungkan langkahnya. Berbalik, wanita itu mendapati Rosalinne yang tengah berbaring dan tidak menatap ke arahnya meski dia memanggil.

“Kuharap kau mengerti Batasan. Apa kau menyukai rumah ini? Atau kau suka dengan pemiliknya?”

Allen mendekat, kini posisinya berada di samping Rosalinne yang tengah berbaring. Membungkukkan badannya Allen berkata.

“Ya dan akan aku miliki,” kata Allen di telinga Rosalinne.

Rosalinne yang mendengarnya hanya tersenyum, wanita itu melirik keberadaan sang kakak yang tengah berdiri di sampinya.

“Sepertinya kau memang menyukai apapun yang telah menjadi bekasku,”

“Kau!” geram Allen memperingati.

“Sssttt… jangan berteriak padaku, kau tahu ini adalah kediaman Han dan kau tak berhak atas apapun yang ada di sini.” Jarinya mendorong telunjuk yang diarahkan ke wajahnya.

“Bibi Hong tolong antarkan nona ini keluar, sepertinya nona ini lupa letak pintu keluar,”

“Kau! Akan kupastikan kau membayar semua ini!” Hardik Allen pada Rosalinne.

Tidak memperdulikan ancaman sang kakak, Rosalinne justru tersenyum seolah menanti apa yang akan wanita ini lakukan untuknya. Rasanya cukup puas melihat wanita itu selalu menahan amarah. Rosalinne tidak cukup bodoh untuk sekedar memahami situasi dan membaca motif di balik kedatangan Allen yang selalu berusaha berada di dalam pernikahannya. Wanita itu terlalu serekah dan Rosalinne sangat membencinya.

Sepeninggal kepergian Allen, Rosalinne segera pergi ke taman bunga miliknya. Menikmati keindahan bunga-bunga yang bermekaran dan menghirup aroma wangi yang menenangkan, Rosalinne memperbaiki suasana hatinya hari ini.  

“Nyonya, perlukah saya membukakan surat-surat ini untuk anda?” tanya Bibi Hong hati-hati.

“Berikan padaku aku akan membukanya sendiri, terimakasih Bibi Hong,” ucap Rosalinne tulus.

Tidak buruk, menikmati ketenangan dengan membaca beberapa surat. Jari-jarinya sibuk membuka setiap surat maupun undagan yang ditujukan untuknya. Kebanyakan isi surat itu berupa undangan pesta minum teh yang membosankan. Setiap surat akan menunuliskan nama pengundang beserta asal keluarga dan dari sanalah Rosalinne berpikir mungkin ini adalah teman-teman atau mungkin kenalan dari mendiang sang ibu mertua. Kebanyakan dari undangan itu juga menyisipkan sebuah ucapan selamat atas pernikahannya dengan David. Sepertinya mendiang ibu mertuanya menjalin hubungan baik dengan para wanita ini. Hal itu terbukti dengan kalimat dalam surat yang seolah menyampaikan kerinduan yang teramat dalam. Rosalinne berpikir untuk menghadiri satu atau dua undangan yang ditujukan kepadanya, sepertinya menarik dan mungkin dengan begitu dirinya bisa mengenal lebih jauh kepribadian mendiang sang ibu mertua yang dirasanya berkepribadian baik. Kembali melipat surat undangannya Rosalinne segera bersiap untuk menghadiri salah satu undangan yang diadakan hari itu. Meski dalam hati tidak benar-benar yakin akan keputusannya tetapi dirinya tetap memutuskan untuk pergi.

....

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status